Mataram, katada.id – Proyek tahun 2019 di Kota Bima dimonopoli keluarga Muhammad Lutfi, Wali Kota Bima yang kini duduk sebagai terdakwa dalam kasus suap dan gratifikasi. Seperti pengadaan lampu jalan Kota Bima tahun 2019.
Proyek dengan anggaran Rp 1.497.435.099 miliar dikerjakan Jamal Abdul Naser, kakak kandung Muhammad Makdis. Diketahui, Makdis ini adalah adik ipar dari terdakwa Muhammad Lutfi.
Saat menjadi saksi terdakwa Lutfi, Jamal mengaku meminjam perusahaan untuk mengikuti tender pengadaan lampu jalan tersebut.
”Saya meminjam perusahaan di bidang kelistrikan yakni CV Cahaya Berlian. Perusahaan tersebut milik Nurhadi (Direktur),” ungkapnya pada persidangan terdakwa Lutfi di Pengadilan Tipikor Mataram, Jumat (8/3).
Saat dicecar Jaksa KPK, ia mengaku mengetahui proyek tersebut situs LPSE Pemkot Bima. Kemudian, ia meminta tolong kepada Ketua Akli Gandar Irawan agar dibuatkan penawaran. ”Bukan Jamaludin yang buat penawaran. Saya hanya minta buat kepada ketua (Apkli) saja,” kelitnya.
Ditanya apakah proyek tersebut didapat dari Makdis? Jamal menegaskan bahwa proyek tersebut ia ketahui dari LPSE. Lalu ia mengikuti tender dengan mengajukan penawaran menggunakan CV Cahaya Berlian. ”Saya bukan dapat pekerjaan dari Makdis,” bantahnya.
Jaksa terus mengejar pengakuan Jamal. Ia kembali ditanya kenal Rohficho Alfiansyah. ”Saya tidak kenal. Saya dengar namanya saja,” katanya.
Jaksa kembali mengingatkan bahwa Rohficho ini orang kepercayaan Makdis. Bahkan, di persidangan ia mengaku proyek pengadaan lampu jalan tersebut miliknya Makdis. ”PPK (Agus Salim) juga mengakui (pekerjaan Makdis),” tanya jaksa.
Meski demikian, Jamal masih bersikukuh menyatakan tidak mengenal dan tidak pernah bertemu Rohficho. ”Saya tidak pernah bertemu,” ujarnya.
Ketika diingatkan lagi bahwa Jamal dan Rohficho pernah bertemu untuk penandatanganan dokumen pembayaran. Di situ, ia tidak bisa mengelak dan mengakuinya. ”Pernah bertemu Rohficho untuk tanda tangan dokumen pembayaran,” akunya.
Setelah didalami lagi oleh jaksa, jawabannya berubah lagi. ”Saya terima (dokumen pembayaran) dari Makdis,” katanya.
Lebih lanjut, Jamal menerangkan, seluruh dokumen pembayaran diurus sendiri. Pencairan termin pertama Rp 384 juta digunakan untuk pembelian lampu. ”Uang tersebut masuk ke rekening perusahaan. Lalu saya kirim ke Makdis Rp 384 juta,” ujarnya.
Saat itu, ia meminta tolong kepada Makdis untuk memesan lampu di Toko Saka Agung di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia beralasan tidak memesan sendiri karena Makdis sering ke Sidoarjo. Selain itu, ia juga saat itu sedang berada di Sumbawa.
”Jadi saya minta Makdis memesan supaya memudahkan pengiriman dan penitipan di gudangnya Makdis. Gudangnya Makdis di Lam-Lam (perusahaan air minum di Kabupaten Bima),” terangnya.
Selanjutnya, pencairan termin kedua Rp 886 juta masuk ke rekening perusahaan juga. Kemudian uang tersebut dikirim ke rekening Nadia. ”Untuk pembayaran utang barang, dan utang-utang saya selama pekerjaan,” kata dia.
Ia mengirim uang ke Nadia atas perintah Makdis. ”Saya transfer semuanya. Saya gak tau Nadia,” ujarnya.
Jamal berdalih mengirim uang ke Makdis dan Nadia untuk membayar utang barang dan kebutuhan selama pekerjaan proyek. ”Jadi, saya tidak punya modal. Saya pinjam uang Makdis,” kelitnya.
Hakim pun mendalami keterangan Jamal dengan menanyakan proses pinjam bendera. ”Jasa pinjam perusahaan tidak ada. Saya cuma ngasih Nurhadi Rp 4 juta dan Rp 6 juta,” kata Jamal.
Hakim juga mempertanyakan perihal pengiriman uang ke Makdis. Menurut Jamal, uang tersebut untuk membayar utang. ”Anda jadi boneka Makdis? Ada perjanjian utang piutang,” tanya hakim.
Jamal masih tetap bertahan bahwa pengiriman uang tersebut untuk membayar pinjamannya ke Makdis. ”Saya bayar utang ke Makdis,” kelitnya lagi.
Sementera, Abdul Hanan, Penasihat Hukum Terdakwa Lutfi menanyakan saksi mengenal istri terdakwa dan adik dari istri terdakwa. ”Saya tidak tahu dan tidak kenal,” jawab Jamal.
Ditanya pernah menyerahkan uang kepada terdakwa Lutfi, ia kembali menegaskan, tidak pernah bertemu dengan terdakwa maupun istrinya. ”Tidak pernah. Saya juga tidak pernah menyerahkan uang kepada terdakwa maupun istrinya (Eliya),” tandasnya. (ain)