Mataram, katada.id – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI menerima sekitar 16 laporan pengaduan dugaan pelanggaran penyelenggaraan Pemilu di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Anggota DKPP RI, Muhammad Tio Aliansyah mengatakan, pada tahun 2024 pihaknya menerima 16 laporan pengaduan penyelenggara Pemilu Nusa Tenggara Barat. Rinciannya, Lombok Tengah 4 pengaduan, Lombok Timur 4 pengaduan, Lombok Utara 3 pengaduan, Dompu 3 pengaduan, Lombok Barat 1 pengaduan, dan Sumbawa 1 pengaduan.
“Pada tahun 2025 pihaknya menerima dua laporan pengaduan. Pengaduan dari Kota Bima dan Kabupaten Bima,” kata dia saat kegiatan Ngetren Media (Ngobrol Etika Penyelewengan Pemilu dengan Media) di Hotel Primer Park Mataram, Sabtu (8/2).
Tio menjelaskan, semua aduan itu belum dilakukan sidang pemeriksaan. Karena selama tahun 2024 DKPP sudah menerima 790 pengaduan se-Indonesia. “Sidang pemeriksaan ini membutuhkan tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh DKPP,” kata dia.
Ia menerangkan, sebelum lanjut ke sidang pemeriksaan, DKPP melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi material terlebih dahulu.
“Ketika verifikasi administrasi ini tidak terpenuhi, maka dikembalikan untuk dilengkapi. Begitu juga ketika verifikasi material juga tidak terpenuhi, maka dikembalikan untuk dilengkapi,” terang dia.
Tio menjelaskan, pelaporan pelanggaran kode etik terhadap penyelenggara Pemilu tidak memiliki masa kadaluarsa.
“Dalam konteks pelanggaran etik yang dilakukan penyelenggaraan itu tidak ada masa kadaluarsa. Sepanjang yang bersangkutan itu masih berstatus sebagai penyelenggara,” jelas Tio.
Ia juga menjelaskan keterbatasan perangkat DKPP yang jauh dari struktur KPU dan Bawaslu yang ada di tiap Kabupaten/Kota. Hal ini menjadi faktor lain yang mempengaruhi kinerja DKPP.
Selain itu, ada perbedaan hari kerja antara DKPP dan Bawaslu atau KPU. “DKPP bekerja berdasarkan hari kerja. Sementara Bawaslu atau KPU mengikuti hari kalender, tergantung kegiatan Pemilu,” tandasnya. (din)