Mataram, katada.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram menjatuhkan vonis terhadap dua terdakwa kasus korupsi pembangunan gedung Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Aprialely Nirmala, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dijatuhi hukuman 6 tahun penjara. Sementara itu, Agus Herijanto, mantan Kepala Pelaksana Proyek dari PT Waskita, divonis lebih berat yakni 7,5 tahun penjara.
“Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Aprialely Nirmala selama 6 tahun penjara,” ucap Ketua Majelis Hakim, Isrin, dalam sidang pembacaan putusan yang digelar Rabu (4/6).
Meskipun dinyatakan bersalah, Nirmala tidak dibebankan membayar uang pengganti kerugian negara karena tidak terbukti menikmati dana proyek. Namun, ia tetap dijatuhi denda sebesar Rp300 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
Vonis lebih berat dijatuhkan kepada Agus Herijanto. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum 7 tahun 6 bulan penjara. Selain pidana pokok, Agus juga dikenai denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan serta diwajibkan mengganti kerugian negara sebesar Rp1,302 miliar.
“Jika kerugian tersebut tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita, atau diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun,” kata Hakim Isrin.
Vonis terhadap kedua terdakwa hampir senada dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tim JPU, Greafik Loserte, menyatakan bahwa pembuktian dalam sidang sudah kuat baik secara formil maupun materil.
“Kami tinggal menunggu salinan putusan lengkap dari pengadilan,” ujarnya.
Dalam dakwaan awal, kerugian negara disebut mencapai Rp18 miliar akibat bangunan shelter tsunami yang tak bisa difungsikan. Namun, hakim hanya mengakui kerugian Rp1,302 miliar berdasarkan fakta di persidangan yang dinikmati oleh terdakwa Agus Herijanto.
Menanggapi putusan ini, penasihat hukum Agus, John A Christiaan, menyatakan menghormati keputusan hakim. Namun ia menyayangkan bahwa pembelaan dan keterangan saksi ahli yang diajukan pihaknya tidak dipertimbangkan dalam putusan.
“Kesalahan sebenarnya terjadi sejak tahap perencanaan, bukan pelaksanaan. Klien kami hanya menjalankan pekerjaan berdasarkan Detail Engineering Design (DED) yang sudah diubah oleh konsultan,” tegas John.
Ia pun mendesak agar KPK menetapkan konsultan perencana sebagai tersangka, karena menurutnya, mereka yang semestinya bertanggung jawab atas perubahan desain teknis proyek.
Terkait upaya hukum selanjutnya, John menyatakan pihaknya masih menunggu keputusan dari klien sebelum menentukan apakah akan mengajukan banding. (red)