Mataram, Katada.id – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) telah merampungkan perhitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penyewaan alat berat pada Balai Jalan Wilayah Pulau Lombok, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTB.
Hasil audit tersebut kini telah diserahkan ke Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satreskrim Polresta Mataram.
“Kerugian negaranya Rp3,2 miliar lebih,” ungkap Kasatreskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili, Kamis (17/7)
Menurutnya, kerugian tersebut berasal dari dua komponen utama. Pertama, dari retribusi sewa alat berat senilai Rp2,977 miliar yang tidak masuk ke kas daerah. Kedua, dari hilangnya dua unit dump truck senilai Rp224 juta. “Jadi kalkulasinya Rp3,2 miliar lebih,” jelasnya.
Regi menambahkan bahwa tidak ada satu pun pembayaran retribusi yang tercatat dalam kas daerah. Selain itu, aset negara berupa dua dump truck tidak dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya.
Setelah menerima laporan resmi dari BPKP, penyidik kini tengah menyiapkan gelar perkara untuk menentukan pihak yang akan bertanggung jawab secara hukum.
“Gambaran tersangka sudah ada. Ada dua calon tersangka dulu yang kita tetapkan,” sebutnya.
Meski demikian, polisi belum membuka identitas kedua calon tersangka tersebut ke publik. Saat ini, proses penyelidikan masih berlanjut untuk menelusuri dugaan keterlibatan pihak lain, termasuk aliran dana yang belum sepenuhnya terungkap.
“Ada satu saksi yang sampai sekarang belum terbuka dan belum mengakui perbuatannya. Kami masih telusuri aliran dananya,” ujar Regi.
Kasus penyewaan alat berat ini terjadi pada tahun 2021. Alat berat tersebut disewa oleh seseorang bernama Muhamad Efendi. Akibat penyewaan yang tidak disertai pengembalian alat secara utuh, Balai Pemeliharaan Jalan mengalami kerugian internal mencapai Rp1,5 miliar.
Kerugian itu berasal dari alat berat yang belum dikembalikan, termasuk mobil molen, ekskavator, dan dump truck.
Dalam kasus ini, polisi akan menerapkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yakni Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999. Penyidik juga menjerat tersangka dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (*)