Mataram, katada.id – Penahanan terhadap empat massa aksi pasca demonstrasi 30 Agustus 2025 di Nusa Tenggara Barat (NTB) menuai kritik keras.
Tim Penasehat Hukum (PH) dari Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB menegaskan bahwa penahanan tersebut merupakan kriminalisasi terhadap gerakan demokrasi dan rakyat.
Dalam keterangan resmi yang dirilis 1 Oktober 2025, Aliansi yang terdiri dari gabungan LBH, organisasi mahasiswa, dan NGO ini mengungkapkan hasil kunjungan mereka ke empat tahanan di Dittahti Polda NTB.
Megawati Iskandar Putri, salah satu perwakilan dari 13 kuasa hukum, menyoroti tuduhan yang dinilai tidak berdasar. “Kami menemukan fakta bahwa keempatnya bukanlah aktor utama atau provokator,” tegas Megawati.
Menurutnya, tindakan yang dilakukan beberapa tahanan hanya sebatas pelemparan yang tidak menimbulkan kerusakan parah, sehingga tuduhan Pasal 170 ayat (1) KUHP dan/atau 406 KUHP juncto Pasal 55 (1) KUHP dinilai mengada-ada.
“Kami menilai ini adalah bentuk kriminalisasi gerakan rakyat,” tambah Megawati.
Keempat massa aksi tersebut telah ditahan sejak 2 September 2025 dan kini tengah menjalani masa perpanjangan penahanan.
Meskipun secara fisik dipastikan sehat, Tim PH menyebut kondisi psikis mereka mengalami tekanan serius.
Dampak penahanan juga menjalar ke keluarga.
Tim PH menerima pesan pilu dari salah satu kakak tahanan yang menceritakan kondisi ibunya.
“Kondisi mental ibu saya sangat terganggu, sejak kehilangan suaminya pada Februari 2025 hingga kini anak bungsunya ditahan,” ujar pesan tersebut.
Orang tua tahanan lain juga disebut mengalami penurunan kesehatan, sulit makan, dan kerap tersedak akibat terus memikirkan nasib anaknya di tahanan.
Upaya pengajuan penangguhan penahanan yang diajukan sebelumnya telah ditolak oleh pihak kepolisian.
Di tengah kasus empat tahanan dewasa, Aliansi mengapresiasi penanganan terhadap enam anak yang sempat ditetapkan sebagai tersangka dalam insiden yang sama.
Dalam proses yang berjalan, dua anak berhasil melalui proses diversi di UPPA Polda NTB pada 29 September 2025. Sementara empat anak lainnya menyusul berhasil diversi di Polresta Mataram pada 30 September 2025.
Kesepakatan diversi mengembalikan mereka ke orang tua dengan kewajiban sosial menghafal Juz 30 dalam kurun waktu tiga bulan.
Komitmen untuk terus berjuang disampaikan Badarudin, perwakilan Tim PH.
“Upaya hukum bersama tim kuasa hukum yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB akan terus dilakukan hingga keempatnya memperoleh keadilan,” pungkasnya. (*)













