KOTA BIMA-Penyidik Satreskrim Polres Bima Kota memeriksa mantan Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud), Suryadin. Ia diperiksa sebagai tersangka kasus pembayaran gaji ASN terpidana Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Sita Erni, Selasa (9/7).
Suryadi datang memenuhi panggilan penyidik mengenakan pakai dinas. Ia didampingi penasihat hukumnya, Sukirman Aziz.
Suryadi menjalani pemeriksaan cukup lama. Ia dicecar dari pukul 10.00 Wita. Pemeriksaan baru berakhir malam hari, atau sekitar pukul 19.00 Wita.
Suryadin yang diwakili penasihat hukumnya Sukirman Aziz mengatakan, pemeriksaan tidak lama. Lebih banyak istrahat karena tiga kali salat. “Pemeriksaan dari pukul 10.00 Wita,” katanya.
Ia mengaku, kliennya ditanya seputar tugas dan fungsi jabatan. Selain itu, ditanyakan pula mengenai kasus yang menjerat Sita Erni. “Contohnya pertanyaannya, sejak, kapan Sita Erni ditahan, kapan diketahui, dan tindakan apa yang dilakukan,” bebernya.
Sukirman mengungkapkan, Suryadi pada Oktober 2014 sudah mutasi jadi asisten. Sementara, Sita Erni ditahan Oktober 2015. “Dari awal klien kami ndak tau. Selama ini taunya sakit,” ungkap Sukirman.
Ia menambahkan, Sita Erni pernah dipanggil dua kali dan tidak hadir. Kemudian kliennya meminta petunjuk kepada BKD mengenai pembayaran gaji Sita Erni. “Petunjuk BKD saat itu menunggu putusan pengadilan. Sebelum turun putusan, klien kami sudah pindah,” terangnya.
Ia menjelaskan, ada perbedaan pemahaman dalam pembayaran gaji tersebut. Terutama soal kapan gaji ASN terpidana harus diberhentikan.
“Pemahaman pemkot. Pada umumnya terhitung sejak putusan inkrah. Sedangkan menurut keterangan ahli, harus dihentikan sejak dia (Sita Erni) ditahan. Artinya, munculnya masalah karena kesalahpahaman tentang aturan ini,” ungkapnya.
Kliennya tidak menghentikan pembayaran gaji karena tidak tahu. Di samping itu, keluarga Sita Erni memberikan info yang bersangkutan berobat.
“Ketika konsultasi ke wali kota juga harus menunggu inkrah,” terangnya.
Sementara, Iptu Hilmi Manossoh Prayugo mengatakan, S (Suryadin) diperiksa sebagai tersangka. Pemeriksaan tersebut untuk kebutuhan pemberkasan. “Iya, kami periksa sebagai tersangka,” katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tersangka pernah mengeluarkan surat panggilan terhadap Erni sebanyak dua kali. Tapi setelah itu tidak ada tindak lanjut lagi. “Penyidik melihat ada kelalaian yang bertentangan dengan peraturan Undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian negara,” tegasnya.
Menurut Hilmi, saat Erni ditetapkan tersangka dan dilakukan penahanan oleh Polda Jogjakarta sudah harus dilakukan pemberhentian secara tidak hormat atau pemberhentian gaji sementara. “Harusnya dibayarkan 70 persen tetapi buktinya dibayar 100 persen,” ungkapnya.
Soal pembelaan tersangka, ia menanggapi santai. “Perbedaan pemahaman dengan penasihat hukum tersangka nggak jadi soal,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Sita Erni masih menerima gaji dari 2015 hingga 2017. Sementara, pada 2013 ia terlibat kasus pencucian uang. Kasusnya ditangani Polda Jogjakarta.
Setelah bergulir di pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung, dia dinyatakan bersalah dan dihukum selama 8 tahun penjara, pada 2015 silam. Meski telah berkekuatan hukum tetap, Sita Erni diketahui masih menerima gaji hingga tahun 2017. Sehingga negara dirugikan Rp 165 juta.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, setiap pegawai negeri yang terlibat tindak pidana, bisa diberhentikan sementara. Atau, di beberapa kasus, yang bersangkutan harus dipecat dengan tidak hormat. (one)