Mataram, katada.id – Terpidana korupsi pembangunan ruang operasi dan ICU RSUD Lombok Utara tahun anggaran 2019 dr Syamsul Hidayat mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Tipikor Mataram.
Dalam agenda pembacaan memori PK, dr Syamsul Hidayat didampingi penasihat hukum Hijrat Priyatno dan Hartono, Selasa (19/9). Hanya saja, memori PK tidak dibacakan secara keseluruhan. Karena hakim, jaksa penuntut umum, dan pemohon PK sepakat dianggap dibacakan. “Mohon anggap dibacakan (memori PK),” kata ketua Majelis Hakim I Ketut Somanasa diamini jaksa maupun pemohon.
Kendati demikian, hakim tetap meminta pemohon untuk membacakan alasan PK. “Kami ada ajukan novum,,” ucap Hartono, penasihat hukum Syamsul Hidayat.
Usai membacakan alasan PK, hakim meminta kepada pemohon untuk membawakan novum asli. Karena yang dilampiri dalam memori PK hanya berupa fotocopy. “Ditunjukan aslinya (novum) saat persidangan nanti, supaya dicocokkan,” katanya.
Sidang dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan kontra memori PK dari jaksa penuntut umum selaku termohon, sekaligus pengajuan novum.
Hijrat Priyatno dan Hartono yang dikonfirmasi usai sidang enggan membeberkan fakta baru yang diajukan dalam PK tersebut. “Gak usah, nanti saja,” katanya.
Dalam kasus ini, Syamsul Hidayat selaku mantan Direktur RSUD Lombok Utara divonis selama 5 tahun penjara, baik di Pengadilan Tipikor Mataram maupun Pengadilan Tinggi Mataram.
Ia dinyatakan terbukti bersalah secara bersama-sama dengan terdakwa lain melakukan tindak pidana korupsi dalam pengerjaan proyek yang masuk dalam masa rehabilitasi pascagempa Lombok di tahun 2018, sesuai Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 15/Pid.Sus.Tpk/2022/PN.Mtr tanggal 24 Oktober 2022.
Dalam kasus korupsi ini, ada empat orang terdakwa. Antara lain E Bakri selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), rekanan Darsito dan konsultan pengawas Sulaksono, dan dr. Syamsul Hidayat selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) dalam proyek tersebut.
Kepada terdakwa E Bakri dan Sulaksono, divonis sama dengan dr. Syamsul Hidayat, yaitu pidana penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp 300 juta subsider 3 bulan. Sedangkan terdakwa Darsito, dijatuhi vonis pidana badan selama 7 tahun dan denda 300 juta dengan ketentuan apabila terdakwa tidak mampu membayar denda maka diganti dengan kurungan penjara selama 3 bulan. Dalam amar putusannya, majelis hakim menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 1,7 miliar subsider 2 tahun.
Sebagai informasi, kasus yang ditangani pihak Kejati NTB ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB. Muncul catatan kekurangan pekerjaan proyek dengan nilai kerugian Rp 212 juta. Kerugian itu muncul dalam status pekerjaan yang sudah diserahterimakan 24 Februari 2020.
Pihak kejaksaan pun menindaklanjuti temuan BPK tersebut ke tahap penyelidikan. Sampai pada proses penyidikan, pihak kejaksaan memperoleh hasil audit inspektorat dengan nilai kerugian negara sedikitnya Rp 1,57 miliar. Proyek tahun 2019 ini dikerjakan oleh PT Apro Megatama yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Pengerjaan proyek tersebut menelan anggaran dari APBD Rp 6,4 miliar. (ain)