Katada

Aktivis Desak Majelis Hakim Panggil Bupati Bima soal Aliran Dana Proyek Saprodi Rp250 Juta

Mataram, katada.id – Bupati Bima Hj. Indah Dhamayanti Putri disebut-sebut menerima fee proyek Sarana dan Prasarana Produksi (Saprodi) cetak sawah baru tahun 2016 sebesar Rp250 juta.

Aliran dana itu diungkap mantan kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) Kabupaten Bima Muhamad Tayeb, yang kini duduk sebagai terdakwa dalam kasus korupsi Saprodi. Ia menyebutkan uang Rp250 juta diserahkan oleh saksi Muhammad (terdakwa) kepada Bupati Bima Hj. Indah Dhamayanti Putri.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPD GMNI) NTB Al Mukmin mendesak Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Mataram untuk mengungkap nama-nama yang terlibat dan ikut menikmati uang proyek Saprodi.

“Kami mendorong Majelis Hakim memanggil nama-nama yang menerima aliran dana yang disebut oleh terdakwa Tayeb,” desak aktivis asal Bima ini.

Menurutnya, Bupati Bima perlu dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan agar kebenaran soal aliran dana tersebut terungkap. Apalagi, nama bupati disebut juga saksi lain yaitu mantan kades di Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima inisial AR.

“Pemanggilan bupati ini agar tidak terjadi polemik di tengah masyarakat serta untuk membuktikan bersalah atau tidaknya bupati. Jika betul apa yang disampaikan terdakwa Tayeb dalam sidang tersebut, maka Majelis Hakim tidak perlu takut untuk menghukum orang-orang yang merugikan keuangan negara,” tegas Al Mukmin.

Ia menambahkan, dalam penegakan hukum Majelis Hakim tidak boleh tebang pilih, meskipun seorang bupati. “Supaya masyarakat percaya dengan penegak hukum, mengingat korupsi adalah musuh negara dan wajib diberantas hingga ke akar-akarnya,” katanya.

Sebagai informasi, terdakwa Tayeb secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan dua orang lainnya, yakni Muhammad, mantan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima, dan Nur Mayangsari, Kepala Seksi (Kasi) Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima nonaktif. Dalam perkara ini, Muhammad dan Nur Mayangsari turut berstatus terdakwa.

Saat itu, Dinas PTPH mendapat alokasi anggaran Rp14,4 miliar dari Kementerian Pertanian RI untuk membantu meningkatkan produksi pangan di Kabupaten Bima. Ada 241 kelompok tani (poktan) di Kabupaten Bima masuk dalam daftar penerima bantuan dengan rincian Rp8,9 miliar untuk 158 poktan yang mengelola sawah seluas 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas sawah 2.780 hektare. Penyaluran anggaran dikirim secara langsung ke rekening perbankan masing-masing poktan.

Pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.

Ketika anggaran tersebut telah masuk ke rekening pribadi poktan, Tayeb sebagai PPK mengeluarkan perintah untuk melakukan penarikan tunai kepada poktan. Uang tersebut diminta untuk dikumpulkan kembali di Dinas PTPH Kabupaten Bima.

Pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing poktan itu ditarik kembali atas perintah terdakwa Tayeb. Penarikan tidak dibuktikan dengan adanya nota penyerahan.

Setelah uang terkumpul dari poktan, atas perintah M. Tayeb, Muhammad bersama Nur Mayangsari melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur. Penunjukan CV Mitra Agro Santosa sebagai penyedia saprodi berada di bawah perintah Tayeb.

Barang-barang yang dibeli dari perusahaan tersebut antara lain, benih padi, pupuk, dan pestisida. Namun, ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa sehingga ada yang dibeli dari perusahaan penyedia lokal.

Nur Mayangsari sebagai bawahan Muhammad juga mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.

Pemesanan saprodi tersebut tidak sesuai dengan luas sawah kelompok tani yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan. Sehingga terdapat kekurangan yang kini muncul sebagai nilai kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar. (ain)

Exit mobile version