Katada

Antagonisme Politik, Bukti Demokrasi Kita Sehat

Darsono Yusin Sali (Direktur Sekolah Politik & Kebangsaan HOS Tjokroaminoto)

Oleh: Darsono Yusin Sali
(Direktur Sekolah Politik & Kebangsaan HOS Tjokroaminoto)

POLITIK, Tidak ada demokrasi tanpa antagonisme politik. Antagonisme politik menunjukkan demokrasi kita sesungguhnya berjalan baik, memperkuat nilai demokrasi yang sesungguhnya menghargai adanya perbedaan pandangan, falsafah, ide, dan gagasan.

Politik hanya dimungkinkan bila ada prinsip antagonisme di antara dua atau lebih komunitas politik di dalam tatanan demokrasi pluralistik (pluralistic democratic order). Dalam sebuah negara modern, demokrasi menghendaki adanya antagonisme politik sebagai bukti negara tersebut menjunjung tinggi demokrasi. Dia harus dibiarkan tumbuh dan berkembang. Adanya pandangan politik yang berbeda juga bukti bahwa kita sehat sebagai manusia, sehat juga sebagai bangsa.

Perbedaan pandangan terhadap sesuatu adalah suatu kewajaran. Otak kita tak cukup kuasa memaksanya satu dalam pandangan dan sikap. Manusia sudah berbeda sejak kelahirannya, menjadikannya seragam sangatlah tak mungkin. Kondisi demikian “taken for granted” dari Tuhan.

Terlalu banyak teori yang menjelaskan perbedaan sebagai suatu kelumrahan akibat tidak saja faktor internal bawaan manusia itu sendiri, namun juga faktor eksternal. Teori “fusion of horizon” memberikan gambaran sangat jelas tentang hal tersebut. Tak ada manusia yang nir dari sebab yang melatari kemunculan sebuah pandangan, gagasan, ide, sikap yang berbeda-beda.

Maka dengan demikian, tak ada alasan bagi seseorang memaksakan kehendak pikirannya untuk bersemi di otak dan pikiran orang lain. Pemaksaan berarti menegasikan kudrat manusia sebagai manusia. Lebih jauh pemaksaan dapat berarti pula pengambil alihan hak atas kuasa Tuhan terhadap manusia.

Islam memberi contoh sangat baik secara teologis bagaimana seharusnya menusia bersikap dan bertindak dengan tidak memaksakan kehendaknya terhadap orang lain. Untukmulah agamamu, untukkulah agamaku “lakum diinukum wa liya diin” (QS. Al-Kafirun : 1-6)

Pesan teologis tersebut tak memberi ruang sedikitpun atas umat Islam untuk memaksakan keyakinannya terhadap orang lain. Di sisi lain, Islam mendeklairkan diri mampu hidup berdampingan dengan umat lain di luar Islam. Dua sikap toleran sekaligus; tak memaksa dan di saat bersamaan dapat menjadi kawan.

Sikap demikian harus dikembangkan agar damai terwujud. Negara Madinah yang telah menghasilkan Piagam Madinah adalah bukti historis umat manusia dapat hidup, tumbuh besar dalam berbagai perbedaan; budaya dan agama yang diikat dalam satu kesepakatan bersama.

Dalam konteks Madinah, Islam tak memaksa Yahudi jadi Islam. Keduanya hidup rukun, saling bekerjasama memperkuat perekonomian masyarakatnya. Manakala ada ancaman yang berusaha menyerang Madinah, persatuan dan kesatuanlah yang mereka tunjukkan.

Indonesia dan Kecenderungan “Enemy Politic”

Sikap untuk menghargai perbedaan pandangan nampaknya jadi barang langka di bangsa kita. Perbedaan pandangan dan arah politik dianggap jadi ancaman. Untuk itu harus segera dilenyapkan, bahkan lebih jauh “dimatikan”.

Mereka yang mempersepsikan lawan politik sebagai enemy berdampak pada pemikiran bahwa eksistensi mereka harus dilenyapkan, begitu juga ide dan gagasannya. Kita melihat fenomena pematian lawan politik di era orde baru. Mereka yang dianggap berseberangan sikap dengan pemerintah “dikarung” lenyap tanpa jejak.

Upaya pemerintah memaksakan azas tunggal melalui UU Ormas dan Partai Politik nomor 8 tahun 1985 merupakan bagian praktik enemy politic yang dilakukan oleh pemerintah, yang notabene memiliki daya untuk melakukan pematian tersebut. Mereka yang menolak gagasan pemerintah, dimatikan eksistensi dan seluruh gagasannya.

Pancasila saat itu menjadi domain tunggal pemerintah. Tafsir pancasila hanya milik pemerintah. Mereka para penentang tafsir Pancasila versi pemerintah akan dimatikan. Menolak berarti juga menyerah untuk mati. Pelajar Islam Indonesia (PII) yang tegas menolak pun dilenyapkan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga hampir bernasib sama, jika saja HMI tidak mengambil jalan selamat. Meski berdampak pada pecahnya organisasi (DIPO-MPO).

Sepanjang sejarah bangsa kita, proses pematian ide, sikap, arah dan pandangan politik yang berbeda, telanjang diperlihatkan di depan kita. Berbagai cara dilakukan dalam rangka itu. Terutama oleh mereka yang merasa terancam dengan perbedaan pandangan tersebut. Karena pada dasarnya, mereka yang memiliki kekuatan yang berpeluang besar melakukan pematian tersebut.

Persekusi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap tak sejalan juga praktik nyata “enemy politic”. Pembubaran ormas tertentu yang dianggap tak sejalan dengan pemerintah juga bagian dari praktik itu. Kenapa mesti takut dengan perbedaan-perbedaan itu?

Tak ada alasan yang lebih baik dalam menyikapi perbedaan selain membiarkannya sebagai wujud bahwa kita ini manusia, bukan Tuhan. Bahkan Tuhan sendirilah yang mendesain lahirnya perbedaan-perbedaan itu agar kita saling mengetahui satu sama lain (QS. Al-Hujurat :13).

Bukan memenjarakan mereka, bukan pula melenyapkan. Bahkan jika itu terus terjadi, sesungguhnya sudah tidak ada lagi demokrasi, tidak ada lagi politik. Karena politik dan demokrasi mengharuskan adanya antagonisme politik.

Maka sesungguhnya praktik “enemy politic” tak sejalan dengan prinsip kemanusiaan. Tuhan jelas tak menghendaki hal tersebut. Disinilah manusia diuji. Diuji agar mampu mengelola perbedaan tersebut. Manusia dengan daya nalar kreatifnya dituntut untuk membingkai pertarungan politik dalam bingkai “adversary” bukan “enemy”. Yang berarti bahwa individu atau komunitas, kelompok berbeda yang eksistensinya diakui, legitimated dan harus ditoleransi, tetapi ideologinya kita tolak. Kita bertarung melawan gagasan mereka, tetapi tidak menyangkal hak mereka untuk mempertahankannya.

Hal itu berarti bahwa ide, gagasannya kita tolak dan lawan, tanpa harus melenyapkan eksistensinya sebagai sebuah kelompok. Ideologinya kita lawan tapi tetap menghargai entitasnya. Meski harus diakui, bersikap seperti ini adalah episode paling sulit dalam berdemokrasi.

Menggunakan bingkai “adversary” dalam melihat antagonisme politik berarti pula memberikan ruang yang luas pada setiap diri kita untuk saling menghargai. Di samping memberi ruang kepada mereka untuk membela gagasannya. Meski demikian, gagasan dan ideologinya tetap kita tolak dengan tetap menghargai esksistensinya.

Selain itu, setiap orang harus berupaya mengerahkan seluruh kemampuan simboliknya untuk meredam ide tersebut agar tidak dipercayai orang. Tentu tanpa melenyapkan mereka, apalagi mematikan.(*)

Exit mobile version