MATARAM-Kasus korupsi yang menjerat Menpora Imam Nahrawi terkait dana hibah KONI berpotensi terjadi di NTB. Itu menyusul sejumlah pejabat publik dari mulai bupati, wakil walikota, pimpinan dan anggota DPRD di beberapa wilayah di NTB terpantau masih aktif menjabat Ketua KONI.
Misalnya Ketua KONI Bima dijabat Bupati Bima Hj. Indah Dhamayanti Putri, KONI Mataram dijabat Wakil Walikota H. Mohan Roliskana, KONI Sumbawa dijabat Wakil Ketua DPRD, KONI Loteng dijabat anggota DPRD NTB HM. Fuaddi dan KONI Kota Bima dijabat Wakil Wali Kota Bima Feri Sofiyan.
Dalam UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, telah melarang bagi siapapun pejabat publik memegang pimpinan KONI.
Hal ini diperkuat dengan adanya edaran dari Kemendagri sebanyak dua kali. Yakni, SE Nomor 800/2398 tahun 2011, SE nomor 800/148 tanggal 17 Januari 2014 tentang pejabat publik tidak diperkenankan menjabat Ketua KONI.
“Di sinilah kita minta aparat penegak hukum (APH) bergerak. Karena, aturan sudah jelas melarang hal itu. Mengingat, ada potensi pelanggaran yang dilakukan pejabat publik manakala memegang jabatan Ketua KONI,” sorot Anggota Fraksi Bintang Perjuangan Nurani Rakyat (FBPNR) H. Ruslan Turmudzi menjawab wartawan di kantor DPRD NTB, Senin (23/9).
Politisi PDIP itu mengaku perlu mengingatkan terkait aturan pelarangan rangkap jabatan pejabat publik memegang jabatan ketua KONI. Karena dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan. ’’Apalagi, yang dikelola itu adalah dana APBD yang tidak sedikit jumlahnya,’’ jelasnya.
Menurut Ruslan, saat penyusunan Perda Keolahragaan di NTB pada tahun 2017 lalu, pihaknya telah mewanti-wanti agar pascaPerda itu terbentuk, maka pemda kabupaten/kota harus mengikuti aturan tersebut.
Tapi aneh, tambah dia, saat kepengurusan KONI di NTB mematuhi aturan itu, namun tidak di kepengurusan KONI kabupaten/kota. Di sana, masih banyak bercokol pejabat publik yang rangkap jabatan memegang Ketua KONI.
’’Sehingga, aturan UU, PP, hingga dua kali SE Mendagri plus adanya perda provinsi NTB juga tidak dipatuhi,” terang Ruslan sambil menegaskan bahwa persoalan ini dari hasil diskusinya dengan sesama anggota Fraksi FBPNR DPRD NTB yang terdiri dari gabungan parpol. Yakni, PDIP, Hanura dan PBB. (one)