Mataram, katada.id – Seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar harus menggenggam tangan bayinya yang lahir lebih cepat dari semestinya. Di balik wajahnya yang belum mengerti arti dunia, tersimpan kisah kelam yang membuat siapa pun tercekat.
Anak berusia 14 tahun ini bukan hanya menjadi korban, tetapi juga saksi dari bagaimana lingkungan terdekatnya sendiri menjadi bagian dari lingkaran kejahatan yang mengorbankannya. Dan yang membuatnya lebih memilukan: ia dibawa ke hotel oleh orang yang seharusnya melindunginya — kakak kandungnya sendiri.
Awal Terbongkarnya Kasus
Kasus ini terkuak ketika Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram menerima laporan bahwa seorang siswi SD tiba-tiba tidak lagi bersekolah dan diketahui mengalami kehamilan dalam usia yang sangat dini. Tragisnya, korban yang berusia 14 tahun melahirkan di RSUD Mataram. Fakta ini membuat publik terhenyak, dan LPA segera melakukan investigasi secara mandiri.
Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi, mengungkapkan bahwa timnya melakukan pelacakan selama lebih dari satu bulan. “Kami telusuri hotel-hotel yang mungkin menjadi lokasi pertemuan. Kami juga meminta korban untuk mengenali tempat-tempat yang pernah ia datangi,” tutur Joko.
Jejak Sang Pengusaha
Dari investigasi tersebut, satu nama muncul: M. Andi Abdullah, seorang pengusaha pakan ternak yang cukup dikenal di Mataram. Ia diduga kuat sebagai pria dewasa yang beberapa kali melakukan pertemuan pribadi dengan korban di sejumlah lokasi, termasuk hotel dan penginapan di kota ini.
LPA menemukan bahwa korban mampu mengenali wajah pelaku dan mengingat lokasi-lokasi tertentu yang pernah ia datangi. Dari sinilah identifikasi mengerucut. “Kami sodorkan beberapa nama, dan korban langsung menunjuk satu nama dengan pasti,” jelas Joko.
Namun, kendala muncul ketika LPA mencoba menelusuri data pelaku di hotel-hotel yang disebut korban. Data tersebut ternyata tidak ditemukan — diduga telah dihapus. LPA menduga ada pengaruh eksternal yang membuat informasi tersebut tidak lagi tersedia secara resmi.
Jejak yang Menghilang dan Dugaan Intervensi
“Kami menemukan bahwa data KTP atas nama yang bersangkutan sudah tidak lagi ada di sistem hotel. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, karena lazimnya hotel menyimpan data tamu untuk waktu tertentu,” ungkap Joko. “Ini bukan kejadian biasa. Ada kemungkinan kekuatan uang atau relasi ikut bermain.”
Dalam investigasi, terungkap pula bahwa pelaku diduga telah melakukan pertemuan dengan korban lebih dari satu kali. “Dari informasi yang kami dapat, ada indikasi korban mengalami situasi yang berulang. Kalau tidak salah, dia empat kali dipakai sama si pengusaha dan akhirnya hamil,” tambah Joko.
Perusahaan tempat pelaku bekerja menggunakan nama yang cukup unik dan kontras dengan kasus ini — terinspirasi dari istilah fiksi anak-anak yang lazim dikenal, yakni Bos PT Baling-Baling Bambu. Ini yang membuat publik mencemooh pelaku dengan julukan “Walid Doraemon” di media sosial.
Usir Korban, Sembunyikan Aib
Fakta lain terungkap pada kasus prostitusi kakak jual adik ke pengusaha. Setelah korban diketahui sedang hamil, bos “Doraemon” sempat mengusir korban untuk keluar dari Pulau Lombok.
Joko mengatakan, pengusaha MAA ini sempat berkomunikasi dengan kakak korban. Dia diminta untuk bertanggungjawab. ”Tetapi, permintaan pertanggungjawaban itu ditolak tersangka (MAA),” ujarnya.
Ia pun berupaya menghilangkan jejak dan meminta kepada korban untuk hidup di luar daerah. Korban Disuruh tinggal di Surabaya.
Korban sempat pergi bersama kakaknya ES sesuai dengan arahan pelaku ke Surabaya. Mereka diberikan uang Rp 5 juta. ”Tetapi, tidak kuat dengan biaya hidup dan MAA tidak lagi bertanggungjawab, mereka pulang lagi ke Lombok,” bebernya.
Akhirnya, korban melahirkan di RSUD Kota Mataram. Dari sini, perbuatan Andi Abdullah terbongkar. “Kalau seandainya masih di Surabaya, pihak keluarga tidak mengetahui kasus ini,” ujarnya.
Proses Hukum
Setelah identitas pelaku dikantongi, LPA Mataram meneruskan temuan ini ke Polda NTB. Menurut informasi terakhir, pihak kepolisian telah menerima laporan dan tengah memproses penetapan status hukum terhadap terduga pelaku.
“Kami terus berkoordinasi agar kasus ini ditangani secara adil dan menyeluruh. Korban harus mendapatkan pemulihan, dan pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai hukum,” ujar Joko, yang juga menjabat sebagai Ketua Satgas Pencegahan Kekerasan di Universitas Mataram.
Bos “Doraemon” Jadi Tersangka
Kasus prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur kini memasuki babak baru. Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB menetapkan dua orang tersangka dalam perkara prostitusi daring (open booking online atau BO) yang melibatkan seorang siswi SD.
Yang mengejutkan, pelaku utama adalah kakak kandung korban sendiri, berinisial ES (22), yang menjual adiknya kepada seorang pengusaha M Andi Abdullah (51), warga Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram.
Kepala Subdirektorat IV Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Ditreskrimum Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati menjelaskan bahwa penetapan status tersangka dilakukan setelah proses penyidikan mendalam
“Tersangka ES melibatkan adiknya sendiri untuk bertemu dengan seorang pria di hotel wilayah Kota Mataram. Setelah permintaan dari MAA, pertemuan diatur dan berujung pada persetubuhan,” ujar Pujawati.
Dibayar Rp 8 Juta
Penyelidikan mengungkap bahwa peristiwa tersebut terjadi sekitar Juni 2024. M Andi Abdullah secara langsung meminta mangsa yang lebih mungil kepada ES untuk memenuhi hasrat seksualnya. ES pun menyerahkan adiknya yang masih di bawah umur, dan menerima uang sebesar Rp 8 juta sebagai imbalan.
“Setelah anak korban dibawa dan terjadi peristiwa di hotel, tersangka MAA memberikan uang kepada ES. Ini jelas bentuk eksploitasi ekonomi dan seksual terhadap anak,” tegas Pujawati.
Berdasarkan temuan dan keterangan para pihak, Ditreskrimum Polda NTB menetapkan ES dan MAA sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) atau Pasal 88 junto Pasal 76i UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Keduanya terancam pidana maksimal 12 tahun penjara. Saat ini mereka masih menjalani proses pemeriksaan lebih lanjut,” terang Pujawati. (tim)