MATARAM-Terdakwa kasus korupsi pengelolaan kebun kopi Tambora Kabupaten Bima 2006 Heru Priyanto belum sepenuhnya aman. Meski ia telah divonis bebas hakim Pengadilan Tipikor Mataram.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) keberatan dengan putusan bebas yang dijatuhkan kepada mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bima tersebut. Karena itu, jaksa Kejari Bima memutuskan untuk mengajukan kasasi.
Kepastian kasasi diungkapkan Kasi Pidsus Kejari Bima Wayan Suryawan. Ia menegaskan, pihaknya sudah menyatakan kasasi atas putusan bebas terdakwa Heru. “Kita akan kasasi,” kata Suryawan, Kamis (20/6/2019).
Setelah menyatakan kasasi, JPU diberikan waktu selama 14 hari untuk menyusun dan menyerahkan memori kasasi, yang nantinya akan dikirim ke Mahkamah Agung. Suryawan mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang menyusun memori kasasi atas putusan bebas tersebut. “Berkasnya masih dibuat oleh JPU,” bebernya.
Sebagai informasi, majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Mataram membebaskan terdakwa Heru dari semua dakwaan. Hakim menilai terdakwa tidak bersalah dan tidak terbukti menerima Rp 40 juta untuk memperkaya diri sendiri.
Majelis hakim juga berpendapat bahwa terdakwa Heru tidak terbukti menyuruh atau turut serta melakukan tindak pidana korupsi bersama ketua pelaksana kegiatan Syafruddin Idris dan kepala kebun Suparno.
Seperti yang tertuang dalam putusan hakim, jual beli 25 ton kopi tambora pada Juli 2006 sudah sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatangani antara pengusaha Hariadi dan terdakwa Heru. Uang tunai Rp 31 juta yang disetor di awal merupakan uang muka pembelian kopi.
Uang tersebut disetor ke ke kas daerah melalui bendahara dinas Abidin Muhammad. Sementara uang sebesar Rp 8,5 juta operasional kepala dinas, menurut hakim hanya tuduhan kosong terpidana Suparno dan Syafruddin. Jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikannya di dalam persidangan.
Pengamanan produksi kopi tambora 2006 seluas 500 hektare dibiayai APBD Kabupaten Bima sebesar Rp 192 juta. Pengelolaan senilai Rp 525 juta cuma dilaporkan Rp 378 juta. Suparno dan Syafruddin membuat laporan pertanggungjawaban fiktif. BPKP Perwakilan NTB menghitung selisih Rp 147 juta sebagai kerugian negara. (dae)