Katada

Donggo: Gejolak Makna dalam Migrasi Kata

Oleh Dr. Putra Sambantha

Saya sebenarnya tidak ingin menambah polemik ketidakbenaran politis dalam tindak tutur salah seorang saudari kita yang salah bicara atau berbicara salah. Apalagi saya sedang berada dalam petualangan spiritual, maka terlibat dalam diskursus seperti ini dianggap mengurangi asyik maksyuk pergulatan ibadah. Tapi, menyambung silaturrahmi atau mencegahnya putus juga merupakan jihad tersendiri.

Donggo atau pun makna terkait dengan kata itu hendaknya dipahami dalam perspektif linguopolitis bahasa dan sejarah politik bangsa Bima. Dalam bahasa Bima, banyak kata yang berbunyi sama tetapi bermakna berbeda. Yang paling masyhur ada 3: lako, kodo, dan kaso.
“Lako” memang berarti “anjing” tetapi tidak ada orang Bima (tentu Dompu juga) yang tersinggung jika ada temannya berkata “Lao lako e” (Pergilah) walau secara per kata kalimat itu bermakna “Pergilah anjing”. Ada makna lain dari kata “lako” dalam konteks ungkapan ini.

Tetapi generasi terkini telah kehilangan jejak makna kata tersebut. Kodo, mirip kodong dalam bahasa orang Bugis/Makassar, juga mengkontaminasi kodo yang berarti jenis burung. Juga “kaso” yg bermakna “anda” dan “kasur” sehingga ada lelucon “Ita doho kaso mada doho lingga”.

Kegagalan kita memahami kata “donggo” entah dalam konteks “dou donggo” atau “dou Donggo” merupakan akibat dari kegagalan yang sama: gagal merekam jejak bunyi dan makna. Jika lakong dan kodong yg berubah menjadi lako dan kodo dalam migrasi bangsa Bima dari utara, maka kita juga gagal merekam jejak perubahan dari donggo (mengantar) dengan bunyi implosif alveolar tak bersuara, yg menjadi salah satu ciri bahasa Bima, menjadi “donggo” (dungu) dengan bunyi alveolar bersuara.

Dalam bahasa Bima kontemporer, paduka (dengan implosif) berubah paduka, duka (dengan implosif, bros dari mas) menjadi duka, babau (dengan implosif, mengapa) berubah jadi papau, dan masih banyak lainnya. Dalam aksara Bima yg disalin Thomas Stanford Rafless dari Sultan Abdul Hamid, terdapat minimal 3 huruf untuk setiap konsonan dalam bahasa Bima dan yg masih bertahan tinggal 2 (yaitu b dan d implosif).

Padahal, Donggo sebenarnya berasal dari yang pertama. Secara politis dan historis, rakyat Bima terbagi sesuai peran sertanya dalam tatanan kerajaan. Dan, orang Donggo adalah pembela raja yg setia. Mungkin karena sebelum jadi Raja sang Sultan adalah Raja Donggo (Manggampo Donggo) yang merupakan jabatan yang diembankan pada putra mahkota raja Bima (misalnya Manggampo Donggo (Sultan Salahuddin) sebelum mereka “menggantarkan” beliau menjadi raja Bima.

Dalam perspektif ini, dan memang seharusnya demikian, Donggo dan Orang Donggo (Dou Donggo) memiliki peran penting dan positif dalam struktur sosiopilitis bangsa Bima. Akan tetapi, kita terperangkap dlm pertarungan makna tanpa kita tahu prosesinya. Tiba-tiba kita dihadapkan pada kata donggo (menghantar) dan donggo (dungu, bodoh).

Ditambah lagi dengan hilangnya peran sentral kerajaan dan orang Donggo di dalamnya semasa orde baru serta termarjinalkannya masyarakat pinggiran (termasuk Donggo) dlm diskursus orde baru yang elitis sentralistis, maka makna donggo yang kedua lebih dominan. Celakanya, karena kita gagal paham dan terputus dengan riwayat makna kata tersebut, makna kata yang kedua ini merajai cakrawala berpikir kita, termasuk anda yang berafiliasi dengan masyarakat Donggo.

Mari kita cerahkan pikiran kita: donggo bukan dungu, tetapi penghantar raja ke singgasana. Catat bahwa Sang Bima diberi (donggo) tahta kerajaan Bima di daerah Donggo (di Wadu Paa). Ungkapan “dou donggo” sama rujukannya dengan dou darere, dou ntika, atau dou taho, merujuk pada referen umum dan luas dan tidak mesti merujuk pada satu etnis tertentu, sehingga jangan dipergunakan untuk menghina dan jangan pula merasa terhina. Jadi “dou donggo” (orang yg dungu) tidak identik dengan “Dou Donggo” (orang yg menghantarkan raja ke singgasana) dan ini butuh waktu utk re-edukasi kembali, termasuk anda yg terhina ketika kata itu diucapkan.

Wallahu a’lam. Pesanku cuma satu: maafkan saudaramu karenaa mungkin dia tidak tahu. (*)

Penulis adalah Akademisi FKIP Unram. (Ditulis di Golden Karam, Madinah)

Exit mobile version