Mataram, katada.id – Korban begal, MR alias Amaq Sinta (34) ditetapkan sebagai tersangka. Ia menghabisi dua dari empat pelaku percobaan pencurian.
Akademisi hukum pidana dari Universitas Mataram Taufan Abadi berpendapat Amaq Sinta tidak dapat di pidana karena masuk kategori pembunuhan terpaksa.
“Secara singkat, kasus pembunuhan terhadap dua pelaku begal oleh korban MR, mengarah pada alasan pemaaf, sehingga tidak dapat dikenakan pidana,” kata Taufan Abadi dalam keterangan tertulis, Rabu (13/4/2022).
Pada alasan pemaaf, jelasnya, perbuatan MR dapat dinyatakan bersalah. Namun demikian, perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh MR.
Baca Juga: Bunuh Begal karena Bela Diri, Pria di Lombok Malah Jadi Tersangka, Ini Penjelasan Polisi
Taufan merujuk pada ketentuan hukum pidana Pasal 48 tentang Daya Paksa (Overmacht) dan Pasal 49 KUHP tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer).
Pada Pasal 48 KUHP menyebutkan “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”
Kemudian dalam Pasal 49 KUHP, terdapat dua ayat yang mengatur tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer).
Pada ayat 1 disebutkan “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (Eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.
Selanjutnya pada ayat 2, “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.
“Pertanyaannya dalam kasus Korban S, manakah yang dapat dikenakan, daya paksa pada Pasal 48 atau pembelaan terpaksa pada Pasal 49. Untuk menjawab itu, maka tentu perlu merunut unsur daya paksa atau kah pembelaan terpaksa,” ujar Dosen Fakultas Hukum Unram ini.
Namun dalam ketentuan Pasal 48 KUHP, menurut dia, tidak ada penjelasan maupun uraian lebih lanjut tentang keadaan seperti apa sehingga unsur daya paksa dapat diterapkan dalam fakta. Begitu juga pada Pasal 49 KUHP.
Namun untuk menjangkau pemaknaan Pasal 48 maupun Pasal 49, kata dia, dapat meninjau aspek teoritis maupun penjelasan dalam Memorie Van Toelichting (penjelasan KUHP).
Daya paksa seperti pada Pasal 48 dapat digariskan sebagai perbuatan yang dilakukan karena pengaruh atau tekanan dari luar, sehingga fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal.
Sedangkan pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat 1, harus berupa pembelaan, terlebih dahulu harus ada hal-hal yang memaksa sebelum perbuatan, seperti serangan atau pun ancaman serangan.
Sedangkan kondisi pada Pasal 49 ayat 2, apabila pembelaan terpaksa itu reaksinya keterlaluan, tidak seimbang lagi dengan sifat serangan. Adanya tekanan yang membuat dirinya tidak normal karena perasaan tergoncang jiwanya.
“Terguncang jiwanya ini misalnya seperti rasa takut, bingung dan marah,” ungkapnya.
Dosen yang mengajar hukum pidana ini melihat kasus ini dapat memenuhi kategori keduanya, baik daya paksa atau pembelaaan terpaksa. Pertimbangan dia, melihat kejadian pada malam hari dan peran begal dilakukan oleh orang yang berpengalaman dengan jumlah empat orang.
“Sehingga, apabila itu dapat dibuktikan dengan fakta lain seperti pemaksaan fisik/psikis, maka sudah sepatutnya korban S tidak di pidana,” terang dia.
Untuk itu, lanjutnya, tinggal membedakan apakah daya paksa atau pembelaan terpaksa. Jika daya paksa, maka pembunuhan itu karena faktor dari luar atau tekanan yang didapatkan sehingga fungsi batinya tidak dapat bekerja secara normal.
Sedangkan jika pembelaan terpaksa karena adanya ancaman atau serangan lebih dahulu, dan jika ada kondisi tambahan pembelaan terpaksa melampaui batas, yaitu serangan korban S menyebabkan kematian karena guncangan jiwa, itu semua harus dibuktikan oleh polisi dan dibantu ahli psikologis.
“Tetapi menurut saya hal ini sulit karena faktor pelaku adalah tukang begal, membawa senjata tajam dan berjumlah empat orang,” kata Taufan.
Namun, jika ada fakta senjata yang digunakan adalah senjata korban S sendiri, penyerangan dilakukan oleh korban S, pelaku begal tidak menimbulkan bahaya langsung, dan ada peluang atau cara lain untuk melarikan diri menghindari bahaya, maka hal itu juga dapat dipertimbangkan dalam penerapan pidananya dengan memberikan pengurangan.
Oleh karena pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bila mana suatu Overmacht atau Noodweer itu harus dianggap telah terjadi, penentuan diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menilainya secara bebas.
“Jadi dalam hal ini polisi harus betul-betul cermat dan teliti dalam menelusuri fakta. Mereka tidak punya kewenangan untuk memutuskan masuk dalam kategori Overmacht, Noodweer, atau pun tidak. Melainkan keputusan itu nantinya ada di tangan hakim pengadilan,” ucapnya.
Ia juga menilai langkah polisi menangani kasus tersebut sudah tepat. Karena Amaq Sinta telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan menghilangkan nyawa seseorang.
“Tapi kalau dihentikan dengan SP3, harus dengan alasan tidak cukup bukti, bukan peristiwa pidana dan demi hukum,” ujarnya
Paling mungkin, sambung dia, dalam kasus itu adalah alasan demi hukum. Namun, jika alasannya karena daya paksa atau pembelaam terpaksa, bagi Taufan, kurang tepat menjadi alasan dihentikan. “Karena yang menilai itu adalah hakim, bukan polisi,” tandasnya. (red)