Katada

Kasus Lahan Gili Trawangan, Direktur GTI dan Kades Gili Indah Tak Hadiri Panggilan Penyidik

Sejumlah wisatawan datang berlibur ke Gili Trawangan, belum lama ini

Mataram, katada.id – Kejati NTB telah menaikan kasus dugaan korupsi sewa lahan di Gili Trawangan, Lombok Utara ke tahap penyidikan.

Penanganan kasus ini sudah memasuki pemeriksaan saksi. Senin (21/2/2022), penyidik memanggil dua orang saksi. Yakni Direktur PT Gili Trawangan Indah (GTI), Winoto dan Kepala Desa (Kades) Gili Indah, Wardana. Keduanya diagendakan untuk diperiksa sebagai saksi. Namun hingga siang, keduanya belum hadir di Kejati NTB.

Plh. Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB, Supardin mengatakan, penyidik menjadwalkan pemeriksaan dua saksi terkait kasus sewa lahan di Gili Trawangan. Namun keduanya berhalangan hadir. ’’Dua saksi tidak hadir karena sakit,’’ ungkapnya.

Penyidik akan menjadwalkan lagi pemeriksaan dua saksi tersebut. Tetapi, Supardin belum mengetahui kapan pemanggilan lagi. ’’Akan dipanggil lagi. Kapan pemeriksaannya, itu kewengan penyidik,’’ terangnya.

Dalam kasus ini, Kejati NTB menemukan penyimpangan dalam pengelolaan aset Pemprov NTB tersebut. Lahan seluas 65 hektare ini diduga disewakan serta diperjualbelikan. Lahan tersebut objek kerja sama Pemprov NTB dengan PT GTI sejak tahun 1995 sampai 2021.

Satu bidang lahan ada yang disewakan Rp800 juta sampai Rp1 miliar per tahun. Pihak yang menyewakan lahan dipastikan tidak memiliki alas hak. Sebab, lahan tersebut merupakan aset Pemprov NTB dalam bentuk Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

Sejauh ini, Kejati NTB sudah mengantongi sejumlah dokumen sebagai bukti dugaan jual beli dan penyewaan lahan. Dokumen ini memuat pernyataan jual beli dan sewa lahan. Dalam dokumen itu juga tertera tanda tangan pejabat pemerintah desa.

Perjanjian jual beli lahan di area seluas 65 hektare ini teridentifikasi tidak sah. Sebabnya, pemberi sewa lahan hanya menguasai secara fisik. Sementara lahan tersebut merupakan aset Pemprov NTB dengan alas hak Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

Sementara, di atas lahan tersebut, berdiri sejumlah usaha jasa penginapan, perniagaan, restoran, serta tempat hiburan. Sekurangnya 80 persen dari total lahan dikuasai pihak lain yang tidak berhak mengelola lahan tersebut. (sm)

Exit mobile version