Bima, katada.id- Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB (DKP NTB) mengungkap bahwa 29 Perusahaan Tambak Udang beroperasi di Kabupaten Bima. Namun tak ada satupun pelaku usaha “bisnis udang” memiliki dokumen perijinan yang lengkap.
Dengan demikian seluruh perusahaan tersebut belum mematuhi semua persyaratan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Seperti, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), Persetujuan Teknis Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL), Surat Laik Operasi Pengelolaan Air Limbah (SLO IPAL), ijin lingkungan, Sertifikat Laik Fungsi (SLF), Sertifikat Standar Berusaha (SIUP), Rekomendasi Air Laut Selain Energi (ALSE), Ijin Pemanfaatan Air Laut Selain Energi dan Sertifikat Cara Budidaya Ikan CBIB.
Kebocoran itu seperti terjadi secara random (acak) Sebagai contoh ada perusahaan yang memiliki SIUP namun tak memiliki SLO IPAL. Usut punya usut ternyata ada tambak yang sudah beroperasi sejak 2015 lalu.
Mirisnya, 29 perusahaan tersebut “kompak” tidak memiliki ijin lingkungan dan SLO IPAL. Ada juga 7 Perusahaan yang memiliki Persetujuan Teknis IPAL, disaat bersamaan tak memiliki SLO IPAL. Data DKP itu juga mengendus 11 dari 29 perusahaan tersebut belum memiliki PKKPRL.
Informasi yang dihimpun media ini, Febuari lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengundang Pimpinan Pemprov NTB dan Kepala Daerah Kab/Kota se-NTB untuk menghadiri rapat koordinasi Tata Kelola Tambak Udang. Bupati Bima saat itu Hj. Indah Dhamayanti Putri turut hadir kegiatan KPK.
Saat itu Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK Dian Patria menyatakan bahwa rendahnya sinkronisasi data antar instansi terkait dan lemahnya pengawasan disinyalir menjadi alasan ketimpangan ijin.
“Seharusnya jumlah tambak yang terdaftar di DPMPTSP sesuai dengan jumlah izin lingkungan di DLHK. Izin lingkungannya itu tidak sampai 10%, begitu pun izin Persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang laut yang tercatat hanya 10%. Jadi, dapat dikatakan banyak masalah tambak di NTB itu karena mereka tidak punya izin lingkungan, sementara izin tambaknya ada. Mereka tidak berkoordinasi antar instansi sehingga menimbulkan ketimpangan izin,” ujar Dian Patria sebagaimana dikutip dari kpk.go.id.
Kondisi itu menurut KPK berpotensi memicu pelanggaran hukum, praktik korupsi di sektor perizinan tambak, dan kerugian berupa kebocoran pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak.
Tak lama pasca rapat bersama KPK, Bupati Bima saat itu Hj. indah Dhamayanti Putri (kini Wagub NTB) mengundang 25 Direksi Perusahaan Tambak Udang ke Kantor Bupati. Umi Dinda sapaan akrabnya meminta pelaku usaha itu melengkapi dokumen perijinan.
Kabag Prokopim Setda Kabupaten Bima, Yan Suryadin menyatakan bahwa kewenangan pemberian ijin usaha tambak udang bergantung pada penggunaan air dan jumlah lahan yang digunakan.
“Bila tambak tersebut mengunakan air payau maka pemberian ijin usaha kewenangan Pemkab Bima. Namun jika menggunakan air laut itu menjadi kewenangan Pemprov NTB. Luas lahan juga menentukan Kewenangan,” ujarnya saat dikonfirmasi media ini, Selasa Malam (29/04).
Terkait ketidaklengkapan dokumen ijin tambak pada 29 Perusahaan tambak dan seluruh tambak yang tak mengantongi ijin lingkungan dan SLO IPAL Yan mengaku harus mendalami dulu.
“Kita kroscek dulu di Dinas Kelautan dan Perikanan NTB bagaimana kebenarannya,” katanya.
Ditanya bagaimana sikap Bupati Ady Mahyudi dan Wabub Dokter Adi Irfan Humas Pemkab Bima itu menyatakan bahwa persoalan ijin tambak itu kompleks.
“Bupati tentu akan memanggil dinas terkait untuk diklarifikasi,” pungkasnya.
Sementara itu Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP NTB) saat dikonfirmasi belum menanggapi subtansi pertanyaan yang diajukan media ini, hingga berita ini diturunkan. (sm).