Mataram, katada.id – Kasus dugaan korupsi Wakil Bupati (Wabup) Lombok Utara, Danny Karter Febrianto bakal dihentikan. Itu setelah Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB mengisyaratkan tidak akan melanjutkan penyidikan kasus penambahan ruang IGD Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara.
Wabup Danny ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur RSUD Lombok Utara dr. Syamsul Hidaya, HZ selaku PPK proyek RSUD, MR selaku Kuasa PT Bataraguru (rekanan) dan LFH selaku Direktur CV Indomulya Consultant (Konsultan Pengawas).
Saat bergulirnya proyek tersebut, politisi Partai Gerindra ini bertindak selaku konsultan bidang pekerjaan konstruksi. Sementara, saat kasus ini mulai diusut Kejati NTB tahun 2019, posisi Danny belum menjabat sebagai wabup.
“Berdasarkan fakta-fakta, rencananya akan dihentikan atau SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Tapi kami masih menunggu hasil ekspose bersama Kejaksaan Agung,” terang Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Ely Rahmawati kepada wartawan saat jumpa pers akhir tahun, Senin (19/12).
Rencana SP3 kasus ini, menurut Ely, berdasarkan alasan yuridis. Salah satunya, unsur pasal yang disangkakan tidak terpenuhi. “Ini berkaitan dengan kerugian negara,” ungkapnya.
Kerugian negara dalam kasus ini berubah-ubah. Sebelumnya, angka kerugian negara Rp742 juta. Tetapi dianulir lagi karena ada kekeliruan penyebutan angka. Menurut kejaksaan, nilai kerugian negara sebesar Rp242 juta.
Masalah kerugian negara ini kembali dilakukan audit ulang atau review dengan menggandeng Inspektorat NTB. Hanya saja, Kejati NTB maish merahasiakan nilai terbaru kerugian negara.
“Audit awal sudah ditarik oleh inspektorat, dan mereka melakukan audit ulang. Hasilnya menjadi rahasia kami, nanti ada waktunya kami sampaikan. Apapun yang terjadi pasti kami umumkan,” janji dia.
Sebagai informasi, pekerjaan penambahan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada RSUD Lombok Utara ini dikerjakan oleh PT Batara Guru Group. Proyeknya dengan nilai Rp5,1 miliar dikerjakan pada tahun anggaran 2019.
Dugaan korupsinya muncul usai pemerintah memutus kontrak proyek di tengah progres pengerjaan. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya kerugian negara sebelumnya dengan nilai Rp242,7 juta.
Modus korupsi dari kasus ini berkaitan dengan pekerjaan proyek yang tetap dinyatakan selesai meskipun masih ada dugaan kekurangan volume pekerjaan. (ain)