Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Hukum dan Kriminal

Koalisi Stop Kekerasan Seksual Kecewa atas Tuntutan Ringan Kasus Kekerasan Seksual di Ponpes Sekotong

×

Koalisi Stop Kekerasan Seksual Kecewa atas Tuntutan Ringan Kasus Kekerasan Seksual di Ponpes Sekotong

Sebarkan artikel ini
Pengadilan Negeri Mataram. (Istimewa)

Mataram, Mataram.id – Perwakilan Koalisi Stop Kekerasan Seksual di Nusa Tenggara Barat (NTB), Yan Mangandar Putra menyoroti keputusan Kejaksaan Negeri Mataram yang menuntut hukuman ringan terhadap dua terdakwa kasus kekerasan seksual yang melibatkan pengurus Pondok Pesantren (Ponpes) di Sekotong, Lombok Barat.

Kasus ini melibatkan Ustadz Wahyu Mubarok alias Tuak Wahyu, seorang pengajar, dan Ustadz Haji Marwan alias Abah Marwan, serta pimpinan Ponpes berinisial S yang akan dibacakan tuntutan hari ini.

Example 300x600

Terdakwa pertama, Ustadz Wahyu Mubarok (Tuak Wahyu), yang didakwa dengan persetubuhan, dijatuhi tuntutan pidana penjara selama 8 tahun.

Sementara itu, terdakwa kedua, Ustadz Haji Marwan (Abah Marwan), yang didakwa dengan pencabulan, juga dikenakan tuntutan serupa, yakni penjara selama 8 tahun. Namun, pada sidang 11 September 2025, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram menjatuhkan putusan yang lebih ringan terhadap Abah Marwan, yakni hukuman penjara selama 6 tahun.

Keputusan ini mendapat protes keras dari Koalisi Stop Kekerasan Seksual. Yan Mangandar Putra, perwakilan Koalisi, mengungkapkan rasa kecewa mereka dengan menilai tuntutan dan putusan yang dijatuhkan tersebut merupakan langkah mundur dalam penegakan hukum terhadap kekerasan seksual, terutama yang terjadi di lingkungan Ponpes yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para santri.

“Kami menilai ini adalah sikap tidak konsisten dan mundur dalam upaya pemberantasan kekerasan seksual di Ponpes,” ujar Yan Mangandar Putra.

Pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak

Koalisi juga mengkritik keputusan hukum ini karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 17/2016). UU tersebut memberikan ancaman pidana lebih berat bagi pelaku kekerasan seksual, terutama jika pelaku adalah seorang pendidik.

Dalam undang-undang ini, ancaman pidana bagi pendidik yang melakukan kekerasan seksual bisa mencapai 20 tahun penjara, dan dalam beberapa kasus, bahkan dapat ditambah dengan kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik.

Yan Mangandar Putra menegaskan bahwa, “Seharusnya jaksa menuntut dengan menggunakan ketentuan terbaru dalam UU Perlindungan Anak yang menyatakan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun. Apalagi, apabila pelaku merupakan seorang pendidik, pidana dapat ditambah 1/3.”

Posisi Kekuasaan Terdakwa dalam Kasus Ini

Koalisi juga menyoroti posisi para terdakwa sebagai pengurus Ponpes harus menjadi pertimbangan serius dalam proses hukum. Dikatakan bahwa beberapa korban dan saksi dalam kasus ini tidak kooperatif, bahkan ada yang mencabut keterangannya di persidangan.

Hal ini dianggap sebagai bukti kuat adanya relasi kekuasaan yang masih mempengaruhi proses hukum, di mana para terdakwa yang memiliki status sosial dan kekayaan dapat memanfaatkan kekuasaannya untuk menekan korban dan saksi.

“Pencabutan keterangan dari saksi dan korban memperlihatkan masih kuatnya relasi kekuasaan antara terdakwa dengan lingkungan Ponpes. Para terdakwa memiliki pengaruh besar, sementara korban berasal dari kalangan masyarakat biasa yang sangat rentan terhadap intimidasi,” kata Yan Mangandar Putra.

Evaluasi dan Pelaporan ke Instansi Terkait

Sebagai langkah protes, Koalisi Stop Kekerasan Seksual berencana melaporkan proses hukum ini ke berbagai instansi terkait, termasuk Kejaksaan Agung RI, Komisi Kejaksaan RI, Mahkamah Agung RI, dan Komisi Yudisial RI.

Mereka berharap agar keputusan ini dapat dievaluasi secara menyeluruh, guna mencegah adanya celah hukum yang memberikan perlakuan ringan kepada pelaku kekerasan seksual.

“Koalisi membuka peluang untuk melaporkan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mataram dalam kasus ini ke Kejaksaan Agung RI dan Komisi Kejaksaan RI untuk dilakukan evaluasi yang lebih mendalam,” ungkap Yan Mangandar Putra. (*)

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *