Oleh: Abdul Fattah
Mataram, katada.id – Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga independen yang lahir dengan intensi dasar pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) kini menjumpai akhir hayatnya. Lembaga yang semula menjadi antitesis dari kejaksaan dan kepolisian itu dipreteli dibawah kepemimpinan perwakilan kepolisian.
Apa yang terjadi terhadap KPK adalah vandalisme dan barbarisme politis. Pemberangusan pemberantasan korupsi dengan dalih test wawasan kebangsaan tidak hanya merendahkan Pancasila sebagai suatu Philosophie Grondslag, yakni dasar filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih dari itu, itu menabrak nalar dan melecehkan moral publik. Nalar publik telah menyuarakan kemuakan kolektif terhadap korupsi. Kemuakan itu bahkan terwujud dalam wacana dehumanistis, vonis pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Sikap yang ditampakan oleh penyelenggara negara telah secara telanjang menunjukkan keberpihakan mereka terhadap pemberangusan pemberantasan korupsi. Mulai dari eksekutif dengan kemunafikan yang mengobral keberpihakan dalam lisan, namun menyuguhkan penghianatan dalam tindakan. Pernyataan Presiden yang menjajikan penerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) lebih nampak seperti omong kosong, hanya sebagai pereda demonstrasi penolakan. Hingga kini, legislatif menunjukan sikap yang abu-abu.
Legislatif seakan menyingkap rupanya sebagai lembaga negara paling korup, manakala menginisiasi revisi KPK melalui UU NO. 19/2019, yang tidak masuk prolegnas itu, legislatif melanggar Pasal 65 dan 66 Peraturan Tata Tertib DPR yang mengatur bahwa pembentukan undang-undang harus terlebih dahulu masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahunan. Jumlah anggota DPR yang hadir dalam pengesahan UU itu menyalahi ketentuan kourum 50% +1, setidaknya, 281 dari 560 anggota DPR hadir dalam pengesahan, namun dalam pengesahannya, hanya ada 102 orang anggota DPR yang hadir. Bahkan, dalam proses pembentukannya, KPK dan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak, sama sekali tidak dilibatkan. Padahal, Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 mewajibkan DPR untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembahasan RUU. UU yang terpenuhi kecacatan dan penolakan itu, tetap disahkan.
Yudikatif yang mengemban harapan terakhir atas keadilan justru menjadi lembaga yang meruntuhkan keadilan, sejumlah kecacatan terabaikan, realitas penolakan publik melalui demonstrasi panjang yang merenggut nyawa anak bangsa atas uu itu bahkan ditolak dan tidak teranggap oleh Mahkamah Konstitusi selaku the last guardian of justice/constitution. Judicial Review (JR) atas UU itu di tolak oleh MK. Hanya Wahidudin Adams, satu dari sembilan hakim konstitusi yang merepresentasikan nalar dan moralitas publik, yakni penolakan terhadap pelemahan KPK melalui disenting opinionnya. Guru Besar HTN Universitas Padjajaran, Prof. Susi Dwi Harjanti dalam pendapat ahlinya terhadap JR UU itu menyatakan, terjadi kematian hukum prosedural.
Setelah pelemahan substansi hukum (UU) KPK melalui revisi, struktur hukum yang menghidupkan dan mewujudkan intensi filosofis hukum dalam kenyataan malah turut dienyahkan.
Ketua KPK, Firli Bahuri sedari awal serupa benalu, parasit yang meruntuhkan KPK dari dalam. Saat Firli masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, ada 26 OTT bocor ke telinga koruptor. Dibawah kepemimpinannya, KPK memberhentikan 36 kasus korupsi yang telah masuk tahap penyelidikan (Tirto. Id). Bahkan, untuk pertama kali semenjak kelahirannya, KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus dugaan mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sebanyak 51 dari 75 pegawai KPK yang menangani kasus korupsi kakap dan memiliki prestasi serta track record baik dalam pemberantasan korupsi diberantas dengan test wawasan kebangsaan. Kesaksian sejumlah pihak yang terlibat langsung dalam penyusunan peraturan, sebagaimana dikuak oleh Tim Indonesia Leaks, Perkom Pemberantasan Korupsi No. 1/2021, dasar hukum pengadaan TWK, menyatakan bahwa ketentuan tersebut didiktekan oleh Firli Bahuri. Saat isu pemberhentian 75 pegawai KPK terkuak ke publik, saling lempar “bola panas” pertanggungjawaban antar lembaga negara terjadi. Di internal KPK sendiri, mayoritas pimpinan KPK menentang pemberhentian 75 pegawai KPK, hanya Firli Bahuri yang bersikukuh atas keputusan itu.
Pemberhentian pegawai KPK menunjukkan penentangan Firli Bahuri atas putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU No. 19/2019 yang menyatakan alih status pegawai terlarang merugikan pegawai KPK. Pasca revisi dan uji materi MK, independensi KPK dikebiri melalui pengalihan KPK dibawah rumpun kekuasaan eksekutif. Kendati telah berada dibawah Presiden, instruksi Presiden, agar alih status pegawai KPK tidak merugikan pegawai, urung dilakukan. Sikap KPK yang membangkangi instruksi tersebut melecehkan marwah dan wibawa Presiden, sikap itu seakan menunjukan, Presiden sebagai kepala negara tidak berkekuasaan terhadap bawahannya sendiri.
Bahkan sebelum itu, pegawai-pegawai KPK “dipecah” dengan label dikotomis yang picik dan sentimentil. Mereka dianggap sebagai bagian dari kelompok radikal dengan diberi cap “taliban.” Label semacam itu dimaksudkan untuk mendehumanisasi serta melegitimasi penyingkiran terhadap mereka. Pola primitif semacam ini digunakan oleh kolonialis pra humanisme-modern untuk melegitimasi penjajahan dengan ragam rupa penyembelihan haknya.
Sesungguhnya, yang tidak berwawasan kebangsaan adalah mereka, begundal yang merintangi pemberantasan korupsi, yang membenturkan Pancasila dan kitab suci agama, yang secara serampangan menafsirkan Pancasila dan menggunakannya sebagai pemberangus pihak tertentu.
Dalam suatu sistem banal yang telah terdominasi korupsi, keteguhan sikap terhadap kebenaran dan perlawan atas korupsi adalah sesuatu yang cela, bahkan cenderung dianggap sebagai dosa. Mereka, penyusun sistem akan menyisihkan dan menyingkirkan cela dan dosa itu dengan segala daya upaya, bahkan bila daya upaya itu menabrak nalar dan moralitas.
Kesadaran moral itu yang pada Selasa lalu (22/6), menggerakan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat NTB Menggugat menggelar aksi demonstrasi di gedung DPRD NTB dengan tajuk “Matinya KPK di tengah Krisis Demokrasi dan Tingginya Pajak.” Intensi dasar aksi demonstrasi itu adalah penolakan terhadap pemberangusan pemberantasan korupsi melalui pelemahan KPK. Pencabutan UU No. 19/2019 dan SK 652 Tahun 2021 tentang Penonaktifan 75 Pegawai KPK menjadi point tuntutan utama. Aksi ini merepresentasikan sikap kelompok masyarakat sipil di NTB yang menolak pelemahan KPK.
Kurang dari seminggu semenjak aksi demonstrasi itu, Ketua KPK, Firli Bahuri dikabarkan akan mengisi kuliah umum Anti Korupsi dengan tema Profesionalitas dan integritas di Universitas Mataram dan sejumlah tempat lainnya di NTB, pada Senin (28/6). Kuliah umum dengn tema anti korupsi, profesionalitas dan integritas ini begitu penting ditengah korupsi yang menggurita serta profesionalitas dan integritas yang kian tereduksi. Namun, Firli Bahuri selaku pemateri sama sekali tidak representatif, sebab ia telah secara nyata terbukti melanggar etik, ia bahkan diduga menerima sejumlah uang dan mengadakan pertemuan dengan koruptor.
Apabila Universitas Mataram dan Mahasiswa NTB menerima kedatangan Firli Bahuri maka itu menunjukkan keberpihakan Universitas Mataram dan Mahasiswa NTB terhadap pemberangusan pemberantasan korupsi. Sikap itu menghianati aksi Rakyat NTB Menggugat dan kedudukan kelompok masyarakat sipil yang menyuarakan penolakan atas pelemahan KPK. Diatas itu, nalar serta moralitas publik yang muak terhadap korupsi dan menolak pelemahan KPK dilecehkan oleh keberterimaan terhadap Firli Bahuri yang diduga kuat menjadi Aktor utama pelemahan KPK.
Dalam taraf ini, penulis memandang penolakan terhadap ketua KPK, Firli Bahuri adalah keharusan bagi kelompok masyarakat sipil dan Mahasiswa NTB. Hal tersebut menjadi begitu penting, guna menjaga nalar, moralitas dan sebagai wujud keberpihakan rakyat NTB, khususnya akademisi dan mahasiswa terhadap penegakan pemberantasan korupsi. (*)
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Unram