Mataram, katada.id – Kepala Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) Dwi Sudarsono menyoroti masih minimnya layanan hukum bagi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di tingkat pondok pesantren.
Hal itu disampaikan Dwi Sudarsono menjawab isu dugaan kasus kekerasan seksual di lingkungan salah satu pondok pesantren di Lombok Barat dengan korban 22 santriwati yang dilakukan oknum pimpinan pondok pesantren AF.
Diketahui, AF yahg mencabuli para santriwati dengan modus mirip dengan Walid di film Bidaah telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Polresta Mataram, Kamis (24/4).
“Kasus kekerasan seksual ini. Kami melihat rendahnya layanan hukum. Seharusnya pemerintah daerah harus menyediakan layanan hukum bagi masyarakat,” kata Dwi Sudarsono di Mataram, Kamis (24/4).
Ia mengatakan setiap sekolah harus menyediakan satu tugas untuk melakukan fungsi pengawasan peristiwa pelecehan atau kekerasan seksual. “Unit ini akan menangani juga kekerasan fisik dan psikis. Kasus bullying siswa misalnya,” kata dia.
Dwi juga menjelaskan problem lainnya, misalnya pondok pesantren terkesan eksklusif bahkan dengan Kementerian Agama. “Selama ini ada problem, ada Kemenag, ada kesulitan mengakses informasi terhadap pondok pesantren,” jelasnya.
Ia mengatakan, pemerintah daerah dalam upaya untuk pencegahan kasus kekerasan seksual melalui Kementerian Agama agar mendorong pembentukan unit di masing-masing pondok pesantren.
Dwi berharap pelayanan terhadap manajemen sekolah agar menjadi atensi untuk menindaklanjuti fenomena kasus kekerasan seksual yang seperti gunung es. “Fenomena kekerasan seksual seperti gunung es, banyak yang terjadi,” ujarnya.
Ia menegaskan Ombudsman siap menerima laporan dari masyarakat jika terdapat pelayanan yang lambat dari kepolisian dan pemerintah daerah.
“Kami siap menerima laporan dari masyarakat terkait layanan pemerintah. Jadi kalau lambat nanti bisa dilaporkan ke Ombudsman,” jelasnya. (red)