Mataram, katada.id – Muhammad Makdis dihadirkan dalam persidangan kasus suap dan gratifikasi pada pengadaan barang dan jasa Pemkot Bima dengan terdakwa Muhammad Lutfi, mantan Wali Kota Bima periode 2018-2023.
Makdis yang juga ipar terdakwa ini lebih banyak membantah telah mengerjakan proyek-proyek di Pemkot Bima tahun 2019. Termasuk 15 proyek seperti yang tertuang dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa 15 proyek tersebut milik Rofiko Alfiansyah alias Al, selaku Kepala Cabang PT Risalah Jaya Kabupaten Bima. Bahkan, Makdis menyebut dengan gamblang bahwa saksi Rofiko, Ismunandar, dan Ririn Kurniati adalah segerombolan penipu.
Mengawali kesaksiannya, Makdis menceritakan PT Risalah Jaya ini milik Jamal Abdul Naser, yang juga kakak kandungnya. Kemudian ia menyarankan agar membuka cabang di Kabupaten dan Kota Bima. “Saya yang tunjuklah Rofiko sebagai kepala cabang, karena dia orang baik dan alim. Saya kepala Cabang Kota Vima,” ujarnya menjawab pertanyaan dari jaksa KPK pada persidangan di Pengadilan Tipikor Mataram, Jumat (22/3).
Alasan dibuat cabang di Bima, karena ia ingin serius di dunia kontraktor. Tapi tahun 2019, ia diguncang masalah rumah tangga. “Saya ada masalah rumah tangga. Tahun 2019, saya sering tidur di kantor (Risalah Jaya Cabang Kota Bima). Dan saya cerai 2023 awal,” katanya.
Ia mengaku banyak mengerjakan proyek di Kabupaten Bima, yakni tahun 2015 sampai 2018. Makdis memakai perusahaan orang lain alias pinjam bendera. “Saya pernah kerjakan Puskesmas Woha,” jelasnya.
Sementara di Kota Bima, lebih dari lima paket pekerjaan yang dimenangkan PT Risalah Jaya. Tetapi menurut Makdis, pekerjaan tersebut ditangani Rofiko. “Ini tidak pernah dilaporkan Rofiko. Yang tanda tangan kontrak juga Rofiko,” bebernya.
Mengenai 15 paket pekerjaan yang disebut miliknya, ia mengaku tidak mengetahuinya. Begitu pula dengan pekerjaan yang dimenangkan perusahaan lain (pinjam bendera). “Saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya suplai material di beberapa pekerjaan saja,” ungkapnya.
Makdis mengaku menjadi penyuplai material pada proyek Jalan Lingkungan perumahan Oi Foo II, Jalan Nungga-Toloweri, Jalan Lingkungan Oi Foo I. “Untuk proyek Oi Foo I, saya hanya penjamin utang ke Amsal Sulaiman (Cengsi) untuk Munawir,” tegasnya.
Ia juga menyuplai material pada proyek Jalan Lingkungan Perumahan Jatibaru, Listrik PJU Oi Foo II, Listrik PJU Oi Foo I, Listrik PJU Perumahan Jati Baru, Lampu Jalan Kota Bima, Jaringan Perpipaan SPAM Rasanae Timur, dan SPAM Kelurahan Pane.
“Untuk proyek SPAM Rasanae Timur, Munawir (CV Nawir Jaya) meminta beli pipa saja. Kalau SPAM Kelurahan Tanjung, saya tidak tahu, itu pekerjaan Edi Salahudin),” ungkapnya.
Sementara, proyek Irigasi Dodu, Makdis mengaku tidak ingat. Untuk pengadaan kendaraan roda empat di Dinas Pemberdayaan Perempuan senilai Rp 700 juta, ia mengatakan bahwa proyek tersebut dimenangkan Edi Salahudin. Namun bukan Edi Salahudin yang berkontrak, melainkan ia meminjam perusahaan lain.
“Beli mobil pakai uang saya dengan kesepakatan harga yang ada, sampai sekarang uangnya belum dilunasi. Saya yang beli semua mobil di Surabaya. Mobil sesuai dengan spek yakni mobil KB. Saya bantu modalin,” ujarnya.
Lebih lanjut, Makdis menjelaskan, dari 15 paket pekerjaan 2019, ada empat paket pekerjaan yang ia tidak sumbang material. “Semua pekerjaan ini tidak berkontrak dengan PT Risalah Jaya. Dan saya siapkan material sesuai permintaannya. Material ini ada yang dipesan Rofiko, ada juga dari kontraktor lain,” terangnya.
Di sisi lain, Makdis tidak menampik jika proyek PJU Kota Bima dikerjakan kakak kandungnya, Nasuhan. Pada proyek tersebut, ia hanya menyuplai barang saja. “PJU yang kerjakan Nasuhan, kakak kandung saya. Benar saya yang suplai material,” ujarnya.
Ditanya kenal Rizal Afriansyah, ia mengaku yang bersangkutan Kepala Workshop Kota Bima. “Saya sering minta bantuan untuk material dan sewa alat berat,” ujarnya
Sementara, Fahad ia kenal sebagai Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Kota Bima. Begitu juga M Amin, ia kenal sebagai kepala Dinas PUPR.
Makdis juga menyebutkan bahwa modal kerja Rofiko dari dirinya. Ia hanya dijanjikan dapat prosentase. Menurutnya, Rofiko mengajukan penawaran proyek di Kota Bima tanpa sepengetahuannya.
“Dia hanya minta tolong dibantu kalau ada pekerjaan. Saya tahu Rofiko berkontrak dengan Pemkot Bima untuk Jalan Perumahan Oi Foo, saat masukan material. Saya filing saja, gak lihat langsung kontrak,” cetusnya.
Jaksa juga menanyakan hubungan pekerjaannya dengan Amsal Sulaiman. Makdis mengaku hanya kenal Amsal Sulaiman sebagai pengusaha dan penyewaan alat berita serta material aspal.
“Saya pernah beli dan order ke Amsal atas nama pribadi. Pakai atas nama Dedi (Makdis). Dokumen pembelian diserahkan ke Rofiko,” ungkapnya.
Sejurus kemudian, Makdis mengubah lagi keteranganya. “Lupa apakah atas nama pribadi atau perusahaan PT Risalah Jaya. Selain di Amsal, saya juga beli Surabaya, yakni aspal. Kalau lampu saya beli di Saka Agung,” katanya.
Makdis ditanya juga pernah meminjam perusahaan CV Nawir Jaya milik Munawir. Ia mengaku tidak pernah. Makdis juga membantah telah menjanjikan proyek. “Bohong Munawir bawa batu koral untuk saya. Saya gak tahu wali kota pesan batu koral ke Munawir. Saya juga tidak pernah janjikan proyek PL (penunjukan langsung) ke pihak lain,” bantahnya.
Ia menerangkan juga bahwa pada tahun 2020, PT Risalah Jaya diambil alih Jamal Abdul Naser selaku pemiliknya. Pekerjaan proyek di tahun itu ditangani langsung Jamal. “Saya hanya siapkan material dan akan dibayar setelah ada pembayaran dari pemkot,” ujarnya.
Jaksa juga menanyakan perihal status Makdis sebagai nasabah prioritas BNI Cabang Bima. Menjawab itu, ia mengaku terakhir menjadi nasabah prioritas BNI tahun 2018. “Bukan 2022,” ujarnya.
Ia mengaku mengenal pegawai BNI Fitri alias Tiwi dan sering membantunya dalam urusan bank. “Saya tarik uang saya di Bank NTB Rp 2 miliar dan masukan ke BNI lewat Fitri, sehingga jadi nasabah Emeral atau prioritas,” ujarnya.
Makdis beberapa kali setor ke BNI lewat Fitri. Terkadang ia meminta bantuan Rofiko. “Slip setoran kadang saya dan Rofiko yang tanda tangan,” katanya
Ia membantah pula pernah menyuruh Nafila memerintahkan Rofiko menarik uang di Bank NTB. Seperti pengakuan Rofiko pada persidangan sebelumnya. “Gak pernah,” ujarnya.
Makdis juga menampik terdakwa Lutfi pernah meminjam uang ke dirinya. “Tidak pernah ke terdakwa. Umi Eliya hanya bantu rehab rumah. Jadi hitungannya utang,” ujarnya.
Mengenai penyerahan uang Rp 1 miliar di rumah dinas Wali Kota Bima, Makdis mengaku tidak mengetahuinya. Begitu juga dengan penyerahan uang sebesar Rp 200 juta, serta 500 juta oleh Rofiko.
Untuk pengiriman uang ke terdakwa maupun Eliya, Makdis mengaku juga tidak pernah mengirimkan ke rekening keduanya. Namun setelah diingatkan, ia mengaku pernah sekali mengirim uang ke rekening Lutfi. “Ada kirim ke rekenjng Lutfi sekitar Rp 40 juta sampai Rp 15 juta pada tahun 2018. Tapi sudah diganti,” bebernya.
Usai ditanya jaksa, Majelis Hakim juga menggali mengenai perintah Makdis kepada Rofiko untuk setor tunai. Makdis tidak menampiknya. “Iya, saya suruh Rofiko setor tunai,” jawab dia.
Mengenai pekerjaan Jalan Nungga-Toloweri, ia kembali menegaskan bahwa pekerjaan tersebut milik Rofiko. “Saya siapkan material hingga tukang. Saya cuma ambil untung. Rofiko saya modalin. Saya percaya Rofiko, itulah kesalahan saya,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan jika Rofiko menghilang tahun 2019 dan dipecat sebagai kepala cabang PT Risalah Jaya Kota Bima. “Saya dengar (menghilang) karena utang judi dan banyak uang orang dibawa lari,” tegasnya
Hakim kembali mendalami perihal PT Risalah Jaya bisa memenangkan pekerjaan Jalan Nungga-Roloweri. Karena saat itu perusahaan tersebut tidak punya pengalaman pekerjaan jalan.
“PT Risalah Jaya bisa menang, karena saat itu kurang peminat. Dan bukan saya yang suruh Rofiko ikut tender proyek tersebut. Saya gak tahu (Rofiko ikut tender),” cetusnya.
Hakim pun menanyakan mengenai siapa yang modalin Rofiko. Karena menurut Makdis, Rofiko tidak punya apa-apa dan dia yang modalin pada pekerjaan jalan tersebut. “Saudara yang bayar material, sewa alat berat. Kata saudara, semuanya Rofiko, apakah saudara yang suruh Rofiko?,” tanya hakim. Makdis tidak banyak menjawab. “Saya tidak tahu,” jawab makdis.
Ditanya kenal dengan Ririn Kurniati (Kabid Bina Marga PUPR Kota Bima) dan Ismunandar (Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kota Bima). Makdis mengaku pernah meminta bantuan kepada Ismunandar untuk gambar masjid di Lombok. “Saya tiga kali bertemu, dia datang pinjam uang ke saya. Dan dia juga mengaku sering diintimidasi Rofiko,” kat Makdis.
Hakim mempertanyakan pula bahwa Makdis pernah memanggil Ririn dan Ismunandar di rumahnya. Seingat dia, tidak pernah panggil bersamaan Ismunandar dan Ririn. Hakim pun mengingatkan kesaksian Ismunandar dan Ririn pada persidangan sebelumnya. “Makdis menyampaikan bahwa untuk pekerjaan pembangunan jalan dan PJU di BPBD tahun 2019 milik saudara (Makdis), sedang jaringan air bersih dan sanitasi lingkungan milik Amsal,” kata hakim mengingatkan keterangan Ismunandar dan Ririn kepada Makdis.
Namun Makdis membantah pernah memanggil Ismunandar dan Ririn secara bersamaan. “Saya gak pernah, saya gak merasa, saya tidak punya kapasitas (mengatur proyek),” kelitnya.
Hakim mengingatkan lagi bahwa pengakuan tersebut disampaikan Ismunandar dan Ririn pada persidangan sebelumnya. “Ini dua orang yang cerita, saudara sendirian. Dari kami sidang Februari sampai hari ini, begitu kata mereka. Kalau mereka bohong semua, gak taulah,” kata hakim.
Makdis pun menjawab dengan gamblang dengan menyebut mereka gerombolan penipu. “Mereka itu gerombolan,” jawabnya.
Hakim menegaskan lagi mengenai penyebutan gerombolan tersebut? “Gerombolan penipu,” tegas Makdis menjawab pertanyaan hakim.
“Loh Banyak sekali gerombolan penipu, berarti KPK ditipu sama gerombolan itu. Apakah saudara menipu, ini puasa, jujur-jujuran. Kenapa mau ditipu?,” tanya hakim lagi.
“Saya tidak pernah menipu. Saya sering ditipu oleh mereka. Saya tahu ditipu setelah kerja sama mereka,” ungkap Makdis.
Selain itu, hakim menanyakan Makdis pernah menyuruh Jamaludin membuat penawaran setiap tender yang diikuti PT Risalah Jaya maupun perusahaan pinjaman. Karena Rofiko maupun Jamaludin mengaku disuruh oleh Makdis untuk membuat penawaran. “Saya tidak pernah suruh,” bantahnya lagi.
Hakim menggali pula mengenai setoran uang ke BNI Rp 500 juta. Saat itu, pihak BNI datang ke rumah dinas wali kota untuk penyetoran. “Saat itu untuk rehab rumah. Saya tidak ingat. Memang ada transaksi di rumah dinas, tapi nilainya lupa. Uang tersebut dari kontraktor tempat saya beli material atau pinjaman,” katanya
Namun uang Rp 500 juta tersebut pinjaman Eliya dan sudah dikembalikan senilai Rp 550 juta. “Itu uang utang. Memang ada kelebihan Rp 50 juta. Kelebihan ini keuntungan saya,” sebutnya.
Sementara, Abdul Hanan selaku Penasihat Hukum terdakwa Muhammad Lutfi menanyakan ada pertemuan khusus dengan terdakwa. “Tidak ada pertemuan dengan terdakwa. Kadang ketemu saat ada acara di kediaman wali kota. Saat itu ada acara 1 tahun Lutfi-Ferri memimpin. Dan tidak ada pembicaraan masalah proyek,” kata Makdis menjawab Abdul Hanan.
Ia membantah mengetahui list proyek yang akan dikerjakan di Pemkot Bima. “Saya juga tidak pernah membawa nama terdakwa. Dipanggil secara khusus Eliya untuk pekerjaan, tidak pernah. Tidak pernah berikan uang, kecuali utang piutang,” ujarnya.
Mengenai tiga rekening PT Risalah Jaya dikendalikan Eliya, ia membantahnya. “Tiga rekening milik perusahaan. Rekening risalah dibuat dengan akta. Khusus rekening bank NTB, hanya Rofiko yang bisa cairkan. Saya sendiri tidak bisa,” katanya.
Saat ditanya lagi pernah mengirim uang kepada terdakwa, Makdis mengaku dua kali transfer ke Lutfi. Yakni pada September 2018 dan Oktober 2019. “Tapi sudah dikembalikan semua. Ada kelebihan sekitar Rp 5 juta. Pengiriman ini tidak ada urusannya dengan PT Risalah Jaya dan proyek,” ujarnya.
Sementara, terdakwa Muhammad Lutfi hanya meluruskan mengenai uang pinjaman ke Makdis sebesar Rp 60 juta. “Benar ada uang pinjaman Rp 60 juta. Saya lebihkan karena tersinggung, baru utang dua bulan tapi sudah dibicarakan,” ujarnya. Sedangkan keterangan Makdis yang lainnya, terdakwa tidak mengetahuinya. (ain)