Katada

Mantan Dirut RSUD Lombok Utara dan Anak Buahnya Divonis 5 Tahun Penjara, Rekanan Kena 7 Tahun

Lombok Utara, katada.id – Mantan Direktur Umum (Dirut) RSUD Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), dr. Syamsul Hidayat divonis 5 tahun penjara dalam kasus korupsi pembangunan ruangan ICU RSUD Lombok Utara tahun 2019. Terdakwa Syamsul Hidayat dihukum juga membayar denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.

Putusan terdakwa Syamsul Hidayat dibacakan Ketua Majelis Hakim, Sri Sulastri pada persidangan, Senin kemarin (24/10/2022). “Menyatakan terdakwa Syamsul Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 5 tahun,” ucap Sri Sulastri dalam amar putusannya.

Sementara anak buahnya, terdakwa E Bakri selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) divonis 5 tahun penjara. Terdakwa juga dibebankan membayar denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.

Konsultan Pengawas, Sulaksono juga divonis 5 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan. Sedangkan penerima kuasa direktur PT Apro Megatama, Darsito dihukum lebih tinggi.

Hakim menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa Darsito selama 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia juga dihukum membayar uang pengganti kerugian negara Rp1,753 miliar subsider 2 tahun penjara.

Hukuman empat terdakwa lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebelumnya terdakwa  Syamsul Hidayat, E Bakri, dan Sulaksono dituntut 7 tahun 6 bulan penjara. Sedangkan Darsito dituntut 8 tahun penjara.

JPU Budi Tridadi belum mengambil sikap atas putusan hakim tersebut. “Kami masih pikir-pikir,” terangnya. Penasihat hukum masing-masing terdakwa juga masih pikir-pikir.

Sebagai informasi, pembangunan ruang ICU RSUD Lombok Utara dikerjakan PT Apromegatama dengan total anggaran Rp6,4 miliar. Proyek tersebut sudah dilakukan provisional hand over (PHO) berdasarkan berita acara Nomor 61/PPK-Konstruksi/RSUD.KLU/II/2020 tertanggal 24 Februari 2020 lalu

Setelah rampung, proyek tersebut menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTB dengan potensi kerugian negara mencapai Rp212 juta. Tetapi dari proses penyidikan dan hasil audit Inspektorat NTB ditemukan kerugian negara Rp 1,57 miliar.

Dalam persidangan temuan kerugian negara bertambah menjadi Rp 1,8 miliar. Munculnya penambahan kerugian negara tersebut berasal dari denda keterlambatan pekerjaan Rp300 juta lebih. (ain)

Exit mobile version