Kehidupan di bumi ini, beribu-ribu tahun sebelumnya pernah mengalami kekacauan panjang, meninggalkan luka bathin, mengoyak nurani keadilan manusia paling dalam, saat tirani memimpin akal pikiran. Dan saat akal sehat direduksi esensinya sebagai penuntun jalan suci, menuju kehidupan yang berkeadilan.
Potret kehidupan ini, dideskripsikan dengan narasi kematian akal pikiran, kegelapan pengetahuan, kehancuran peradaban. Sebuah nestapa kehidupan paling gelap. Di mana manusia menjadi Serigala bagi manusia lain, saling memakan daging sendiri (homo homoni lupus).
Tirani Kekuasaan dalam konteks ini, penulis menggunakan pengertian sendiri yang berbeda dengan makna pada umumnya. Ini penting dilakukan untuk mempertegas dan mempertajam analisis dengan menghubungkan realitas empirik baik secara historical maupun teori-teori lainnya.
Tirani kekuasaan, yang saya maksudkan di sini adalah dominasi pikiran elit terhadap pikiran kritis yang berbeda dengan kehendak kekuasaan. Baik kekuasaan negara secara formil, kekuasaan korporasi, kekuasaan media, maupun kekuasaan kelompok dominan yang tidak ingin diganggu, apalagi dirongrong marwah dan wibawanya.
Jika dirunut kebelakang wajah buram kehidupan sosial kala itu. Di mana ruang-ruang sosial dipenuhi dan disesaki oleh adegan konflik kepentingan, perebutan kekuasaan, pertarungan gengsi kelompok, hingga berujung pada pembantaian manusia dilakukan. Semua itu dilakukan atas nama dominasi kekuatan elit (kelompok dominan) dalam masyarakat.
Kehidupan saat itu, ketakutan begitu mencekam karena teror di mana-mana mengintai, intimidasi terus dilakukan, kematian berjatuhan, mayat-mayat berserakan di jalan raya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Manusia memang kejam, saat tirani pikiran menjajah akal sehat. Akibatnya kehancuran kehidupan di depan mata, itulah yang terjadi pada abad pertengahan kehidupan begitu kelam.
Kekejaman dan perilaku keji manusia pada saat itu dapat dirasakan, kala kita membaca kembali sejarah kelam masa lalu yang ditulis dengan tinta air mata, kita semua hanya menjadi saksi bisu, diam merasakan jeritan kesakitan luka menganga, meminta perlindungan, saat siksaan brutal, perkosa massal, perampasan dengan kekerasan, perampokan disertai intimidasi. Jika ada melawan nyawa melayang, mati layaknya binatang, manusia tidak dihormati keberadaan sebagai manusia merdeka, dan beradab.
Jaman kekejaman tersebut, berlangsung di awal abad pertengahan sampai abad 15. Jaman ini dikenal dengan istilah Dark Age (Masa Kegelapan). Masa ini merupakan era paling suram bagi sejarah kehidupan umat manusia karena pikiran dikandang, kebebasan dikerangkeng, akal budi menjadi musuh mereka punya otoritas, ilmu pengetahuan dilarang berkembang, karena dianggap ancaman bagi kelangsungan doktrin Gereja.
Mereka yang berbeda dengan paham otoritas kekuasaan dihabisi, karena tidak boleh ada dua perspektif yang berbeda dengan kehendak otoritas kekuasaan. Mereka menentang dan menolak adanya keragaman perspektif lain. Perspektif yang benar adalah tafsir tunggal yang mereka buat. Inilah yang dimaksudkan oleh penulis Tirani Kekuasaan yang berusaha menolak adanya keragaman pikiran-pikiran kritis yang berbeda dengan kehendak elit dominan. Tujuan mereka cuman satu melanggengkan hegemoni dan dominasi pikiran.
Jaman Baru, Era Kebangkitan Akal Pikiran
Pasca berakhirnya masa suram di jaman dark age abad 15 M. Fase baru kehidupan mulai memasuki era kejayaan yaitu era kemerdekaan berpikir. Walaupun sepenuhnya belum diberikan secara utuh masih ada sedikit pembatasan.
Tapi setidaknya di era ini pintu moderasi pemikiran (pembaharuan), mulai dibuka yang selama ini dikekang, bahkan dilarang oleh elit Gereja untuk dikembangkan pemikiran kritis sebagai jalan lain, menggugat kebenaran hasil tafsiran tunggal. Moderasi pemikiran, di era ini merupakan jalan keluar dari kemelut panjang atas dominasi pemikiran tunggal yang mutlak dipaksakan untuk diterima sebagai satu-satunya tafsiran kebenaran.
Era kemerdekaan pikiran ini, disebut dengan jaman reinasance (kelahiran kembali), tradisi ilmu pengetahuan, dan budaya sebagaimana diawal kelahirannya di Yunani dan Romawi yang mengagungkan tradisi ilmu. Sehingga berbagai kemajuan diraih kala itu sampai hari ini masih dikenang kemasyuran kedua negara tersebut. Mampu menghasilkan karya monumental di bidang ilmu, seni, dan arsitektur.
Era Reinasance yang berlangsung dari abad 14 sampai 17, merupakan masa kelahiran baru manusia. Manusia diberikan kebebasan berpikir menggunakan akal pikiran untuk mengkaji semua peristiwa yang ada di alam semesta, melalui pendekatan ilmu pengetahuan yang rasional, objektif, sistimatis, dan universal dengan bimbingan metode sains yang ketat dan rigid.
Era kebebasan berpikir, di jaman reinasance memberi jalan baru bagi kebangkitan tradisi sains yang selama ini ditentang keras oleh gereja. Mereka yang dikekang secara intelektual sebelumnya, mulai mendapatkan kesempatan emas melakukan eksplorasi gagasan kritis untuk menguji kembali dalil, teori, dan asas-asas pengetahuan yang dikunci mati oleh elit gereja (pemuka agama), agar tidak bertentangan dengan dogma gereja.
Kelahiran kembali sains di era reinasance membawa perubahan besar bagi cara berpikir masyarakat yang berabad-abad sangat homegen. Tidak ada perspektif alternatif yang diberikan untuk memperkaya cara pandang dalam melihat konektivitas kehidupan sosial dengan teologi dan cosmologi sebagai satu interelasi yang koheren.
Di era ini, banyak muncul tokoh kritis sekaligus radikal memiliki pandangan berbeda dalam melihat relasi antara teologi, cosmologi, dan sains. Sebut saja tokoh Galileo, Nicolas Copernicus, Izac Newton.
Mereka sangat mewarnai percaturan pemikiran cosmologi dalam pendekatan sains. Sekaligus membongkar total dalil sains yang dikonstruksi oleh Gereja. Bagi mereka konstruksi sains sebelumnya, kebenaran aslinya ditutup rapat-rapat dengan tujuan menjaga dominasi kebenaran.
Galileo sebagai seorang ilmuan terkemuka, dijuluki bapak sains modern. Tampil gagah dengan membela teori Heliocentris bahwa matahari merupakan pusat tata surya yang bertentangan dengan dogma gereja geosentris, walapun akhirnya, beliau menerima nasib tragis dibunuh karena berbeda pandangan dengan elit gereja soal kebenaran sains.
Galileo adalah orang yang paling berjasa mengembangkan metode ilmiah, dan penemuan spektakulernya teleskop. Begitu juga tokoh lain Copernicus dan Izac Newton, mereka berjasa mengembang teori-teori ilmiah untuk kemajuan pemikiran dunia sains. Atas konsistensi pikiran dan gagasan mereka menjadikan nama mereka mendunia sebagai tokoh militan melawan tirani pikiran kekuasaan.
Melawan Tirani di Era Modernitas
1. Tirani Opini
Napoleon Bonaparte pernah berkata, kejahatanpun bisa menjadi kebenaran. Jika dikabarkan pada publik secara terus-menerus dan berulang-ulang. Dia akan berubah menjadi kebenaran apabila terekam baik oleh memori, dan membekas di alam bawah sadar.
Maka tertanamlah apa yang dikatakan oleh Karl Marx manipulasi kesadaran publik. Cara ini merupakan strategi paling ampuh dilakukan oleh elit (baca : negara, korporasi, pemilik modal, dan media) untuk membunuh kesadaran kritis warga negara, agar persepsi tunggal dikehendaki terjadi keseragaman.
Di era modern seperti hari ini. Kecanggihan teknologi informasi telah menjangkau semua wilayah, dan lapisan warga negara baik berdiam di kota maupun bermukim di desa semua termonitor oleh radar teknologi informasi dan komunikasi. Semua peristiwa yang terjadi dibelahan bumi manapun terkabar dengan baik oleh media.
Dunia global berubah menjadi kampung kecil kata Antony Gidden, akibat interkonectivitas jaringan teknologi, sehingga pergaulan masyarakat semakin terbuka tidak mengenal batas wilayah negara. Raymond Karl Popper menyebut dengan istilah masyarakat terbuka.
Dampak dari digitalisasi informasi yang ditakutkan di era internet of thing adalah dominasi informasi, hegemoni pesan publik, media dikendalikan untuk kepentingan propaganda informasi, agar memuluskan agenda-agenda besar kekuasaan supaya luput dari perhatian publik.
Media dijadikan alat propaganda untuk membentuk stigma buruk, menggiring opini, menyebarkan kebencian, dan ketakutan, karena tak dapat disangkal di era digital. Media massa telah mempengaruhi sebagian besar kultur kehidupan publik di segala aspek.
Bahkan propaganda media berubah menjadikan monster menakutkan, menciptakan banyak kekacauan dan kehancuran beberapa negara di Timur Tengah, Amerika Latin. Akibat dahsyatnya guncang opini yang dibangun.
Negara-negara super power dalam mempertahankan dominasi selalu melakukan hegemoni informasi lewat penguasaan media, karena media merupakan alat propaganda yang ampuh untuk mempengaruhi dan merubah opini publik, berita hoax pun bisa berubah menjadi kebenaran. Jika terus dikapitalisasi oleh media massa untuk kepentingan agenda setting elit penguasa (baca: negara, korporasi, pemilik modal, dan media).
Media massa hari ini melakukan propaganda informasi melalui strategi card stacking, dan name calling untuk memuluskan agenda setting. Card stacking merupakan strategi pengiriman pesan dengan membangun seluruh sentimen positif dan menutup rapat-rapat semua kekurangan. Sedangkan name calling adalah strategi mengirim semua pesan negatif kepada subjek atau objek tertentu untuk membunuh karakter. Dua strategi telah berhasil meraup keuntungan baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya bagi negara super power yang memiliki kekuatan media.
Dominasi dan hegemoni media untuk mengendalikan opini publik melalui kapitalisasi informasi sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi informasi, karena persepsi tunggal yang disebarkan secara masif sangat mudah diterima oleh lapisan masyarakat yang tidak kritis, dan lemah secara intelektual menerima mentah-mentah sebagai informasi yang benar. Inilah yang penulis maksudkan sebagai tirani pikiran dan mesti dilawan dengan perspektif alternatif yang berimbang.
Perang hari ini, sesungguhnya adalah perang opini, perang media, perang agitasi, perang informasi, siapa kuat, dia berkuasa mengendalikan informasi dan dunia. Hari ini dunia dikendalikan oleh informasi dan Data ( the big data menjadi the big boss).
Dulu, peperangan merebut sumber daya alam yang dikenal dengan istilah gold, glory, dan gospel (3 G). Spirit 3 G ini mendorong bangsa Eropa melakukan ekspedisi keliling di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Mereka mengembara mencari pulau-pulau yang kaya akan sumber daya alam.
Walapun mereka datang dalam kemasan membawa misi penyebaran ajaran Injil, tapi langkah ini efektif mereka lakukan untuk mengusai Sumber Daya Alam di Asia, Afrika, dan Amerika latin. Sampai pada akhirnya terjadi kolonialisasi dan penaklukan wilayah oleh bangsa eropa.
Dan bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin mengalami ketidakberdayaan atas kedigdayaan tipu muslihat mereka lewat tirani pikiran ditanam melalui propaganda.
Dan sekarang perang di era revolusi industri berubah menjadi perang merebut dominasi kekuasaan informasi dan data, itulah sesungguhnya perang terjadi hari ini, media-media berlomba-lomba melakukan kapitalisasi informasi dalam berbagai propaganda untuk mempengaruhi opini publik.
2. Propaganda dan Bahaya Kapitalisasi Informasi
Motif penggerak kapitalisasi informasi adalah ekonomi dan politik yang merupakan agenda besar kaum kapital untuk mengusai dunia, dan menaklukkan banyak negara, hingga berujung pada imperialisme ekonomi, dan kolonialisasi wajah baru yang dikendalikan oleh tangan tersembunyi (invisible hand). Supaya ketergantungan negara-negara berkembang tinggi kepada negara adi kuasa. Tujuan utama mereka mengendalikan opini dunia melalui propaganda media.
Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi, politik, militer, ilmu pengetahuan, semakin superior dan negara yang lemah secara ekonomi, politik, dan militer, semakin inferior serta tak berdaya melawan dominasi informasi yang dikapitalisasi.
Jhon Baudlilar, berkata kejahatan terbesar di abad ini (post modernis) adalah kejahatan dunia simulakra (hiperealitas), realitas semu (palsu) yang dicitrakan melebihi realitas aslinya.
Hari ini bisa kita saksikan bagaimana meledaknya di pasar global iklan produk makanan, minuman, fashion, otomotif, properti mengusai pasar dunia. Barang-barang tersebut dibranding semewah mungkin agar menarik daya pikat konsumen, dan pada saat bersama barang-barang lokal bermutu, parkir di pasaran karena tak laku.
Inilah tirani pikiran yang dibrowsing secara halus tapi menindas dan menjajah akal sehat. Orang-orang berburu produk yang bukan kebutuhan tapi karena tuntutan gengsi gaya hidup, secara tidak sadar kita telah memiskinkan diri sendiri.
Adapun kapitalisasi informasi di bidang ekonomi, politik, dan militer, di era sekarang membangun opini. Bahwa liberalisasi ekonomi adalah jalan lapang menuju kesejahteraan, karena negara dibatasi melakukan intervensi kebijakan pasar, ekonomi dikendalikan pemodal, sehingga stabilisasi harga susah dikontrol.
Bidang politik sistem demokrasi menjadi jargon yang terus dikampanyekan sebagai sistem pemerintahan terakhir yang terbaik demi mewujudkan negara kesejahteraan yang berkeadilan. Adapun negara-negara yang berlawanan dicap tidak demokrasi dan menjadi ancaman bagi masa depan dunia. Sehingga harus dipaksakan untuk menjadi negara demokratis, atau setidaknya sistem ekonomi harus liberal. Banyak negara menjadi korban dan hancur karena tidak bisa bekerjasama dengan demokrasi, Irak, Afganistan, Taliban, Yaman, Suriah adalah negara yang dijinakan lewat operasi militer.
Bahkan Indonesia tidak menutup kemungkinan nasibnya sama, kalau berani berbeda dengan kehendak kepentingan global secara ekstrem. Dunia barat telah menyiapkan kekuatan tiang penyanggah mengusai dunia, di bidang perdagangan ada WTO, ekonomi Word Bank, Keuangan IMF, kesehatan WHO.
Organ-organ ini aktif melakukan kapitalisasi informasi dengan propaganda media. Dan mereka meraup keuntungan sangat besar. Hanya dengan berani melawan agar kita bisa keluar dari tirani pikiran negara adi kuasa.
Dalam konteks Indonesia, tirani pikiran kekuasaan pernah melahirkan banyak korban jiwa berjatuhan pada masa orde baru. Ketika asas tunggal diberlakukan, banyak tokoh-tokoh kritis diberangus, media dibredel, aktivis dibungkam, pejuang HAM dibunuh, mahasiswa dibui dan dibuang, orang-orang berlawanan diburu.
Peristiwa Tanjung Priuk, Talang Sari, Cikini, Haur Koneng, Tragedi berdarah di Aceh adalah rentetan peristiwa kekejaman rezim. Sampai hari ini dalang dari semua tidak terungkap, dan Kejadian itu bermula dari tirani pikiran. Di mana rezim tidak mengijinkan ada pikiran kritis yang berlawanan dengan pikiran negara.
Setelah 20 tahun reformasi, wajah negara kita sedikit lebih baik dalam hal kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat. Tetapi dalam hal korupsi semakin terbuka dan masif, mulai dari pusat dan daerah korupsinya meningkat dari tahun ketahun. Di penegakkan hukum, keadilan masih dirasa tebang pilih, menurut Mahfud MD, keberhasilan reformasi hanya dalam kebebasan berpendapat, selebihnya masih butuh waktu panjang memperbaikinya.
Melawan tirani pikiran kekuasaan menindas dan korup adalah jalan perjuangan untuk mencegah kekuasaan kembali melakukan tirani pikiran sebagaimana terjadi pada masa sulit-sulit perjuangan demokrasi, karena ancaman tirani pikiran kekuasaan di era sekarang, aromanya terasa kental dirasakan oleh aktivis pro demokrasi.
Dan situasinya bisa berubah, alam demokrasi kita bisa kembali ke masa lalu kelam, ketika pikiran kritis kembali dikerangkeng, kebebasan dibatasi, suara-suara kritis dibungkam, tokoh-tokoh militan dikriminalisasi. Setiap ada gejolak yang berlawanan dengan selera kekuasaan, diintimidasi dengan teror dan tekanan, hukum dijadikan instrumen kekuasaan menindas lawan politik, pengadilan hanya tempat mendapatkan keadilan bagi yang berduit.
Lembaga negara berubah menjadi kekuasaan manipulatif, kekuasaan korup dan menindas dilanggengkan, aparatur tidak lagi menjadi alat negara, tapi alat kekuasaan kepentingan kelompok, persekongkolan elit diberi ruang, bahkan kejahatan sekaligus dilegalkan melalui kebijakan formal negara. Demokrasi bisa dibajak atas nama melanggeng kekuasaan. Inilah potret buram wajah negara, jika tirani pikiran kekuasaan terlalu tertutup dari kontrol publik. (*)
Penulis adalah Dosen STKIP Bima