Mataram, katada.id – Tim Pusat Bantuan Hukum Lembaga Pengembangan Wilayah NTB (PBH LPW NTB) selaku kuasa hukum tersangka Saiful (40), warga asal Desa Wora, Kecamatan Wera, Bima yang diduga melakukan tindak pidana penebangan pohon secara liar, kembali mengunjungi, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPH) Wilayah Jawa Bali Nusa Tenggara, Seksi Wilayah III Kupang, Rabu siang (25/5).
Sebelumnya, pada Selasa kemarin, PBH PBH LPW NTB juga melakukan kunjungan di Pos Gakkum dan Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Kepolisian Daerah NTB (Dittahti Polda NTB).
“Pada pertemuan pertama di ruang tahanan Dihtati Polda NTB, tersangka menunjuk kami sebagai kuasa hukum yang mendampingi proses hukum. Hari ini kami kembali datang untuk mengklarifikasi pada tim penyidik dari BPPH, untuk mendapatkan berkas-berkas yang dibutuhkan yang berkenan dengan hak tersangka,” terang Adhar, ketua PBH LPW NTB, Rabu, (25/5) melalui keterangan tertulisnya.
Adhar menjelaskan bahwa kedatangan tim hukum PBH LPW NTB disambut secara baik oleh tim penyidik BPPH.
“Berkas yang kami perlukan diberikan dengan baik, kami juga sempat berdiskusi dengan penuh khidmat terkait kasus ini, juga seputar persoalan kehutanan dan lingkungan hidup di NTB, dalam perspektif penegakan hukum,” ungkap Alumni Magister Ilmu Hukum Unram ini.
Salah satu Tim PBH LPW NTB, Satria Tesa mengatakan bahwa, PBH LPW NTB akan memastikan hak hukum tersangka yang merupakan petani itu akan terpenuhi dan dilindungi sebagaimana ketentuan aturan yang berlaku.
“Bagi kami, membela masyarakat kecil bukan saja sebagai sebuah keharusan melainkan tanggungjawab keilmuan,” tegasnya.
Alumni Fakultas Hukum Unram itu juga menerangkan bahwa PBH LPW NTB mendukung penegakan hukum dibidang lingkungan hidup sesuai aturan yang ditegakkan secara berkeadilan.
“Melalui kasus ini, kami berkomitmen mengungkap paradoks penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dan kehutanan. Tidak boleh serampangan, pemerintah dan penegak hukum terkait, tidak boleh hanya berani dan ganas menindak, hanya pada masyarakat pinggiran. Bagi kami, kasus ini akan menjadi momentum untuk kembali menegaskan bahwa penalaran pemerintah dalam isu lingkungan hidup dan kehutanan perlu dievalusi secara menyeluruh”, terangnya.
Sementara Safran, menyatakan, penetapan tersangka terhadap Saiful terkesan terburu-buru dan diskriminatif. Dia menguraikan kronologi peristiwa yang dimulai penangkapan, penetapan tersangka dan penahanan, tidak sesuai aturan KUHAP.
“Pelaku ditangkap tanpa surat perintah penangkapan oleh Istansi terkait. Klaimnya tersangka tertangkap tangan, padahal ditangkap di jalan saat dia dan adiknya pergi ke sawah, tanpa membawa barang yang dipergunakan untuk membabat, memotong, atau yang bisa di pergunakan untuk penebangan pohon,” ungkap dia yang pada saat peristiwa penangkapan, berada di desa Wora, Kecamatan Wera.
Dia juga mengungkapkan bahwa barang bukti atau peralatan yang dipergunakan oleh KPH Maria Donggo Masa, adalah barang bukti yang di ambil di rumah tersangka. Itu artinya pelaku tidak tertangkap tangan atau bukan di TKP penebangan pohon atau illegal logging,” ungkap Magister ilmu Hukum alumni Universitas Surakarta ini.
Dia menambahkan bahwa anehnya pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka, padahal saat penangkapan hanya diimingi sebagai saksi yang kemudian diangkut ke Mataram. “Saksi yang digunakan penyidik DLHK dan BPPH itu 3 orang, yang semuanya dari pegawai KPH. Masyarakat setempat tidak dilibatkan sebagai saksi. Namun hari ini, kami mulai optimis ada titik temu yang baik, setelah kunjungan di BPPH. Kesamaan kami, punya optimisme dan komitmen menegakan hukum dengan seadil-adilnya,” pungkasnya.
Sebagai informasi, bahwa Saiful disangkakan melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf “c” Jo Pasal 12 huruf “c” UU RI No. 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. (aw)