Mataram, katada.id – Penetapan tersangka terhadap enam mahasiswa Bima oleh Polres Bima Kota usai aksi demonstrasi di depan Bandara Bima, Rabu (28/5), menuai kritik tajam Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM).
Hal itu disampaikan Ketua PBHM, Yan Mangandar Putra. Menurutnya proses penetapan tersangka terhadap mahasiswa berlangsung hanya dalam hitungan hari. Sementara sejumlah kasus besar lainnya justru mandek tanpa kejelasan. Dia mengatakan penanganan kasus pengrusakan mobil dinas Pemkab Bima jenis Isuzu Panther hitam itu terlalu tegas jika dibandingkan dengan kasus-kasus lain yang lebih berat.
“Kami mendukung penegakan hukum, tapi jangan tebang pilih. Kasus ini terlihat sangat cepat diproses, berbeda dengan kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat,” katanya Umum Sabtu (1/6) melalui keterangan tertulis yang diterima media ini.
Yan mencontohkan, bahwa kasus kematian tidak wajar Brigadir MN, anggota Propam Polda NTB, di salah satu hotel di Gili Trawangan pada 16 April 2025, hingga kini belum ada satu pun tersangka. Begitu juga kasus kematian lima joki cilik di arena pacuan kuda Bima sejak 2019 juga tidak ada kejelasan hukum.
“Demikian kasus dugaan penyalahgunaan narkoba dengan tersangka DR yang ditangkap bersama barang bukti di depan SPBU Amahami pada 15 September 2024. Justru dibiarkan lepas begitu saja, meski Pengadilan Negeri Raba Bima telah memerintahkan Polres Bima Kota dan Kejari Bima melanjutkan proses hukum melalui putusan praperadilan nomor 6/Pid.Pra/2025/PN Rbi,” tegasnya.
Menurutnya Yan itu bukti penegakan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
“Kalau rakyat kecil yang salah, cepat ditindak. Kalau pejabat atau yang punya kekuasaan, malah dilindungi,” ungkapnya.
Lebih lanjut dia menyatakan bahwa, langkah penegakan hukum terhadap enam mahasiswa yang notabene rakyat kecil justru mencerminkan keberpihakan aparat pada kekuasaan. Apalagi, kata Yan, dalam kasus ini pelapor adalah pejabat Pemda Bima yang digaji dari uang rakyat, sementara terlapor adalah mahasiswa yang juga ikut membantu ekonomi keluarganya.
“Kami mendesak kepolisian untuk menerapkan keadilan restoratif dalam kasus ini. Ada peluang berdamai, mencabut laporan, dan mahasiswa bisa kembali ke kampus untuk menyelesaikan studi. Ini sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,” ujar Yan.
PBHM NTB menegaskan, jika keadilan restoratif diterapkan, masalah pengrusakan mobil dinas itu bisa diselesaikan tanpa harus mengorbankan masa depan mahasiswa. “Jangan jadikan mereka korban dari sistem yang timpang. Sudah waktunya polisi menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil,” pungkas Yan. (sm)