Oleh: Abdul Fattah (Mahasiswa Hukum Universitas Mataram)
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.” Ungkapan Lord Acton ini telah menjadi semacam postulat (kebenaran yang tidak perlu dibuktikan), terlebih dalam konteks Indonesia. Ungkapan ini menyiratkan kecenderungan kekuasaan untuk korupsi. Montesquieu dalam The Spirit Of Law juga memaparkan hal yang sama, bahwa terdapat tiga kecenderungan kekuasaan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan. Ketiga adalah kecenderungan untuk memanfaatkan kekuasaan. Kecenderungan memanfaatkan kekuasaan (abuse of power) inilah yang bertautan erat dengan korupsi.
Pada rabu lalu, (25/11/2020), Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan dihadang OTT KPK sepulang dari kunjungan kerja di Honolulu Hawaii, Amerika Serikat. Dalam kaitannya dengan kasus tersebut, KPK turut serta menahan enam orang tersangka, berserta dengan sejumlah barang bukti, yakni sepeda balap Specialized S-Works, jam tangan Rolex, jam tangan Jaboc&CO., tas Hermes, koper Tumi, serta koper dan sepatu Louis Vuitton. KPK menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka atas kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Edhy diduga menerima uang sebesar Rp 3,4 miliar dari PT Aero Citra Kargo dan USD 100.000 dari Direktur PT Dua Putra Perkasa.
Sepuluh hari kemudian, yakni Sabtu (5/12/2020) KPK kembali menggelar OTT terhadap Menteri Sosial, Juliani P Batubara. Dari hasil OTT tersebut, ditemukan sejumlah uang dengan total Rp 14,5 miliar dalam beberapa pecahan mata uang, masing-masing berjumlah sekitar Rp. 11,9 miliar, USD 171,085 (setara 2,42 M), dan SGD 23.000 (setara 243 juta). Juliari ditetapkan sebagai tersangka korupsi bantuan sosial Covid-19. Menteri Sosial sekaligus Wakil bendahara Umum PDIP ini diduga menerima dana sebesar Rp 17 miliar. Ia diduga menarik fee sebanyak Rp 10 ribu dari tiap paket sembako seharga Rp 300 ribu. Tanpa nurani, diatas tumpukan mayat korban pandemi, menteri tetap memotongi bantuan rakyat yang tengah sekarat.
OTT ini seakan hadiah manis menyambut Hari Anti Korupsi sedunia yang jatuh pada hari ini, Rabu 9 Desember 2020. Ini juga prestasi, terlebih dengan fakta bahwa KPK telah dikebiri. Seakan nelayan yang telah dirampas “jala-nya,” KPK membuktikan bahwa hanya dengan bermodal “kail,” dua ekor ikan raksasa dapat ditangkap. Tangkapan dua ekor ikan raksasa ini juga seakan menjawab keraguan publik atas atas kinerja KPK yang sempat “mandul” selama beberapa bulan terakhir.
Meski mengusung tema Indonesia Maju bagi “rumahnya,” Jokowi gagal mewujudkan tema itu kedalam realitas. Sebagai penguasa rumah, Jokowi seharusnya tertampar fakta kegagalannya menertibkan penghuni rumahnya. Lebih dari itu, Jokowi gagal mengemban intensi dasar reformasi: pemberantasan korupsi. Indonesian Coruption Watch (ICW) mengungkap 271 kasus korupsi dengan total kerugian negara mencapai Rp. 8,04 Triliun sepanjang tahun 2019. Sementara data KPK antara periode 2004 sampai dengan 2019 terjadi 359 kasus korupsi diperintahan pusat dan 487 kasus di daerah dengan persebaran 13 provinsi. Penulis melihat ada semacam kesan lomba korupsi antara Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah.
Transparency Internasional merilis laporan bertajuk ‘Global Corruption Barometer-Asia’ dan Indonesia masuk menjadi negara Asia terkorup ketiga, setelah kamboja dan India. Sedari awal mecuatnya inisiasi revisi UU KPK oleh Fraksi DPR dengan lampu hijau dari Jokowi (Tirto.id), didasari kehendak reorientasi KPK, dari penindakan, ke pencegahan. Korupsi di Indonesia adalah problem sistemik, sehingga penyelesainnya juga harus disikapi serta dinisiasi oleh sistem. KPK sebagai lembaga independent yang berada diluar sistem seharusnya tidak dibebani tuntutan perbaikan sistemik oleh sistem, apalagi setelah dikebiri. Sistem “cuci tangan” dengan melepaskan sekaligus membebankan seluruh tanggung jawabnya atas pemberantasan korupsi sembari membuka ruang potensial untuk bebas dari jeratan KPK.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.!
Kerugian keuangan negara akibat dari tindak pidana korupsi antara 2001-2012 sendiri mencapai Rp 168,19 triliun. Padahal, menurut hasil analisis yang dilakukan oleh KPK, apabila jumlah Rp 168,19 triliun itu digunakan untuk pembangunan, maka dapat membangun 195 gedung Sekolah Dasar serta fasilitasnya, membiayai sekolah 3,36 juta orang hingga menjadi sarjana, memperbaiki 21.313 kilometer jalan kabupaten dan 2.468 jalan provinsi yang rusak, memodali 33,6 juta kepala keluarga untuk berwirausaha dengan modal Rp 5 juta per kepala keluarga, dan membangun jaringan listrik di 5.040 desa terpencil. Penulis menilai, salah satu sebab ketertinggalan Indonesia didalam percaturan global adalah korupsi. Tidak hanya tertinggal, Indonesia berpotensi bubar. Organisasi nirlaba terkaya sepanjang masa saja, VOC harus bubar oleh sebab korupsi, bukan tidak mungkin, nasib sama menimpa Indonesia.
Kenyataan yang selama ini terjadi seakan menyiratkan bahwa ada intervensi kekuasaan didalam proses pengadilan. Pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi seharusnya bebas dari kalkulasi politis. Bagaimanapun, ranah yuridis (hukum) terlarang bagi intervensi politis (kekuasaan). Keadilan tidak dapat tercapai apabila ada campur tangan kekuasaan didalam proses pengadilan. Kungkungan positivisme hukum dijadikan dasar pembenar pemidanaan minimun (ringan) atas tindak pidana korupsi. Dampak destruksi masif dan sistemik yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi seakan terabaikan oleh tuntutan, putusan pengadilan, dan proses hukuman yang kadang – daripada sel, lebih mirip hotel.
Padahal, Mansur Kartayasa dalam bukunya Korupsi dan Pembuktian Terbalik Dari Perspektif Kebijakan Legislasi dan Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa korupsi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas hidup, dan membiarkan tumbuh suburnya kejahatan terorganisasi, terorisme, dan ancaman-ancaman lain terhadap keamanan umat manusia. Dalam perspektif ini, korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tidak lagi relevan, korupsi harus ditempatkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
“Salus populli suprema lex esto” keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Ungkapan Cicero ini menyatakan urgensi keselamatan kolektif rakyat (kemanusiaan). Jaminan keselamatan kolektif rakyat harus mampu dipenuhi oleh penguasa. Segala tindakan yang berpotensi merenggut keselamatan kemanusiaan (rakyat) wajib diperangi, sebagaimana yang dilakukan terhadap tindak pidana narkotika dan terorisme. Mengingat dampak destruksi kolosal dan sistemik yang sangat luas (systematic and widespread), korupsi seharusnya dipandang sama dengan tindak pidana narkotika dan terorisme.
Penerapan pidana mati atas tindak pidana korupsi seharusnya ditegakan, sebagai wujud keseriusan pemberantasan korupsi dan preseden (pelajaran) bagi penyelenggara negara. Tentu, penerapannya harus didasari pertimbangan atas jabatan, kualitas, kuantitas dan konteks korupsi.
Aulia Milono, dalam penelitiannya menemukan bahwa penjatuhan sanksi pidana terhadap penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi dari tingkat atas (Pusat) sampai tingkat bawah (Daerah) tidak ditentukan klasifikasi (kategori) dan stratifikasi (tingkatan) jabatan penyelenggara negaranya, jumlah uang negara yang dikorupsi atau jumlah kerugian negara maupun jumlah gratifikasi yang diterima penyelenggara negara yang bersangkutan. Sehingga, penulis menilai perlu dilakukan rekonstruksi atas sanksi pidana terhadap penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan, kualitas, kuantitas dan konteks korupsi.
Dalam hal ini, pidana mati. China yang kini menjadi negara adidaya menerapkan sanksi pidana mati bagi penyelenggara negara yang terbukti korupsi. China melihat korupsi sebagai kejahatan serius dan pelakunya dijatuhi pidana mati tanpa toleransi. Zhu Rongji, Perdana Mentri China melontarkan pernyataan terkenal “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu.” Ucapan tidak hanya isapan, Rongji mewujudkannya dalam kenyataan. Seusai menjabat, ia mengeksekusi mati terpidana korupsi.
Hukuman mati adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan China dari kehancuran perekonomian. Hal ini dengan sesuai pepatah China, “Bunuhlah seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera”. Dan sejak ayam-ayam dibunuh, para kera menjadi takut.
Wacana penerapan hukuman mati terhadap menteri sosial Juliari Batubara atas kasus dugaan korupsi bantuan Covid-19 kembali mencuat setelah dilontarkan oleh ketua KPK, Firli Bahuri. Penulis menilai wacana ini kontekstual, mengingat kita sedang diterpa badai pandemi dan resesi ekonomi. Hukuman mati akan menjadi preseden (pelajaran) monumental bagi penguasa dan pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun, wacana hukuman mati selalu dibenturkan dengan HAM. Ada anomali, koruptor (penguasa) dibolehkan memiliki segala hak, bahkan memanfaatkan HAM sebagai penjamin atas kekuasaan, kekayaan serta penindasan (korupsi) yang dilakukan. Sedangkan yang lemah, rakyat biasa, dianggap tidak pantas untuk memiliki atau mengklaim hak-haknya.
Paradoks HAM.!
F. Budi Hardiman dalam bukunya “Hak-Hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan Kebudayaan” menelanjangi konsepsi HAM yang selama ini berlaku. Ia mengungkap bahwa keberlakuan universal atas HAM dipaksakan secara sepihak oleh barat. Barat secara sederhana memandang bangsa-bangsa di Dunia sama (tunggal) tanpa memperhatikan aspek kultural dan historisnya. Barat melupakan bahwa tiap bangsa memiliki kebudayaan dan konsepsi masing-masing sebagai manifestasi historis dan respon khas atas tantangan lingkungannya. Sebagai konsekuensi logis, terjadi miskonsepsi dan disfungsi HAM sebagai pelindung sekaligus alat penindas kekuasaan. Dalam taraf ini, perlu abstraksi atas HAM, sesuai dengan basis historis dan kultur bangsa (manusia) Indonesia.
Sebelum menyusun konsepsi atas HAM, perlu dipahami bahwa Intensi dasar HAM adalah perlindungan manusia dari kesewenangan kekuasaan dan perbaikan kehidupan bersama. Berangkat dari pespektif ini, penulis menilai bahwa wujud kesewenangan kekuasaan yang mendatangkan penderitaan dalam konteks Indonesia adalah korupsi.
Hal ini dapat ditelaah jauh di era Pra dan Pasca kemerdekaan. Di era pra kemerdekaan tindakan korup dari raja, dan penguasa menorehkan penderitaan yang teramat pedih, sebab turut melanggengkan penjajahan. Di era pasca kemerdekaan tindakan koruptif penguasa menyebabkan eksploitasi besar-besaran terhadap SDA dan SDM, lebih dari itu, korupsi turut menyebabkan penganiayaan, penculikan hingga pembunuhan oleh penguasa terhadap rakyat.
Bertolak dari basis historis di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa konsepsi HAM yang seharus diterima dan berlaku di Indonesia adalah perlawanan terhadap penguasa korup serta berbagai penderitaan yang membarenginya. Penulis menilai pemberlakuan hukuman mati atas pengausa koruptif adalah wujud kongkrit perlindungan HAM. Konsepsi dan perlindungan HAM tidak begitu saja jatuh dari langit, melainkan harus diperjuangkan bersama.
Untuk itu, penulis membuka ruang diskursus bagi semua pihak yang berkehendak untuk memperjuangkan dan sama-sama menyusun konsepsi HAM. Sebagai hadiah bersama, peringatan hari HAM yang jatuh pada Kamis, 10 Desember 2020.(red)