Mataram, katada.id – Sejumlah organisasi mendatangi Polda NTB, Kamis (4/11). Mereka mendesak polda mengambil alih penanganan kasus dugaan pemerkosaan terhadap gadis penyandang disabilitas inisial NU (18) warga Desa Rite, Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima.
Sebagai informasi, korban NU diduga diperkosa oleh oknum staf desa inisial C pada Maret 2021 saat pulang buang air besar di sungai. Saat melewati rumah CI, korban ditarik hingga masuk ke dalam kamar dan diduga disetubuhi.
Direktur Lembaga Pengembangan Wilayah (LPW) NTB, Taufan SH. MH menyayangkan keputusan Polres Bima Kota tidak menaikan kasus pencabulan ke tingkat penyidikan. Menurut dia, penyidik mengabaikan fakta lain jika korban NU anak di bawah umur. Itu bisa dibukti dengan ijazah. ’’Polisi jangan hanya melihat akta dan kartu keluarga saja,’’ terang saat mendatangi Polda NTB.
Ia juga menyesalkan penyidik berkesimpulan kalau NU bukan disabilitas. Termasuk mengabaikan fakta bahwa NU kini tengah hamil 9 Bulan.
’’Keputusan tersebut mencerminkan penyidik gagal paham menegakan hukum dan memahami disabilitas yang berkesan melindungi pelaku dan merugikan korban,” tegasnya.
Harus penyidik menguji mental korban dengan baik. Taufan menjelaskan, merujuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016, disabilitas itu adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama. Sulit berinteraksi dengan lingkungan dan dapat mengalami hambatan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
’’Imbasnya dari keputusan itu, hak korban sebagai disabilitas yang berhadapan dengan hukum diabaikan,” terangnya.
Ia menyoroti penerapan pasal dalam kasus dugaan pemerkosaan tersebut. Penyidik hanya menerapkan pasal 285 KUHP. Menurut polisi unsur pasal tersebut tidak terpenuhi. Yakni unsur pemaksaan, kekerasan atau ancaman kekerasan yang didukung tidak adanya saksi yang melihat langsung.
“Untuk jalannya saja korban tidak normal. Keberterimaan terhadap, pemaksaan, kekerasan atau ancaman kekerasan yang korbannya disabilitas, tidak sama dengan anak yang normal. Polisi mesti mengembangkan bukti lain, termasuk mengembangkan keterangan pelaku, keterangan korban, keterangan ahli dan bukti petunjuk. Untuk pemeriksaan korban saja, itu tidak didampingi,” sorotnya.
Karena itu, ia mendesak Polda NTB mengambil alih penanganan kasus untuk mewujudkan keadilan bagi korban. “Tentu, Bapak Kapolda harus mengevaluasi Kapolres Kota Bima,” ujarnya.
Indra Pradipta dari Yayasan Askara Disabilitas Berkarya penanganan kasus yang dialami NU menggores nuraninya. “Kita mohon pada Polda NTB Untuk menuntaskan kasus tersebut. Sungguh, kasus itu menyakiti nurani kami,” Imbuhnya.
Sementara itu, Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati menerangkan, Polda NTB bersama penyidik Polres Bima Kota telah melakukan gelar perkara kasus tersebut.
“Pembedahan kami lakukan bukan semata-mata karena desakan publik, melaiNkan karena fungsi komunikasi dan koordinasi untuk menuntun sesuai kapasitas dan kewenangan yang ada di Polres Kota Bima,” ujarnya.
Dia menegaskan ada peluang besar kasus itu kembali ditangani. Dengan memaksimalkan penyelidikan dan penyidikan kasus. ’’Kami tidak akan berkutat pada keterangan saksi melainkan harus melibatkan tenaga ahli dan penelitian dokumen,” pungkasnya.
Sejumlah organisasi yang mendatangi Polda NTB untuk mendorong kasus penanganan dugaan pemerkosaan korban NU, yaitu LPW NTB, Yayasan Aksara Disabilitas Berkarya, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Solidaritas Anti Kekerasan Seksual-NTB, Ikatan Mahasiswa Bima Mataram (IMBI), Genopsis, Himpunan Mahasiswa Donggo Mataram (HMDM), Verstehen Institute dan Fasis NTB. (sm)