Mataram, katada.id – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) terkesan “mengobral” penghentian kasus dugaan korupsi. Kasus-kasus yang dihentikan ini diduga melibatkan pejabat tinggi. Di antaranya, laporan dugaan korupsi Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) HW Musyafirin dan Bupati Bima Hj Indah Dhamayanti Putri.
Di akhir tahun 2023 lalu, Kejati NTB menghentikan tiga kasus dugaan korupsi yang masih dalam tahap penyelidikan.
Sementara, di pertengahan tahun ini, lembaga adiyaksa NTB menambah lagi deretan penghentian kasus. Bahkan, satu kasus dihentikan di tahap penyidikan.
Berdasarkan catatan katada.id, Kejati NTB telah menghentikan enam kasus dugaan korupsi periode 2023-2024.
1. Dugaan Korupsi PT Air Minum Giri Menang
Kejati NTB menerima laporan dugaan korupsi pengerjaan fisik di PT Air Minum Giri Menang (AMGM). Yakni pemasangan pagar panel beton di WTP Sembung dan pengadaan sumur di 10 titik.
Selanjutnya, pekerjaan instalasi bangunan dan gedung, yakni pembangunan gedung peralatan produksi, pembangunan gedung garam, pembangunan ruang seksi baca, pembangunan gedung Kantor Cabang Narmada tahap I dan II, serta pembuatan interior ruang pelayanan kantor Narmada.
Dari pengerjaan tersebut diduga ada kekurangan volume pekerjaan pada sejumlah item pengerjaan. Misalnya pengerjaan instalasi sumber mata air tahun 2019 dengan anggaran Rp 4 miliar dan diduga terjadi kekurangan volume pekerjaan senilai Rp 200 juta. Sementara, pengerjaan instalasi sumber mata air tahun 2020 dengan anggaran Rp 4 miliar diduga terjadi kekurangan volume pekerjaan senilai Rp 900 juta.
Dugaan kekurangan volume pekerjaan terjadi juga pada pengerjaan instalasi bangunan gedung tahun 2019 dengan anggaran Rp 2 miliar. Begitu juga dengan pengerjaan yang sama pada tahun 2020. Diduga ada kekurangan volume pekerjaan senilai Rp 300 juta.
Selain itu, diduga ada penyelewengan anggaran dan penyalahgunaan jabatan terkait pemungutan pembayaran retribusi sampah. Pungutan retribusi sampah disatukan dalam rekening tagihan pelanggan PT Air Minum Giri Menang.
Disamping itu, ditemukan kelompok III (instansi dan kelompok usaha) dan kelompok IV dikenakan retribusi Rp 250 ribu per bulan. Sesuai aturan kelompok tersebut seharusnya membayar Rp 200 ribu per bulan. Rumah ibadah semestinya tidak dikenakan retribusi, namun ditemukan fakta tetap dikenakan retribusi.
Dalam kasus ini, kejaksaan sempat memeriksa eks Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid dan Wali Kota Mataram Mohan Roliskana. Namun kasus tersebut dihentikan karena apa yang dilaporkan tidak sesuai dengan faktanya. Selain itu, kerugian negara Rp 157 juta ternyata sudah dikembalikan jauh sebelum penyelidikan.
2. Dugaan Korupsi Bandara Sekongkang
Dugaan korupsi pengembangan Bandara Sekongkang, KSB dilaporkan ke Kejati NTB tahun 2023. Laporan itu mengenai pembelian bandara dari pihak swasta, pengembangan infrastuktur bandara yang diduga mangkrak (total lost), proses pengadaan barang/jasa pengembangan bandara, pemeliharaan bandara, batalnya hibah kepada Kementrian Perhubungan, serta pembiayaan sewa Bandara Sekongkang sebesar Rp 500 juta oleh PT AMNT.
Jumlah anggaran yang telah dikucurkan untuk pengembangan Bandara Sekongkang di luar pengadaan tanah mencapai miliaran rupiah. Di antaranya, perencanaan peningkatan bandara Sekongkang menggunakan APBD tahun 2014 dimenangkan CV Geo Techno Design senilai Rp 120 juta, biaya pengawasan peningkatan bandara dari APBD tahun 2014 dimenangkan CV Bina Inti Rancang Konsultan senilai Rp 100.434.000, dan peningkatan bandara dari APBD tahun 2014 dimenangkan PT Istana Persahabatan Timur Rp 7.012.130.000.
Selain itu, ada biaya belanja jasa konsultansi Studi Kelayakan Bandara Sekongkang dari APBD tahun 2017 yang dimenangkan PT Tambora Setia Jaya dengan nilai kontrak Rp 149.215.000 dan biaya Rencana Induk Bandara (RIB) melalui APBDP 2017 yang dimenangkan PT Amethys Utama sebesar Rp 1.135.000.000, serta izin registrasi di Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub yang baru keluar tahun 2015 dengan Nomor: 011/RBU-DBU/III/2015 atas nama Bandara Sumbawa Barat.
Dalam kasus terlapornya Bupati KSB HW Musyafirin. Namun setelah diselidiki, ternyata bandara tersebut disewa oleh PT Amman Mineral. Hal itu diperkuat dengan bukti setor ke kas daerah Rp 2,5 miliar. Sehingga kasus tersebut tidak lanjutkan ke tahap penyidikan alias dihentikan.
3. Dugaan Korupsi Penyertaan Modal BUMD Bima
Hal yang sama juga terhadap laporan penyertaan modal delapan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Kabupaten Bima. Pihak Kejati NTB tidak menemukan ada tindak pidana seperti laporan yang mereka terima.
Dalam kasus ini, Kejati NTB telah memeriksa Bupati Bima Hj Indah Dhamayanti Putri sebagai terlapor. Diketahui, kasus dugaan korupsi penyertaan modal dari tahun 2005 hingga 2022 ini dilaporkan masyarakat kepada Kejati NTB 20 Februari lalu.
Dalam salinan laporannya, Pemkab Bima telah mengalokasikan anggaran Rp 90 miliar terhadap delapan BUMD. Nilai penyertaan modal tersebut sesuai dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BKP) NTB atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bima tahun 2021.
Nilai penyertaan modal selama periode 2005-2022 itu berbeda dengan hasil penelusuran Inspektorat Kabupaten Bima September 2021 lalu. Inspektorat menemukan penyertaan modal periode 2005-2022 sebesar Rp 68 miliar.
Perbedaan nilai tersebut karena diduga adanya penyertaan modal secara sepihak sekitar Rp 20 miliar lebih pada tahun 2020 dan 2021. Di antaranya, PDAM Bima Rp 7 miliar dan BPR NTB Cabang Bima Rp 11 miliar.
Dari uraian laporan, penyertaan modal tahun 2020 dan 2021 dilakukan tanpa didukung peraturan daerah (Perda). Sebab Perda Penyertaan Modal sebelumnya hanya berlaku pada tahun anggaran 2019. Sehingga terjadi perubahan Perda Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyertaan Modal akhir tahun anggaran 2021. Dengan adanya perda perubahan tersebut, maka penyertaan modal hanya bisa dilakukan di tahun 2022
Sementara, penyertaan modal saat Bupati Bima Hj Indah Dhamayanti Putri dari tahun 2015 sampai tahun 2019, rinciannya Bank NTB Rp 24,6 miliar, PDAM Rp 1,8 miliar, PD Wawo Rp 1,5 miliar, PD BPR NTB Bima Rp 1,650 miliar, PT Dana Usaha Mandiri Rp250 juta, PT Dana Sanggar Mandiri Rp 250 juta, BPR Pesisir Akbar Rp 2,350 miliar, dan PT Jamkrida NTB Gemilang Rp 500 juta.
4. Dugaan Korupsi Pembiayaan Bank NTB Syariah
Penyelidikan dugaan korupsi di Bank NTB Syariah dihentikan. Kejati NTB beralasan tidak menemukan adanya peristiwa pidana.
“Penyelidik Bank NTB Syariah, kami hentikan karena tidak perbuatan pidana. Tidak ada kerugian negara,” kata Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati, Selasa (28/5).
Ely menerangkan bahwa pihaknya telah meminta keterangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan mereka menyebutkan tidak ada kerugian dalam pembiayaan Bank NTB Syariah kepada para debitur. “Yang sebut tidak ada kerugian negara adalah OJK. Kami juga tidak temukan adanya penyalahgunaan kewenangan,” ungkap Ely.
Laporan dugaan korupsi pembiayaan Bank NTB Syariah disampaikan Prof Zainal Asikin. Laporan itu berkaitan dengan dana “sponsorship” Bank NTB Syariah untuk menunjang kegiatan pemerintah. Di antaranya, dukungan dana Rp 5 miliar untuk acara MXGP Samota di Pulau Sumbawa dan dan dana pinjaman PT Lombok Institute of Flight Technology (LIFT) senilai Rp 14 miliar.
Selain itu, Prof Asikin mengungkapkan juga temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB senilai Rp 24 miliar.
5. Dugaan Korupsi DBHCHT Distanbun NTB
Kasus dugaan korupsi dana bagi hasil cukai dan hasil tembakau (DBHCHT) pada Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB dihentikan.
Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati menjelaskan, saat penyelidikan, pihaknya menyasar penggunaan DBHCHT Distanbun NTB untuk pengadaan mesin oven tembakau. “Setelah itu kami akhirnya naikan ke penyidikan dan kami minta ahli untuk memeriksa oven tembakau tersebut,” kata Ely.
Dari keterangan ahli, oven tembakau tersebut dibuat perusahaan lokal, dan ternyata semuanya sesuai spek dan jumlahnya. “Kami periksa sampai ke Lombok Timur dan kami tidak temukan alat bukti. Sehingga kami hentikan penyidikan ini,” ungkapnya.
Sebagi informasi, penyaluran DBHCHT pada Distanbun NTB tahun anggaran 2022, salah satunya berkaitan dengan sarana penunjang produksi pertanian dan perkebunan di NTB. Yaitu pengadaan bantuan masin rajang tembakau dan tungku oven tembakau yang menelan anggaran mencapai Rp 8,3 miliar.
Rinciannya, Rp 2,3 miliar untuk pengadaan mesin rajang tembakau sebanyak 92 unit. Alat itu dibagikan ke kelompok tani tembakau yang ada di wilayah Lobar, Loteng dan Lotim, dan Kabupaten Sumbawa.
Sedangkan sisa Rp 6 miliar peruntukannya untuk tungku oven tembakau. Jumlahnya sekitar 300 unit yang disebar ke kelompok tani wilayah Loteng dan Lotim
6. Dugaan Korupsi Pembayaran Honor Stafsus Gubernur NTB
Kejati NTB juga menghentikan penyelidikan dugaan korupsi pembayaran gaji staf khusus (Stafsus) mantan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr Zulkieflimansyah-Sitti Rohmi Djalilah (Zul-Rohmi) tahun 2018-2023.
Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati menjelaskan, pihaknya telah memeriksa sejumlah pihak dari kalangan pejabat Pemprov NTB. Namun tidak ditemukan unsur tindak pidana korupsi. “Kasus Stafsus sudah kami hentikan karena tidak ditemukan alat bukti,” katanya saat jumpa pers di kantor Kejati NTB, Selasa (28/5).
Selama proses penyelidikan, Kejati NTB telah memeriksa mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB. Begitu juga dengan Kepala Dinas Kesehatan (Dikes) NTB. Selain itu, Kejati NTB juga telah memeriksa 16 orang stafsus Zul-Rohmi.
Sebelumnya, keberadaan stafsus Zul-Rohmi menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTB. Lembaga auditor ini mempertanyakan kontribusi dan manfaat yang telah diberikan oleh stafsus selama periode tersebut.
Puluhan stafsus tersebut telah ditempatkan di berbagai OPD, seperti Bappeda NTB, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB, DLHK NTB, dan Dinas Pariwisata NTB. Beberapa stafsus juga ditempatkan di Geopark Rinjani dan Geopark Tambora.
Stafsus ini digaji sebesar Rp 4 juta hingga Rp 5 juta per orang. Jumlah yang dinilai tinggi jika dibandingkan dengan gaji tenaga non-ASN lainnya. Untuk gaji mereka dalam setahun bisa menghabiskan APBD lebih dari Rp 2 miliar.
Selama masa pemerintahan Zul-Rohmi periode 2018-2023, pembentukan stafsus dianggap sebagai bentuk balas jasa kepada tim sukses yang mendukung mereka selama Pilkada tahun 2018. Namun, ada pandangan bahwa keberadaan stafsus memiliki unsur politis yang kuat. (tim)