Lombok Tengah, katada.id – Wakil Gubernur NTB, Dr. Ir. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, M.Pd., memuji Desa Sengkol Kabupaten Lombok Tengah sebagai desa pertama di NTB yang mampu mengelola sampah dengan teknologi Black Soldier Fly (BSF) atau Larva Lalat Hitam.
Proses pengolahan sampah organik dengan menggunakan lalat Hermetia illucens (dikenal dengan sebutan Black Soldier Flies atau BSF) sendiri telah terbukti mampu menguraikan nutrisi kompleks dalam sampah makanan dengan cepat. Pada prosesnya, tumpukan sampah organik dapat berkurang sebanyak 80% selama 24 jam.
“Alhamdulillah, Desa Sengkol menjadi desa pertama di NTB yang mengelola sampah dengan BSF,” puji Ummi Rohmi sapaan akrab Wagub, saat meresmikan pemanfaatan site Tim Pro BSF- GIZ-Renergii-Bambook di Dusun Kale Desa Sengkol Kec. Pujut Lombok Tengah, Selasa (08/12).
Lebih jauh, menurut Ummi Rohmi, mewujudkan NTB yang Asri dan lestari memang bukan pekerjaan yang mudah dan tidak semua orang menyukainya. Namun dengan program Zero Waste, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan perlahan menjadi gaya hidup positif. Salah satunya, Desa Sengkol melalui Bumdesnya dapat mengelola sampah menggunakan teknologi larva BSF.
Untuk itu, Ummi Rohmi berharap agar perangkat desa setempat dapat terus melanjutkan kerja-kerja ini dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama bagaimana memilah dan memilih sampah dengan baik.
“Desa Sengkol juga merupakan desa yang memiliki komitmen tinggi terhadap lingkungan. Kemudian didukung oleh partner-partner yang handal. Karena ini sebagai pilot project, harus terus dikawal agar menjadi contoh bagi desa-desa lain di NTB,” pinta Ummi Rohmi.
Sementara itu, Founder Pro BSF Sengkol, Yufita Rahman menjelaskan, cara kerja sistem BSF ini adalah ketika sampah organik atau sampah sisa makanan dan buah-buahan dikumpulkan kemudian dicacah sampai menjadi bubur sampah. Lalu dimasukan ke dalam keranjang khusus yang dicampur dengan larva BSF yang umur 5 hari. Selama 17 hari, larva-larva itu akan memakan habis sampah-sampah organik.
“Larva yang sudah berumur 17 hari itu kita panen dan bisa kita bisa jadikan pakan ternak atau kita lakukan pengolahan lanjut untuk menjadi prodak pakan. Sebanyak 1 sampai 2 persen larva yang dipanen, kita ambil untuk dimasukan lagi ke unit budidaya BSF supaya siklus pengelohan sampahnya terus berputar,” jelasnya.
Artinya, larva yang sudah dipanen dapat dijadikan pakan ternak. Sekitar 2 persen lagi masuk di unit budidaya untuk dibesarkan, dari larva menjadi prapupa dan bermetamorfosi menjadi pupa. Sementara larva yang telah menjadi pupa ditransferkan ke kandang gelap, setelah itu ditransfer lagi ke kandang kawinnya. Setelah mereka menghabiskan masa kawinnya, mereka aka bertelur di wadah kayu yang disediakan.
“Nah, telurnya kita panen dan dimasukan ke dalam saringan teh. Di bawah saringan teh itu, kita kasih pakan ayam sampai berumur lima hari. Nah, larva yang berumur 5 hari itu yang kita masukan untuk mengelolah sampah organik. Begitulah siklus kerja larva BSF dalam mengelolah sampah organik,” jelasnya.
Implementasi model bisnis inklusif menggunakan teknologi larva BSF ini dapat dilaksanakan atas dukungan Pemerintah Provinsi NTB yakni Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dukungan berbagai pihak. Sementara Bumdes Sengkol membantu dalam operasional, sedangkan Tim Pro BSF sendiri membantu dari support teknologi dan melatih masyarakat untuk mengelola BSF. (red)