Mataram, katada.id – Tiga sosok penting dalam megaproyek pusat perbelanjaan Lombok City Center (LCC) kini harus duduk di kursi pesakitan. Mantan Bupati Lombok Barat Zaini Arony, mantan Direktur PT Tripat Lalu Azril Sopandi, dan eks Direktur PT Bliss Pembangunan Sejahtera Isabel Tanihaha, menjalani sidang perdana secara terpisah di Pengadilan Tipikor Mataram, Selasa (10/6).
Sidang yang menyita perhatian publik ini menjadi titik terang dari dugaan praktik korupsi berjamaah dalam proyek ambisius yang sempat digadang-gadang sebagai ikon investasi di Lombok Barat. Namun kenyataannya, proyek ini kini menyisakan kerugian negara hingga Rp 39,4 miliar dan kredit macet senilai lebih dari setengah triliun rupiah.
Awal Mula dari kantor bupati
Kasus ini berawal pada Juni 2013, saat Zaini Arony yang saat itu masih menjabat Bupati Lombok Barat, menggelar pertemuan tertutup di kantornya. Hadir dalam pertemuan tersebut Lalu Azril Sopandi selaku Direktur PT Tripat—perusahaan daerah milik Pemkab Lombok Barat—serta pihak PT Bliss, yakni Isabel Tanihaha bersama dua anggota keluarganya, Martin dan Isac Tanihaha.
Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas rencana pengembangan lahan seluas 8,4 hektare milik pemerintah daerah di kawasan Gerimak, Narmada. Ambisinya besar: membangun mall, rumah sakit, waterpark, kawasan wisata, hingga perumahan elite.
Namun, jaksa melihat ada agenda tersembunyi di balik semangat pembangunan tersebut. “Tindak lanjut dari pertemuan itu justru mengarah pada skema pengalihan aset daerah secara ilegal kepada pihak swasta,” ujar JPU Ema Muliawati di hadapan majelis hakim.
Surat-Menyurat, Rapat Rahasia, dan Perjanjian yang Dipaksakan
Tak lama setelah pertemuan, PT Bliss mengirim surat kepada PT Tripat yang menyatakan ketertarikannya untuk berinvestasi dan mengembangkan lahan milik Pemda. Respons PT Tripat sangat cepat. Mereka membalas surat tersebut dan dalam waktu singkat mengajukan permohonan persetujuan ke Bupati.
Pada 16 Agustus 2013, Zaini menyetujui permohonan tersebut. Persetujuan itu disampaikan langsung kepada Isabel Tanihaha. Selanjutnya, perjanjian kerja sama operasional (KSO) antara PT Bliss dan PT Tripat ditandatangani secara resmi pada 8 November 2013 di Hotel Sentosa, Senggigi, Lombok Barat
Namun sebelum KSO diteken, lahan milik Pemda tersebut lebih dahulu dialihkan ke PT Tripat dengan status Hak Guna Bangunan (HGB). Langkah ini menjadi kunci utama yang membuka jalan bagi PT Bliss untuk mengagunkan aset negara ke bank swasta.
“Padahal, pengalihan dan pengagunan aset negara untuk pinjaman dilarang dalam Pasal 49 ayat (5) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,” tegas jaksa.
Pinjaman Modal Ratusan Miliar, Negara Jadi Tumbal
Awal 2014, Lalu Azril menyerahkan sertifikat lahan kepada PT Bliss. Sertifikat itu kemudian diagunkan ke Bank Sinarmas dan disetujui sebagai jaminan pinjaman sebesar Rp263 miliar. Proses pencairan kredit tersebut harus mendapat persetujuan dan tanda tangan dari Zaini Arony sebagai bupati, yang kemudian dituangkan dalam Akta Nomor 32 Tahun 2014 tanggal 20 Juni 2014.
Bermodal dana dari pinjaman tersebut, pembangunan Mall LCC dimulai pada akhir 2015 dan mulai beroperasi awal 2016. Namun proyek ini tidak berjalan sesuai harapan. LCC hanya beroperasi selama dua tahun dan resmi tutup pada akhir 2017.
Kegagalan operasional mall berdampak langsung pada kemampuan PT Bliss membayar pinjaman. Kredit macet pun tak terelakkan. Hingga kini, total kewajiban PT Bliss ke Bank Sinarmas membengkak menjadi Rp531 miliar, yang terdiri dari pokok utang Rp260 miliar, tunggakan bung: Rp169,5 miliar, dan denda Rp101 miliar lebih.
Kerugian Negara: Dari Potensi Hilang Hingga Lahan Terancam Disita
Jaksa mengurai dua aspek kerugian negara. Pertama, dari perjanjian kerja sama, Pemkab Lombok Barat seharusnya mendapat bagian 0,65 persen dari pengelolaan Mall dan hotel. Namun realisasinya nihil. Jika dikalkulasikan, potensi pendapatan yang hilang mencapai Rp1,3 miliar lebih.
Kedua, hilangnya hak fisik penguasaan lahan 8,4 hektare milik Pemda yang kini terancam dieksekusi oleh Bank Sinarmas untuk menutup kredit macet PT Bliss. Nilai aset yang bakal dilelang diperkirakan senilai Rp38 miliar.
Total kerugian negara menurut dakwaan mencapai Rp39,4 miliar. “Semua tindakan ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap pengelolaan keuangan negara,” ujar JPU. (red)