Di tengah ancaman pandemi Covid-19, masih banyak masyarakat yang tidak patuh pada ketentuan imbauan social distancing. Di Kabupaten Lombok Timur (05/04), masyarakat tumpah ruah menyambut kehadiran pahlawan dangdut mereka, Eva Yolanda. Hal demikian menunjukan rendahnya kesadaran masyarakat dan imbauan “social distancing”untuk melawan pandemi seolah tidak memiliki arti apa-apa. Di satu sisi, polisi terus beraksi mengancam dan menindak pelanggaran “social distancing”, jika polisi memberikan perlakuan yang sama, masyarakat pun menuntut proses peradilan terhadap orang yang bertanggung jawab pada acara penyambutan Eva Yolanda.
Ketentuan Pidana Social Distancing
Berdasarkan amanat UU No. 6 Thn 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan), pada Pasal 93 diatur setiap orang yg melanggar ketentuan kekarantinaan kesehatan melalui upaya menghalang-halangi yg menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, termasuk dalam kualifikasi delik (tindak pidana), ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 1 tahun adan/atau denda paling banyak 100 juta rupiah. Acara penyambutan itu dapat dilihat sebagai upaya menghalang-halangi kekarantinaan kesehatan, karena pemerintah pusat telah menentukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Delik dalam pasal tersebut merupakan delik materil, yaitu memiliki akibat kedaruratan kesehatan masyarakat. Kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasadengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir,pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahayakesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Maka, cara mengukurnya pasal tersebut adalah, apabila beberapa hari ke depan, ada masyarakat yg terpapar Covid-19 dan bukti permulaan mengarah pada sebab acara penyambutan tersebut, pasti ada pihak penanggung jawab, panitia atau penyelenggara, bisa saja lebih dari satu orang apabila bisa dibuktikan, hal demikian dapat dilihat secara kausalitas. Dalam hukum pidana dikenakan tentang penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 KUHP. Ketentuan UU Kekarantinaan Kesehatan tidak disebutkan jenis kesalahan, maka bisa saja ditentukan kesengajaan ataupun kelalaian.
Jika merujuk pada pada UU Wabah Penyakit Menular (UU No. 4 Tahun 1984), juga mengatur terkait ketentuan pidana berkaitan dengan upaya menghalang-halangi penanggulangan wabah. Pada Pasal 14 diatur terhadap barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah, diancam dengan pidana penjara selamalamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 100 juta rupiah. Berdasar ketetuan tersebut, tidak menyebutkan akibat, namun menyebutkan dengan jelas jenis kesalahan yaitu “dengan sengaja”, artinya harus dibuktikan corak kesengajaan sebagai kepastian, maksud atau kemungkinan. Kemudian terdapat unsur penanggulangan wabah. Dalam UU tersebut upaya penanggulangan wabah meliputi: a. penyelidikan epidemiologis; b. pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; c. pencegahan dan pengebalan; d. pemusnahan penyebab penyakit; e. penanganan jenazah akibat wabah; f. penyuluhan kepada masyarakat; g. upaya penanggulangan lainnya.
Dilihat dari ketentuan tersebut, sekilas termasuk kualifikasi perbuatan sebagaimana maksud diatas atau terhadap pelanggaran ketentuan “socialdistancing”. Namun, pertanyaannya, ketentuan manayang digunakan? UU Kekaratinaan atau UU Wabah Penyakit Menular? Pada tahapan penyidikan sampai proses tuntutan jaksa penuntut umum, keduanya bisa saja digunakan. Dalam putusan hakim, hanya menerapkan satu pasal.
Interpretasi Hukum
Untuk menjawab pertanyaan pasal mana yang digunakan hakim, cara umum adalah berdasar asas lex specialis derogat lex generalis, hukum khusus mengenyampingkan hukum umum. Dalam hal dari kedua ketentuan tersebut sama-sama bersifat khusus (lex specialis) manakah yang harus digunakan? Tentu jawabannya yang lebih khusus lagi. Dalam hukum pidana,asas lexspecialistelah mengalami perkembangan sehingga tidak hanyamengatur mengenai undang-undang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum, tetapi juga telah memberikan solusi-solusi terhadappenerapan suatu undang-undang khusus terhadapundang-undang khusus lainnya. Solusi tersebut terdapat asas yang diturunkan dari asaslex specialis, yakni asas logische specialiteit sertaasas systematische specialiteit.
Dari tiga asas tersebut, dalam hal ini yang sesuai digunakan adalah asas systematische specialiteit (lex specialis sistematic)dapat diartikansebagai kekhususan yang sistematis. Maksud dari asas ini adalah ketentuan pidana dikatakan bersifat khusus bila pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuanpidanatersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus atau iaakan bersifat khusus dari khusus yang telah ada. Sehingga berdasar asas lexspecialissistematic, ketentuan yang digunakan adalah bidang yang mengatur lebih khusus, jika dilihat maka jawabannya adalah UU Kekarantinaan Kesehatan.
Kemudian dalam penggunaan asas, maka cara lebih lanjut untuk mengetahui yang paling khusus adalah dapat dilakukandengan interpretasi hukum untuk menemukan ketentuan khusus dimaksud. Interpretasi yang dipakai haruslah tepat guna memberikan keadilan. Secara teoritis, terdapat banyak interpretasiyang dapat digunakan, yaitu gramatikal, sistematikal, historis (sejarah undang-undang), teleologikal, antisipatif, evolutif-dinamikal, dan lain sebagainya. Sehingga jika sudah melakukan interpretasi ini maka akan satu kesimpulan dan mendapatkan kualifikasi yang tepat dari dua aturan khusus.
Maka yang perlu diperhatikan dalam penerapan hukum adalah pembacaan teks hukum secara utuh untuk dilakukan interpretasi atau penafsiran mana yang relevan. Tidak bisa hanya membaca ketentuan pidananya saja.
Interpretasi melalui metode sejarah undang-undang (historis) dapat dilakukan dengan penelusuran peraturan perundang-undangan, mulai dari ketentuan awal dan perubahannya apabila ada, naskah akademis dan risala sidang. Kemudian, interpretasi melalui metode teleologikal yang dapat digunakan yaitu berkaitan dengan suatu penguraian atau penafsiran formulasi kaidah-kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Juga dapat melalui interpretasi evolutif-dinamikal, yaitu cara terobosan hukum dengan melihat perkembangan hukum yang terjadi stelah kemunculan atau keberlakukan aturan-aturan tertentu.
Jika diperhatikan perbandingan dari kedua ketentuan tersebut di atas, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19). Bersamaan dengan itu pula, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan MasyarakatCorona Virus Disease (COVID-19).
Langkah demikian merupakan pelaksanaan dari UU Kekarantinaan Kesehatan (UU No. 6 Tahun 2018) yang menyebutkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai salah satu bagian dari respons kedaruratan kesehatanmasyarakat. Sehingga dilihat dari hal tersebut, ketentuan yang relevan digunakan adalah ketentuan pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.
Fungsi Kepolisian
Sesuai tugas dan fungsinya, perangkat kepolisian dapat melakukan proses penyelidikan, kemudian penyidikan atau proses peradilan pidana, apabila terdapat minimal dua alat bukti yang mengarah pada perbuatan sesuai kualifikasi delik. Namun demikian, polisi tidak dibenarkan asal tangkap, menahan, penggeledahan atau melakukan penyitaan (upaya paksa) dengan mengenakan pasal dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, karena ada syarat akibat yang harus dipenuhi. Juga sangat keliru apabila dasarnya hanya surat edaran atau imbauan tanpa ada pelanggaran pidana, karena upaya paksa oleh polisi harus dilakukan dengan dasar undang-undang. Selain itu, upaya paksa hanya dibenarkan dilakukan pada tahap penyidikan, bukan mulai pada tahap penyelidikan. Pada tahap penyelidikan, belum diketahui suatu perbuatan sebagai peristiwa pidana atau tidak. Beda soal ketika terjadi kondisi khusus tertangkap tangan terkait pelanggaran pidana lain.
Pelanggaran pidana yang dimungkin terjadi adalah terkait perlawan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pejabat atau petugas yang ditunjuk untuk melaksanakan perintah undang-undang (lihat ketentuan KUHP Pasal 212, 213, 214, 216). Karena telah ditetapkan Kepres Kedaruratan Kesehatan, maka setiap orang memiliki kewajiban untuk mengikuti ketentuan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang di dalamnya termasuk ketentuan “social distancing”. Maka, pada dasarnya kepolisian memiliki kewenangan untuk membubarkan kegiatan atau kerumunan masyarakat. Namun demikian, hal tersebut harus dilaksanakan secara bijaksana, karena pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara. Sehingga tuntutan kewajiban juga harus diimbangi dengan pemenuhan hak, sebagaimana dijamin oleh Konstitusi dan undang-undang.
Pemerintah daerah (pemda) dan perangkat kepolisian wilayah NTB perlu merespon dengan tepat berbagai kondisi di tengah pandemi Covid-19. Pemda menjalankan fungsi kebijakan sosial untuk mencegah peningkatan kejahatan melalui pemenuhan hak masyarakat termasuk usaha sosialisasi. Kemudian fungsi penegakan hukum oleh kepolisian dalam proses peradilan pidana. Jadi ada keseimbangan antara upaya preventif dan represif.
Proses peradilan pidana yang dilakukan kepolisian di tengah pandemi perlu dilakukan secara hati-hati, ada hukum yang harus dipatuhi juga pertimbangan moral yang harus diperhatikan, sehingga polisi bertindak di atas kaki kemanusiaan. Sesuai UU Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002) sudah menjadi tugas dan kewajiban polisi dalam penegakan hukum dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat, juga terdapat kewenangan diskresi, namun tetap dilaksanakan dengan tidak melanggar hak asasi manusia.
Kemudian yang penting pula diperhatikan adalah perlakuan yang sama bagi setiap orang sebagai cerminan asas equality before the law. Penegakan hukum yang dilaksanakan sesuai kepentingan atau permintaan adalah cara berhukum anarkis.Ketika penegakan hukum tebang pilih (pilih pasal dan pilih orang), itu menimbulkan kesan yang semakin tidak baik terhadap hukum, dan tentu hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan dan kepatuhan hukum masyarakat. Ketika terjadi kehilangan kepercayaan terhadap lembaga peradilan, masyarakat akan berhukum dengan caranya sendiri untuk menemukan keadilan. Maka, jangan sampai kejahatan justru dipicu oleh cara kita berhukum. (*)
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram