Eks Dirreskrimsus Polda NTB Disebut dalam Dakwaan Kasus Korupsi ICU RSUD Lombok Utara

0
Gedung RSUD Lombok Utara. (google/net)

Lombok Utara, katada.id – Kasus korupsi ICU RSUD Kabupaten Lombok Utara mulai disidangkan, Kamis (9/6/2022). Dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) muncul nama eks Dirreskrimsus Polda NTB Syamsuddin Baharuddin.

Nama Syamsuddin disebut dalam uraian dakwaan empat terdakwa. Yaitu mantan Direktur RSUD KLU Samsul Hidayat; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) E Bakri; rekanan atau dari PT Apro Megatama Darsito, dan konsultan Pengawas dari CV Pandu Utama Sulaksono Darma Putra.

Surat dakwaan dibacakan JPU Fajar Alamsyah Malo. Sedangkan persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim Sri Sulastri.

Dalam dakwaan, mulai dari proses tender hingga pekerjaan proyek bermasalah. Pada proses tender, ada empat perusahaan yang mengikuti tender, yaitu PT Apro Megatama dengan penawaran Rp 6,407 miliar; PT Intisar Berkah Globalindo Rp 6,373 miliar; PT Agung Serba Tulen Rp 6,253 miliar; dan PT Verbeck Mega Perkasa Rp 5,917 miliar.

Tender proyek tersebut dimenangkan PT Apro Megatama. Tetapi yang mengajukan tender mengatasnamakan PT Apro Megatama bukanlah pemilik aslinya Amin Karaka, melainkan Rahmat Hidayat yang merupakan suruhan dari Benny Burhanudin yang menjabat komisaris PT Profilda Sejahtera.

“Setelah pengumuman lelang, Benny dihubungi Syamsuddin Baharuddin yang saat itu sedang bersama Kepala ULP Kabupaten Lombok Utara Lalu Majemuk,” sebut JPU Fajar Alamsyah Malo membacakan dakwaan.

Kemudian Lalu Majemuk meminta Benny Burhanudin untuk bertemu di Mataram. Benny mengutus Rahmat Hidayat untuk bertemu. Saat pertemuan itu, Lalu Majemuk membawa seseorang bernama Syahid yang mengaku sebagai adik dari Syamsuddin Baharuddin.

“Setelah pertemuan tersebut, Lalu Majemuk dan Syahid bertemu Amin Karaka di Makassar dengan tujuan pengambil alihan pengerjaan proyek. Amin Karaka pun memberikan kuasa kepada Syahid untuk memegang paket proyek tersebut,” ungkapnya.

Atas kuasa itu, PPK H Zaeni melakukan penandatangan kontrak dengan Syahid disaksikan Amin Karaka. Meski sudah diberikan kuasa kontrak proyek itu, namun yang bertandatangan kontrak tetap menggunakan nama Amin Karaka. Tandatangan Amin Karaka itu dipalsukan Syahid.

“Saat proyek dikerjakan ditunjuk CV Cipta Pandu Utama sebagai konsultan pengawas dengan nilai kontrak Rp98,7 juta. Namun, dalam pelaksanaan hingga minggu ketujuh progres pekerjaan baru mencapai 4,1 persen dari target 15,5 persen. Karena prestasi pekerjaan yang buruk, Zaeni pun mengundurkan diri menjadi PPK,” jelas Fajar.

Terdakwa Samsul Hidayat selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) mengangkat terdakwa E Bakri sebagai PPK. Dilihat pekerjaan yang mengalami deviasi minus cukup tinggi, KPA meminta Syahid diganti menjadi kuasa dari PT Apro Megatama.

“Terdakwa Samsul Hidayat menunjuk Darsito (terdakwa) sebagai pengganti Syahid dengan dilakukan adendum (perubahan) kontrak. Namun, dalam pelaksanaan proyek tersebut juga bermasalah. Hingga akhir pekerjaan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mencapai Rp212 juta,” terangnya.

Berdasarkan hasil audit dari Inspektorat NTB, ditemukan adanya kelebihan pembayaran. Hal itu muncul dari progres pekerjaan yang tidak mencapai 100 persen namun telah dibayarkan seluruhnya. Tidak hanya itu muncul juga beberapa item proyek yang tidak sesuai spesifikasi. Dari audit yang dilakukan muncul kerugian negara Rp 1,57 miliar.

Dalam perkara ini, para terdakwa didakwa dengan pasal 2 dan atau pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here