Mataram, katada.id – Oknum Kepala SMP Satu Atap (Satap) di Lombok Tengah (Loteng), MA (48) diduga menikah lagi tanpa izin istri pertama. Ia disebut menikahi wanita inisial WWL yang merupakan guru di sekolah yang dipimpinnya.
Kini, ia dilaporkan ke Polda NTB atas dugaan tindak pidana kawin halangan atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yaitu kekerasan psikis. Laporan tersebut dilayangkan istrinya AA (46) didampingi kuasa hukumnya Yan Mangandar.
“Pengaduannya dan sudah saya kirim ke Polda, BPKSDM, DIKBUD dan lainnya tanggal 12 Agustus 2024,” ungkap Yan Mangandar kepada katada.id, Senin (20/8).
Ia juga menyampaikan bahwa korban telah dimintai klarifikasi oleh penyidik Ditreskrimum Polda NTB. “Klien kami diperiksa sebagai saksi pelapor hari Kamis tanggal 15 Agustus 2024,” terangnya.
Yan menuturkan, korban dan MA menikah Juni 2000 lalu. Selama menjalani rumah tangga, mereka hidup harmonis dan dikaruniai dua orang anak. “Mulai retaknya rumah tangga korban dan MA sejak 18 Maret 2023,” beber Yan.
Awalnya, korban menemukan chat mesra via whatsapp di handphone milik suaminya. Pesan singkat itu berasal dari WWL yang bunyinya “MISS YOU SAYANG, SAYANG BANGET.”
Tepergok, suaminya bukan meminta maaf dan memperbaiki salahnya tapi justru sikapnya sejak itu menjadi mudah marah baik kepada korban dan anak-anak. Suaminya juga sering meninggalkan rumah tanpa alasan jelas hingga tetap menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain. “Jadi WWL (disebut namanya) merupakan guru yang mengajar di sekolah yang sama dengan suami korban bekerja,” kata Yan.
Sekitar 27 April, korban AA serta beberapa keluarganya mendapatkan informasi dari orang lain bahwa suaminya dan WWL telah melangsungkan perkawinan. Bahkan suaminya pernah bercerita langsung bahwa telah menikah dengan WWL. “Kami ada bukti rekaman suara, foto, dan video yang menjadi petunjuk terjadinya perkawinan MA dan WWL. Kami juga punya saksi-saksi,” ungkapnya.
Keputusan MA menikah lagi dengan WWL membuat korban keberatan. Apalagi, keduanya menikah tanpa sepengetahuan dan izin dari korban. “Korban mengalami sakit secara fisik dan psikis yang cukup serius, sehingga harus menjalani proses perawatan oleh Dokter Umum dan Psikiater,” jelas Yan.
Atas perbuatan suaminya, AA pernah melaporkan pernikahan tanpa izin itu ke Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Lombok Tengah. Dengan harapan MA dapat dijatuhkan sanksi administrasi agar ada efek jera. “Namun belum ada tindak lanjut yang berarti dan MA menikah sampai sekarang memilih hidup bersama istri barunya dan menelantarkan korban dan anak-anak,” beber dia.
Yan menegaskan, korban AA masih menjadi istri sah dari MA. Korban juga sudah seringkali diintimidasi oleh MA agar mengajukan gugatan cerai. Namun korban menolak karena masih tetap ingin membina bahtera rumah tangga yang sudah lama dibangun ini. “Kalau korban tetap ingin mempertahankan rumah tangganya,” ucap Yan.
Tidak hanya melaporkan ke Polda NTB, korban AA juga mengadukan MA ke BKPSDM, Dinas Dikbud, dan Bagian Hukum Setda Lombok Tengah. Selain dalam bentuk surat, AA juga menyampaikan pengaduan secara langsung dengan 15 item bukti untuk menguatkan dugaan kawin halangan dan/atau KDRT secara psikis.
“Saya ikut mendampingi saat itu dan kami berharap secara etik segera dapat diproses dan bila terbukti jangan ragu dijatuhkan sanksi administrasi secara tegas kepada teradu I dan II. Mengingat profesi mereka sebagai guru dan kepala sekolah yang menjadi contoh masyarakat luas terutama guru dan pelajar di tempat mereka mengajar. Minimal teradu I dinonaktifkan dulu sementara dari jabatannya sambil menunggu proses hukum di Polda NTB,” katanya.
Terlapor MA diduga melakukan tindak pidana kawin halangan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 279 ayat (1) butir 1 KUHP. Ia terancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun:
MA juga diduga melakukan tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana diatur dan diancam Pasal 45 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bunyinya, setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 9 juta.
“Selaku korban adalah seorang perempuan sekaligus Istri dan ibu sudah berupaya segenap tenaga menuntut keadilan, besar harapannya kepada bapak Kapolda NTB, untuk menindaklanjuti segera pengaduan ini,” harapnya. (com)