Mataram, katada.id – Wacana pembentukan Koperasi Tambang Rakyat yang diinisiasi oleh Kapolda NTB Irjen Pol Hadi Gunawan menjadi isu yang terus menuai pro dan kontra di kalangan publik.
Proyeksi untung-rugi dari inisiatif ini dibedah dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh DetikNTB.com, Jumat (5/9).
Acara ini hadir tiga narasumber dengan pandangan berbeda: Anggota Komisi IV DPRD NTB Syamsul Fikri, Kepala Bidang Hukum Polda NTB Kombes Pol Azas Siagian, dan akademisi Universitas Mataram Taufan Abadi.
Harapan Kesejahteraan: Koperasi sebagai Solusi Ekonomi dan Sosial
Pihak pendukung, termasuk legislator dan kepolisian, optimistis koperasi tambang rakyat bisa menjadi solusi nyata untuk mengatasi masalah ekonomi dan kriminalitas.
Syamsul Fikri mengatakan inovasi ini layak menjadi perhatian serius karena berpotensi menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan masyarakat. Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan koperasi ini tidak bisa dilepaskan dari peran “bapak angkat”, atau mitra bisnis profesional, serta perubahan regulasi dari pemerintah.
“Negara ini juga harus hadir. Harus ada perubahan regulasi, terutama terkait kerja sama dan retribusi. Tanpa itu, koperasi tidak bisa dilaksanakan dengan baik,” tegas Fikri.
Senada dengan itu, Kombes Pol Azas Siagian mengungkapkan bahwa inisiatif ini lahir dari keprihatinan Kapolda sebagai putra daerah terhadap minimnya lapangan kerja di NTB.
Menurutnya, koperasi tambang menjadi peluang legal yang bisa dimanfaatkan. Azas juga menjelaskan bahwa koperasi ini akan melibatkan berbagai pihak, mulai dari penambang ilegal hingga kelompok rentan, untuk memastikan manfaatnya dirasakan secara luas.
Kritik Akademisi: Keuntungan Belum Nyata, Kerusakan Dihantui
Di sisi lain, akademisi Taufan Abadi menyuarakan keraguan besar. Ia mempertanyakan logika pemberian izin pada sektor yang pada dasarnya berpotensi menimbulkan dampak buruk.
“Kalau dia sehat, baik-baik saja, kenapa harus pakai izin? Seperti minuman keras, dia berbahaya makanya harus diatur. Pertambangan juga begitu,” sindirnya.
Taufan juga menyoroti bahwa meskipun pertambangan menjadi sektor kunci pendapatan daerah, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat, terutama dalam bentuk pengurangan kemiskinan ekstrem, belum terwujud. Ia khawatir, pendekatan pembangunan lingkungan yang saat ini dianut justru lebih menguntungkan pihak kapitalis daripada rakyat kecil.
“Kesejahteraan belum hadir di depan mata kita. Kalau pertambangan dianggap vektor ekonomi, faktanya hari ini belum terbukti,” pungkas Taufan. (*)













