Mataram, katada.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyoroti tajam tata kelola data penerima manfaat program jaminan sosial yang didanai dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) yang dinilai masih sangat lemah dan carut marut.
Kondisi ini terungkap dari temuan adanya tumpang tindih pendanaan, penerima ganda, hingga indikasi salah sasaran, yang berujung pada inefisiensi anggaran.
Ketua Komisi II DPRD NTB, Lalu Pelita Putra, mendesak Pemerintah Provinsi NTB untuk segera melakukan reformasi data besar-besaran.
“Kita temukan masih banyak tumpang tindih pendanaan dari DBH-CHT, APBD, dan APBN. Bahkan ada penerima ganda dan tidak tepat sasaran. Ini bentuk inefisiensi anggaran yang harus dihentikan,” tegas Miq Pelita, sapaan akrab Lalu Pelita Putra, Kamis (25/9).
Wajibkan Data Tunggal dan Sinkronisasi Dana
Miq Pelita menekankan bahwa hingga saat ini belum ada database tunggal untuk para petani dan buruh tani tembakau, yang seharusnya menjadi dasar penetapan penerima BPJS maupun asuransi.
Untuk mengatasi persoalan ini, politisi PKB tersebut meminta Pemprov segera memutakhirkan data berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), yang wajib terintegrasi dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Dukcapil, dan database BPJS.
Selain masalah data, DPRD juga menyoroti regulasi lama yang menjadi payung hukum. Pergub No. 4 Tahun 2010 yang masih digunakan dinilai sudah tidak selaras dengan kebijakan pusat, terutama PMK No. 72 Tahun 2024.
“Alokasi dari DBH-CHT harus terpisah dan tidak boleh bercampur dengan dana APBD maupun APBN. Dana DBH-CHT pun harus lebih diarahkan kepada kelompok masyarakat yang belum sama sekali menerima jaminan sosial dari program nasional,” tambah Lalu Pelita, mempertegas pentingnya sinkronisasi sumber dana.
Dorong Dashboard Digital dan Reformasi Regulasi
Sebagai langkah kongkret menjamin transparansi dan akuntabilitas, Miq Pelita meminta Pemprov segera membangun dashboard digital yang bisa diakses publik. Dashboard ini harus memuat secara terbuka data penerima manfaat, besaran anggaran, serta status kepesertaan aktif.
“Keterbukaan ini menjadi fondasi pengawasan publik. Kita juga minta laporan triwulanan disampaikan langsung ke DPRD,” ujar politisi asal Lombok Tengah ini.
Lebih lanjut, Komisi II juga mendorong reformasi regulasi, khususnya revisi Pergub No. 4 Tahun 2010. Revisi ini harus mencantumkan klausul ketat mengenai validasi data, kewajiban publikasi, hingga mekanisme sanksi bagi setiap bentuk penyimpangan.
DPRD juga telah menyiapkan skema pengawasan berbasis publik dengan membentuk tim independen yang akan melibatkan akademisi, serta organisasi petani dan buruh. Mekanisme pengaduan terbuka juga diwajibkan untuk menampung laporan dari masyarakat.
Efisiensi Anggaran dan Keadilan Sosial
Langkah strategis ini diyakini akan menghasilkan empat dampak utama: efisiensi anggaran, keadilan sosial bagi petani dan buruh tani miskin, peningkatan akuntabilitas pemerintah daerah, serta kepatuhan terhadap regulasi nasional terbaru.
“Catatan strategis ini bukan hanya kritik, tapi bentuk komitmen DPRD untuk memastikan DBH-CHT benar-benar dirasakan oleh mereka yang berhak,” pungkas Lalu Pelita. (*)













