Mataram, katada.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi total terhadap kebijakan pengelolaan ruang laut di NTB. Desakan ini disampaikan dalam diskusi dan bedah buku “Merampas Laut, Merampas Hidup Nelayan” yang digelar Walhi NTB, Rabu (28/5).
Direktur Walhi NTB Amri Nuryadin mengatakan, apa yang ditulis dalam buku tersebut juga terjadi di banyak wilayah NTB. “Yakni, perampasan ruang hidup nelayan yang terjadi secara terstruktur. Masyarakat dihimpit oleh pengaturan ruang laut yang tidak berpihak pada kondisi mereka saat ini maupun masa depan hidup mereka,” tegas Amri.
Sementara itu, Tubagus, Kepala Divisi Perencanaan, Monev, dan Learning Walhi Nasional, menilai, perampasan ruang laut terjadi akibat lemahnya instrumen kebijakan perlindungan masyarakat pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil (Pela).
“Ruang Pela tersebut rentan dieksploitasi, bahkan sedari awal negara terlibat. Di waktu yang bersamaan masyarakat terus dijauhkan dari ruang hidupnya dengan berbagai upaya, salah satunya adalah penghilangan tradisi bahari,” katanya.
Tubagus menambahkan, penghilangan tradisi tersebut berlangsung melalui beberapa tahap. “Mulai dari pemaksaan transformasi sosial masyarakat oleh kolonialisme, pencemaran dan pengrusakan oleh aktivitas industri sehingga masyarakat menjauh dari ruang kelola dan hidupnya, hingga pengkaplingan ruang laut melalui kebijakan penataan ruang,” bebernya.
Dampaknya, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir menjadi pihak yang paling dirugikan. “Mereka mengalami dampak krisis yang berlapis, seperti kerusakan ekosistem pesisir, pencemaran, hingga krisis iklim. Orang muda dan perempuan menjadi kelompok paling terdampak, karena masa depan mereka terampas oleh kebijakan saat ini,” jelas Tubagus.
Kritik juga disampaikan Amin Abdullah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Lombok Timur. Ia menyoroti ketimpangan dalam proses konsultasi publik. Menurutnya, masyarakat sebagai pengguna ruang laut turun-temurun jarang dilibatkan. “Yang dominan hadir justru para investor,” tegasnya.
Amin menilai kondisi ini memicu perubahan fungsi ruang laut yang merugikan nelayan. “Laut yang menjadi ‘fishing ground’ nelayan kini dihapuskan dari peta sebagai ruang tangkap. Ini yang memicu kekacauan di lapangan,” kata Amin. Salah satu kasus yang disorot adalah di Teluk Jukung, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, di mana pemerintah pusat memberikan izin kepada perusahaan untuk budidaya lobster skala besar. “Padahal kawasan itu sudah lama digunakan masyarakat sebagai kampung lobster,” ungkapnya.
Fikerman Saragih, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), juga mengkritik rezim kebijakan penataan ruang yang berlaku saat ini. Menurutnya, perubahan dari rezim penataan ruang laut (RZWP3K) ke RTRW melalui UU Cipta Kerja justru tidak memperbaiki pengakuan terhadap eksistensi masyarakat pesisir dan nelayan.
“Paradigma yang digunakan pemerintah masih sama, yaitu laut adalah ruang bebas (mare liberum). Padahal paradigma yang seharusnya digunakan adalah laut kita (mare nostrum),” jelasnya.
Fikerman menegaskan, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil adalah pemegang hak (right holder) sehingga mereka harus dilibatkan secara penuh dan bermakna dalam penyusunan kebijakan. “Jika paradigma ini dijalankan, keadilan ruang bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diwujudkan sesuai amanat konstitusi dan Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010,” kata Fikerman.
Amri Nuryadin menegaskan, Walhi NTB mendesak pemerintah daerah untuk segera mengevaluasi seluruh kebijakan yang merugikan masyarakat pesisir dan nelayan. “Segera pulihkan ekosistem pesisir dan laut, berikan perlindungan dan pengakuan terhadap ruang kelola masyarakat, serta pusatkan kebijakan dan program untuk kepentingan masyarakat pesisir dan nelayan yang berkeadilan,” tegasnya. (red)