Oleh Dr. Alfisahrin, M.Si*
Opini, Katada.id- Ada ungkapan unik dalam politik, people don’t care about ideology when their street hasn’t been cleaned, artinya kurang lebih begini bahwa, orang tidak perduli ideologi yang dianut kalau jalan depan rumahnya saja belum di bersihkan. Politik tidak melulu urusan besar tetapi bisa juga perkara kecil dan sederhana.
Tip O’neil seorang pemikir dan politikus Amerika Serikat membagi tiga level politik. Pertama, politik lokal sejati dimulai dari isu-isu keseharian masyarakat seperti soal jalan rusak, sekolah yang roboh, pekerjaan yang sulit, sampah dan harga kebutuhan pokok yang tinggi dan mahal. Seorang politisi sering gagal pentaskan diri dengan pantas sebagai wakil rakyat di tingkat nasional jika tidak kuat di basis lokalnya. Hal ini bisa dilihat dalam demokrasi lokal di NTB banyak politisi senior tumbang dan gagal terjungkal sebelum melenggang mulus ke senayan karena lemah di basis lokalnya.
Level politik kedua, yakni nasional atau nasional politics, yang membahas kebijakan publik skala besar mulai dari soal ekonomi, pertahanan, pajak, kesejahteraan sosial dan mewakili kepentingan daerah. Menurut Tip O’neil bahwa kekuatan politik nasional tetap bergantung pada legitimasi dan dukungan politik lokal. Tanpa basis dukungan grass root di daerah, politisi nasional akan kehilangan akar moral dan elektoralnya. Atas dasar argumentasi tersebut, O’neil dengan lantang mengucapkan All politics is local. (semua politik itu, bersiaft lokal).
Level politik ketiga adalah internasional yang sebut global politics, Bagi O’Neil tiga level politik tersebut, salling berkelindan dan mempengaruhi bahkan kebijakan politik luar negeri pun seringkali punya dampak terhadap politik lokal. Saya tertarik menyoroti krisis demokrasi lokal yang semakin hilang substansi karena pragmatisme dan aksi jual beli pengaruh.
Dalam dunia politik yang kompleks dan kompetitif dikenal ada tiga istilah yang khas dan saling berkelin rumit disebut dengan aktor, broker dan modal. Orang awam menyebut aktor dengan politisi, sedangkan broker politik disebut tim sukses yang menjadi perantara penghubung elite politik dengan konstituen (pemilih) di akar rumput (grass root). Selain aktor, dan broker, dalam politik diperlukan modal meminjam istilah Bordieau (1972) sebagai kekuatan dan instrumen untuk memperoleh kekuasaan,status dan dominasi. Demokrasi, aktor modal dan broker politik tidak dapat dipisahkan karena terjalin relasi resiprokal meminjam istilah Bronislaw Malinowksy (1922) yakni hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
Salah satu yang menarik dalam demokrasi lokal menurut saya adalah keberadaan broker politik yang menjajakan pengaruh, Mereka bekerja sebagai tim sukses dan bertindak sebagai makelar demokrasi yang mengatur dan mendadani calon yang didukung dalam kontestasi politik. Sehingga suhu dan eskalasi politik seringkali panas dingin dan naik turun karena ulah permainan dramaturgi khas dari para broker. Broker tidak menjual ide, gagasan apalagi program kepada calon yang diusung tetapi jalan pintas dan strategi untuk menangkan calon lewat bansos dan serangan fajar.
Saya maklumi jika broker lebih gemar memberi rekomendasi politik yang praktis dan transaksional meski pragmatis karena memang broker politik telah mengenal kultur mayoritas pemilih lokal yang lebih menyukai diberi amplop dan sembako dari pada ide dan gagasan calon. Broker alih-alih bicara soal etika, dan moral politik apalagi pembangunan demokrasi dengan memasarkan ide dan program calon yang didukung, tidak jarang mereka justru hanya menjual isu kosong, jasa tenaga dan berdagang pengaruh dengan calon.
Jasa politik broker tentu tidak gratis, melainkan berbayar dan mahal karena setiap melakukan kerja-kerja canvasing (turun lapangan), ground campaign (kampanye lapangan), dan voter contac yang dilakukan broker harus dikonpensasi oleh aktor yang berlaga di pilkada dan pileg dengan banyak tumpukan lembaran rupiah. Broker memiliki tugas-tugas layaknya intelijen dan dapat melakukan operasi senyap dan terbuka untuk mengeliminasi prospek menang lawan. Meski tidak sekolah politik tetapi jangan tanya soal pengalaman politik broker, mereka di lapangan adalah maestro yang lihai mengenal medan, mengetahui simpul tokoh, dan memiliki insting politik yang tajam untuk mengenali/memetakan potensi basis dukungan politik kandidat yang diusung.
Tubuh kekuasaan demokrasi lokal nyaris dikuasai, dibungkus dan kendalikan oleh broker politik sehingga tidak jarang sejumlah keputusan politik kepala daerah diatur atas dasar rekomendasi broker politik. Broker berfungsi sebagai konektor antara kepentingan kekuasaan dan kebutuhan publik, broker seringkali saya lihat mengoperasikan pengaruhnya di luar sistem dan struktur formal partai atau lembaga negara.
Broker-broker ini cerdik dalam memainkan isu, narasi dan demagogi politik untuk lemahkan pergerakan lawan lewat propaganda, labeling, sterotipe dan diksi pejoratif kepada rival poltiknya. Aktor, broker dan modal politik memang merupakan elemen utama dalam kontestasi politik, aktor tanpa modal dan broker akan sulit dikenali di pasar pemilih. Dalam banyak kemenangan politik faktor kehandalan broker mengatur strategi dan mendistribusikan modal logistik kepada pemilih adalah kunci menangkan kontestasi. Dalam politik definisi modal bisa bermacam-macam ada modal sosial, modal ekonomi dan modal simbolik. Namun, realitasnya banyak aktor yang mejadi kontestan di pilkada dan pileg hanya miliki modal kemauan saja tanpa didukung oleh modal simbolik yakni pengetahuan, skill dan kompetensi menjadi pemimpin. Sehingga sering gagal menggunakan otoritas kekuasaan sebagai instrumen politik menghadirkan kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan bagi publik.
Demokrasi lokal seolah telah kehilangan aroma idealismenya. Yang tersisa kini hanyalah pasar pengaruh trading influence tempat para elit memperdagangkan dukungan, posisi, dan akses kekuasaan. Di ruang ini, politik tak lagi bicara soal gagasan, melainkan soal siapa yang punya jejaring, siapa yang bisa mengatur arus suara, dan siapa yang sanggup membeli legitimasi sosial. Fenomena trading influence ini bekerja halus tapi nyata. Kepala daerah, partai politik, tokoh agama, bahkan lembaga adat kerap terlibat dalam pertukaran simbolik yang sarat kepentingan. Dukungan politik dijual dalam bentuk “pengaruh” dan dibeli dengan proyek, jabatan, atau konsesi ekonomi. Demokrasi pun berubah menjadi arena tawar-menawar kekuasaan bukan lagi kontestasi nilai. Dalam kacamata antropologi kekuasaan, relasi semacam ini bukan sekadar praktik politik pragmatis, tetapi juga reproduksi struktur patronase.
Saya sering amati bahwa para broker memainkan peran ganda, mereka menjadi mediator antara rakyat dan elit, sekaligus penjaga gerbang distribusi sumber daya. Mereka menukar legitimasi sosial masyarakat dengan akses ke pusat-pusat kekuasaan. Akibatnya, partisipasi politik warga tereduksi menjadi ritual dukungan lima tahunan yang sarat transaksi. Lebih ironis lagi, praktek trading influence oleh broker politik mengaburkan batas antara demokrasi dan oligarki. Di satu sisi, rakyat masih memilih, di sisi lain, pilihan mereka telah lebih dulu dikondisikan oleh jaring pengaruh yang tak kasat mata. Akhirnya demokrasi lokal terjebak pada pragmatisme politik uang, obral sembako dan kompromi.
Saya kira ini menjadi potret buram demokrasi dan bentuk paling vulgar dari proses konstestasi politik. Demokrasi lokal yang semestinya menjadi ruang pembelajaran politik yang paling otentik tempat warga membangun kesadaran kolektif dan tanggung jawab sosial. Namun selama pengaruh masih lebih laku daripada gagasan, maka yang tumbuh bukanlah demokrasi deliberatif, melainkan demokrasi dagang.
Kita mungkin sedang menyaksikan perubahan wajah demokrasi lokal dari pesta rakyat menjadi pasar pengaruh. Pertanyaannya, sampai kapan rakyat rela menjadi konsumen dalam pasar politik yang semakin mahal, sementara pengaruh dijual tanpa nilai moral. Di banyak daerah termasuk NTB, demokrasi lokal tampak hidup di permukaan baliho bertebaran dari Sape hingga Ampenan, rapat pimpinan parpol ramai digelar, dan jargon partisipasi warga berkumandang di seantoro Pulau Sumbawa dan Lombok.
Namun di balik hiruk pikuk itu, ada pasar senyap tempat segala sesuatu bisa dinegosiasikan dari dukungan politik hingga akses proyek. Itulah pasar pengaruh, atau dalam istilah yang lebih tepat disebut trading influence. Dalam pasar itu, demokrasi berubah menjadi komoditas. Para elite politik, tokoh masyarakat, pengusaha lokal, dan bahkan pemuka agama berperan sebagai pedagang pengaruh yang menukar legitimasi sosial dengan imbalan ekonomi atau posisi politik. Di sinilah idealisme politik sering kandas, ketika suara rakyat tak lagi berbicara tentang gagasan, tetapi tentang siapa yang sanggup membeli atau mengatur pengaruh.
Matinya Kedaulatan Rakyat di Pasar Kekuasaan
Demokrasi sejatinya baik di level nasional dan lokal dirancang sebagai sistem yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Namun, dalam praktik sehari-hari, demokrasi lokal kita perlahan bergeser menjadi sekedar pasar kekuasaan sebuah arena tempat suara, pengaruh, dan jabatan dipertukarkan layaknya komoditas dagang. Broker seolah ikut deterministik mengatur dan membongkar formasi kekuasaan yang mendukung diakomodasi yang tidak disingkirkan.
Sehingga rotasi mutasi bukan lagi pentas menyeleksi birokrat yang akan cetak prestasi dan kompeten tetapi akomodasi siapa dekat dan menyetor amplop. Padahal, tujuan pemilu idealnya menjadi ruang adu gagasan pemimpin, kini semakin sering berubah menjadi ajang transaksi politik. Kandidat tidak lagi berlomba menyajikan visi, melainkan sibuk mengamankan dukungan melalui jejaring patronase dan logistik. Politik uang, jual beli suara, serta lobi kekuasaan di balik layar menjadi pemandangan yang semakin biasa. Akibatnya, demokrasi kehilangan ruh moralnya dan berganti menjadi permainan angka serta modal.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa demokrasi lokal kita sedang mengalami degradasi nilai. Partai politik di daerah yang seharusnya berfungsi sebagai sekolah kepemimpinan publik, justru kerap menjelma menjadi perusahaan politik. Tiket pencalonan ditentukan bukan oleh rekam jejak atau integritas, tetapi oleh kemampuan finansial dan besarnya jaringan calon. Kasarnya calon diperas dan dieksploitasi demi alasan mekanisme demokrasi dan calon wajib uang bayar uang mahar partai pun bukan tanggung-tanggung bisa miliaran. Dalam logika pasar kapitalistik seperti ini, politik kehilangan orientasi etiknya dan rakyat perlahan tersingkir dari pusat pengambilan keputusan. Dampak jangka panjangnya jauh lebih serius. Ketika kekuasaan diperoleh melalui transaksi, maka ia akan dijalankan dengan orientasi balas jasa.
Kebijakan publik menjadi alat untuk mengembalikan apa yang saya sebut dengan modal politik bukan untuk menyejahterakan rakyat. Demokrasi akhirnya berfungsi secara prosedural saja, tetapi kehilangan substansinya sebagai sarana memperjuangkan keadilan sosial. Untuk keluar dari lingkaran ini, perlu keberanian kolektif kita semua untuk mengembalikan moralitas dan etika dalam politik. Pertama, partai politik harus berani melakukan reformasi internal mengedepankan kaderisasi dan transparansi pendanaan politik, bukan hanya kalkulasi elektoral. Kedua, lembaga penegak hukum dan otoritas pemilu perlu memperkuat pengawasan terhadap praktik politik uang dan jual beli pengaruh. Ketiga, masyarakat sipil, akademisi, dan media harus terus menjadi pengawas moral dengan mendorong literasi politik dan partisipasi kritis warga.
Pada akhirnya, demokrasi lokal hanya akan sehat jika rakyat sadar bahwa suaranya bukan barang dagangan, dan kekuasaan bukan hadiah, melainkan amanah. Kita membutuhkan pemimpin yang memandang kekuasaan sebagai tanggung jawab, bukan sebagai investasi. Mengutip Steven Levitski bahwa demokrasi tidak akan mati karena kudeta militer atau revolusi, tetapi akan mati secara perlahan, tiba-tiba, dan legal dari dalam sistem itu sendiri, ketika rakyat membiarkan politik menjadi pasar kekuasaan tanpa nilai. Karena itu, tugas kita bersama adalah menghidupkan kembali semangat demokrasi lokal yang berakar pada integritas, kejujuran, dan keberpihakan kepada rakyat.
Fenomena jual beli pengaruh dalam demokrasi lokal tidak lahir dalam ruang kosong. Ia tumbuh dari kombinasi antara budaya patronase dan politik transaksional yang telah lama mengakar. Dalam sistem politik lokal Indonesia, hubungan kekuasaan cenderung bersifat personal dan hierarkis. Seorang calon kepala daerah misalnya, membutuhkan restu dari jaringan elite, ormas, bahkan tokoh informal yang dianggap punya daya pengaruh di akar rumput. Dukungan itu tidak gratis. Ada kompensasi yang disepakati kadang berupa proyek setelah menang, kadang sekadar biaya operasional kampanye. Akibatnya, demokrasi berubah fungsi: dari mekanisme representasi rakyat menjadi arena barter kepentingan.
Di titik ini, pengaruh menjadi mata uang politik baru. Ia tidak selalu berwujud uang tunai, tetapi bisa berbentuk simbol sosial pengaruh tokoh agama, ketua kelompok etnis, atau pengendali organisasi kepemudaan. Pengaruh yang semula bersumber dari kepercayaan sosial berubah menjadi instrumen ekonomi politik. Ketika pengaruh bisa dijual, maka politik kehilangan makna moralnya. Dalam perspektif antropologi kekuasaan, jual beli pengaruh adalah reproduksi dari struktur patron-klien yang telah lama hidup dalam masyarakat Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikut tidak sekadar didasarkan pada kesamaan ideologis, tetapi pada rasa hutang budi, perlindungan, dan timbal balik yang bersifat personal. Pierre Bourdieu (1977) menyebut fenomena ini sebagai bentuk simbolik yang berakar pada kehormatan, reputasi, dan pengaruh sosial.
Dalam konteks demokrasi lokal, modal simbolik itu dikonversi menjadi modal politik dan, pada akhirnya, modal ekonomi. Inilah yang membuat kekuasaan lokal di Indonesia bersifat cair tapi terkendali: ia berputar di tangan segelintir orang yang mampu memonopoli pengaruh sosial. Michel Foucault (1975) pernah mengingatkan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja lewat represi, melainkan melalui jaringan pengaruh yang halus, mengatur perilaku, dan membentuk cara berpikir. Dalam kasus demokrasi lokal, jual pengaruh menjadi mekanisme kultural untuk menormalisasi relasi kuasa yang timpang. Rakyat tidak merasa dipaksa, tetapi dibimbing untuk “mendukung” siapa yang dianggap berpengaruh.
Broker Politik dan Ritus demokrasi
Dalam praktik politik modern, istilah broker politik semakin sering terdengar. Mereka adalah para perantara kepentingan pihak yang menjembatani kandidat, partai, dan massa pemilih. Di satu sisi, keberadaan broker politik dianggap realitas lapangan dalam demokrasi elektoral. Namun di sisi lain, fenomena ini sering kali menimbulkan pertanyaan serius tentang etika dan kualitas demokrasi kita. Broker politik umumnya bekerja di tingkat akar rumput. Mereka menjanjikan dukungan suara dengan imbalan materi, jabatan, atau akses kekuasaan.
Dalam situasi tertentu, mereka menjadi semacam “pengendali politik lokal yang lebih berpengaruh daripada ideologi atau visi kandidat. Akibatnya, proses demokrasi yang seharusnya berbasis gagasan dan rekam jejak berubah menjadi transaksi pragmatis.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik kita belum sepenuhnya matang secara kultural. Ketika partisipasi politik warga masih didorong oleh imbalan ekonomi, karena alasan kemiskinan, maka politik akan kehilangan rasionalitas dan makna moralnya. Demokrasi lokal berubah menjadi pasar suara, bukan arena pertukaran gagasan.
Para broker menjadi penjaga gerbang antara rakyat dan elite tetapi sering kali dengan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik. Namun, tidak adil jika kita hanya menyalahkan para broker. Mereka muncul karena sistem politik membuka ruang bagi praktik transaksional. Lemahnya pendidikan politik, tingginya biaya kampanye, dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai menjadi lahan subur bagi tumbuhnya perantara-perantara ini. Dengan kata lain, broker hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar: pragmatisme politik struktural. Solusi terhadap persoalan ini tidak sederhana. Diperlukan perbaikan sistem pendanaan politik, penguatan pendidikan demokrasi, serta keberanian partai untuk merekrut kader berdasarkan integritas dan kapasitas, bukan sekadar kemampuan menggalang suara.
Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi sadar, bukan partisipasi berbayar. Jika politik terus dikuasai oleh para broker, maka kita berisiko memiliki demokrasi tanpa jiwa hidup secara prosedural, tetapi mati secara moral. Setiap kontestasi politik lokal kini hampir selalu diwarnai kehadiran broker para perantara antara elit dan massa. Mereka bisa berupa kepala dusun, pemimpin organisasi kepemudaan, relawan bayaran, atau konsultan politik.
Menurut saya fungsi mereka jelas yakni mengatur arus suara, membangun narasi dukungan, dan menegosiasikan kompensasi. Dalam bahasa pasar, mereka adalah makelar demokrasi. Mereka tahu siapa yang bisa memengaruhi warga, di mana kantong suara berada, dan berapa harga yang pantas untuk satu blok dukungan. Fenomena ini menjadikan politik lokal tidak ubahnya bisnis jaringan, di mana yang dijual adalah loyalitas sementara.
Praktik ini melahirkan paradoks demokrasi: di satu sisi, partisipasi politik meningkat; di sisi lain, kesadaran politik menurun. Rakyat ikut memilih, tetapi keputusan mereka dikondisikan oleh struktur pengaruh yang tidak transparan. Proses demokrasi lokal menjadi ritual, bukan deliberasi. Demokrasi lokal di banyak tempat termasuk di NTB kini telah kehilangan substansi deliberatifnya. Rapat warga berubah menjadi formalitas, diskusi publik menjadi ajang pencitraan, dan kampanye politik menjadi pesta uang.
Sementara itu, isu-isu publik yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat pendidikan, kemiskinan, lingkungan dan kesenjangan infrastrukur jarang masuk dalam agenda utama kampanye. Fenomena jual beli pengaruh menyingkirkan gagasan dari meja politik. Kandidat tidak lagi sibuk pasarkan ide tetapi menggantikan perdebatan ide dengan perhitungan strategis: berapa harga dukungan, berapa banyak suara yang bisa dijanjikan, dan berapa proyek yang akan dibagi setelah kemenangan.
Demokrasi lokal pun kehilangan arah moralnya, karena nilai yang diperjuangkan bukan lagi keadilan, tetapi efisiensi transaksi. Dalam jangka panjang, praktek jual beli pengaruh melahirkan oligarki lokal kelompok kecil yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi di daerah. Mereka memanfaatkan kedekatan dengan penguasa untuk mempertahankan posisi, mengatur distribusi proyek, dan mengontrol akses kekuasaan. Akibatnya, sirkulasi elite menjadi tertutup, dan regenerasi politik tersumbat. Yang paling dirugikan tentu saja masyarakat. Ketika pengaruh dijadikan alat dagang, suara rakyat tidak lagi bernilai kecuali sebagai legitimasi semu. Demokrasi kehilangan daya emansipatifnya, dan bergeser menjadi sistem patronase modern yang dibungkus jargon partisipasi.
Mengembalikan Moralitas Politik
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah jual beli pengaruh atau trading influence atau jual beli pengaruh dalam demokrasi lokal semakin akrab di telinga publik. Fenomena ini menggambarkan praktik di mana kekuasaan, jabatan, dan akses politik diperdagangkan layaknya komoditas ekonomi. Seseorang dapat memperoleh posisi strategis bukan karena integritas atau kapasitasnya, melainkan karena kedekatan, lobi, atau kemampuan “membeli” dukungan. Di titik inilah moralitas politik kita benar-benar diuji. Padahal, politik sejatinya adalah instrumen luhur untuk memperjuangkan kebaikan bersama (bonum commune). Dalam tradisi filsafat politik, kekuasaan tidak dimaksudkan untuk memperkaya diri, tetapi untuk memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Ketika logika dagang menelan etika, maka politik kehilangan ruh moralnya. Demokrasi menjadi sekadar ritual prosedural tanpa substansi keadilan.
Praktik trading influence menandakan bahwa orientasi politik telah bergeser dari pengabdian menjadi transaksi. Politik berubah menjadi pasar pengaruh, tempat di mana nilai digantikan oleh nilai tukar, dan pengaruh menjadi mata uang yang lebih berharga daripada gagasan. Dampaknya sangat serius: rakyat kehilangan kepercayaan, pejabat kehilangan integritas, dan negara kehilangan arah moral. Untuk mengembalikan moralitas politik, kita perlu melakukan pembenahan di tiga lini.
Pertama, pembenahan partai politik. Partai tidak boleh lagi menjadi mesin transaksi kekuasaan, melainkan pusat pendidikan etika publik dan rekrutmen kader yang berintegritas. Kedua, penegakan hukum dan transparansi. Setiap bentuk penyalahgunaan pengaruh harus diusut secara terbuka agar tidak menjadi kebiasaan yang dianggap normal. Ketiga, peran masyarakat sipil dan media. Publik perlu terus menyoroti dan mengawasi praktik lobi politik yang tidak sehat, karena diam berarti turut melestarikan budaya korup pengaruh.
Moralitas politik tidak akan lahir dari pidato moralistik, melainkan dari keteladanan nyata. Ketika pejabat berani menolak kompromi etis, ketika partai lebih bangga pada kader bersih daripada kader berduit, dan ketika rakyat menolak politik uang serta patronase, maka fondasi moral demokrasi akan pulih sedikit demi sedikit. Pada akhirnya, politik yang bermoral bukanlah mimpi utopis. Ia adalah keharusan agar demokrasi tetap bernyawa. Karena tanpa moralitas, politik hanya akan menjadi perdagangan kekuasaan dan bangsa ini akan terus kehilangan arah dalam kabut kepentingan yang kian pekat. Pertanyaan besar bagi kita sekarang: bagaimana mengembalikan moralitas politik di tengah budaya trading influence yang mengakar ini. Pertama, transparansi dan pendidikan politik harus diperkuat.
Rakyat perlu tahu bagaimana keputusan politik dibuat, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana mekanisme pertukaran kekuasaan bekerja. Kedua, penguatan lembaga sosial independen penting untuk mengimbangi dominasi elit lokal. Ketiga, partai politik mesti berani menolak praktik jual beli dukungan dan mengembalikan politik pada gagasan, bukan patronase. Demokrasi lokal seharusnya menjadi laboratorium kebangsaan—tempat warga belajar bernegara, berdebat, dan bersepakat secara rasional. Namun selama pengaruh masih lebih mahal daripada integritas, demokrasi hanya akan menjadi panggung sandiwara tempat para pedagang pengaruh memainkan peran utamanya. Kita memang hidup di zaman ketika suara bisa dibeli dan pengaruh bisa disewakan. Tapi selama masih ada ruang refleksi dan keberanian moral, masih ada harapan untuk mengembalikan politik ke relnya dari pasar kekuasaan menuju ruang kesadaran publik.
*Penulis adalah Dosen di Universitas Bima Internasional-MFH dan Staf Ahli di DPR RI













