Mataram, katada.id – Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB mengamankan empat unit truk pengangkut kayu yang diduga hasil pembalakan liar dari kawasan hutan.
Berdasarkan pantauan media ini, empat truk masih diamankan di DLHK. Yakni Truk berwarna biru dengan nomor polisi DR 8841, truk berwarna cokelat dengan nomor polisi DR 8103 SP, serta dua truk berwarna kuning nomor polisi EA 8469 DA dan DR 8434 LI.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Alam Dinas LHK dan Kehutanan NTB, Mursal mengatakan penangkapan ini bermula dari informasi yang diperolehnya dari masyarakat.
“Sehingga saya kemarin langsung memimpin, walaupun tidak ke lokasi. Saya dapat informasi sebelumnya ada beberapa kendaraan pengangkut kayu yang akan menyeberang dari Sumbawa ke Lombok,” kata dia, Rabu (29/10).
Menanggapi informasi tersebut, tim segera diterjunkan untuk pengamanan di lokasi penyeberangan lewat KPH Rinjani Timur. “Saya minta kepada tim KPH Rinjani Timur memantau kendaraan yang naik kapal,” kata dia.
Ia menyebutkan, total muatan kayu yang diamankan dalam empat truk tersebut sebanyak 55,8 kubik. “Kurang lebih 700 batang,” kata dia.
Ia menjelaskan, kayu yang diangkut jenis rajumas dan kayu rimba campuran.
“Kayu raju mas ini diminati banyak orang karena tidak dimakan rayap,” jelasnya.
Khusus untuk kayu rajumas, nilai jualnya cukup tinggi. “Kayu Raju mas ini harganya kisaran Rp 4 juta sampai Rp 5 juta perkubik. Dalam empat truk ini ada satu truk yang khusus membawa kayu raju mas. Jumlahnya 13,8 kubik,” jelasnya.
Pihaknya telah melakukan penyelidikan dengan memeriksa para sopir dan saksi-saksi lain. “Sudah dilakukan (pemeriksaan saksi-saksi). Dari pendalaman dilakukan, belum dapat kami simpulkan kayu ini ilegal. Tetapi dapat diduga bahwa ini bersumber dari kawasan hutan. Diduga hasil pembalakan liar,” jelas dia.
Dugaan kayu berasal dari kawasan hutan semakin kuat didukung oleh bukti visual yang dimiliki DLHK. “Dari hutan Sumbawa. Ndak bisa kita sebutkan secara spesifik. Kami juga punya dokumentasi video yang dibuat oleh salah satu petugas secara diam-diam bagaimana mereka melakukan operasi di tengah hutan,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan keterbatasan pengawasan terkendala oleh anggaran operasional. “Ketika anggaran pemerintah ini memadai kita melakukan operasi pengawasan hutan. Dulu kami berjejer dari Sape – Lembar. Pasukan kami jejer di titik-titik tertentu, ada pemeriksaan,” kata dia.
Saat ini kondisi anggaran tidak memungkinkan, mengingat harus melibatkan unsur lain juga di luar Dinas LHK. “Sekarang kan kemampuan pemerintah untuk membiayai kegiatan seperti ini. Karena kami juga harus melibatkan Polri dan anggota dalam operasi,” jelasnya.
Mursal mengakui kendala anggaran berdampak pada intensitas pengawasan. “Kemampuan anggaran ini membiayai operasi agak kendor sudah begitu patroli pengawasan peredaran hasil hutan kayu,” ujarnya. (*)













