Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Daerah

Gabungan Organisasi Sipil Bersatu Suarakan Dampak Tambang dan PSN Terhadap Perempuan dan Lingkungan

×

Gabungan Organisasi Sipil Bersatu Suarakan Dampak Tambang dan PSN Terhadap Perempuan dan Lingkungan

Sebarkan artikel ini
Gabungan Organisasi sipil gelar diskusi Urgensi Moratorium Izin Tambang.

Mataram, katada.id – Gabungan organisasi masyarakat sipil yang berkoalisi, yakni Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB, Solidaritas Masyarakat Sipil (SOMASI) NTB, IDE dan Analitika Indonesia (IDEA), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jatim, serta Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan A Member of The Resource Justice Network bersatu menyuarakan desakan kepada pemerintah agar lebih serius menangani dampak sosial, ekonomi, dan ekologis dari aktivitas pertambangan serta proyek strategis nasional (PSN) di NTB.

 

Example 300x600

Hal itu disampaikan dalam diskusi bertema “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Tata Kelola Minerba di Tengah Maraknya Tambang Ilegal hingga Pembangunan PSN di Pulau Jawa dan Kepulauan Nusa Tenggara”, yang digelar di Mataram, Rabu (22/10).

 

Direktur WALHI NTB, Amrin Nuryadin, menyoroti belum jelasnya payung hukum terkait Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di NTB.

“Apa yang dalam konteks IPR hari ini belum ada payung hukum yang jelas. Kalau misalnya ada yang bilang kalkulasi ada 14 miliar setiap bulan setahun sampai 4 triliun,” ujarnya.

 

Menurut Amri, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan tambang melalui skema IPR juga berpotensi menimbulkan masalah sosial jika tidak diatur secara matang.

“Kalau misalnya dilibatkan hanya 500 orang, bagaimana masalah sosial yang akan timbul. Bagaimana jika lokasi di antara dua desa, di antara dua kecamatan, apakah diambil dari dua desa,” paparnya.

 

Ia menegaskan, pemerintah perlu memiliki data konkret sebelum menyusun skema koperasi dalam pelaksanaan IPR tersebut.

“Kita lihat data konkret bagaimana akan disusun dalam koperasi itu. APH masuk. Apa regulasi yang melingkupi inisiatif ini,” tegas Amri.

 

Amri juga mengkritik rencana pelaksanaan IPR yang menurutnya tidak sebanding dengan hasil yang digaungkan pemerintah.

“Perencanaan IPR di NTB ini tidak sedahsyat hasil yang didengungkan,” ucapnya.

 

Lebih lanjut, ia mempertanyakan kesiapan pemerintah dalam mitigasi dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas tambang rakyat di NTB.

“Mitigasi bencananya tidak jelas. Seberapa besar yang akan didapatkan oleh daerah. Apalagi bagaimana kerugian yang diakibatkan oleh IPR yang berada di 1.500 hektare di 60 titik di NTB,” katanya.

 

Amri juga mendorong DPRD NTB untuk turun langsung menelusuri persoalan di lapangan dan memastikan urgensi pembentukan IPR benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat.

“DPRD NTB harus segera melakukan penyelidikan sosial di tengah masyarakat tentang urgensi IPR,” tandasnya.

 

“Kalau tanpa ini saya pikir hanya akan menjadi aturan yang tidak terimplementasi di bawah,” tutupnya.

 

Sementara itu, perwakilan Solidaritas Perempuan (SP), Ida Hidayati, menyoroti dampak pembangunan PSN terhadap kehidupan masyarakat, khususnya perempuan di tiga desa terdampak, yakni Desa Bukit Tinggi, Gegerung, dan Dasan Geria.

“Perempuan terdampak Proyek Strategis Nasional Bendungan Meninting yang kami tangani di tiga desa, yakni Desa Bukit Tinggi, Gegerung dan Dasan Geria,” kata Ida.

 

Ia menjelaskan, pembangunan bendungan menyebabkan hilangnya lahan pertanian, berkurangnya sumber air, serta terganggunya mata pencaharian warga, khususnya yang bergantung pada sektor agraria dan ekonomi lokal.

“Proyek ini membuat hilangnya lahan pertanian, berkurangnya sumber air dan terganggunya mata pencaharian terutama yang bergantung pada sektor agraria dan ekonomi lokal,” ujarnya.

 

Sebelum proyek dimulai, kata Ida, wilayah tersebut merupakan kawasan produktif yang menopang ekonomi masyarakat.

“Sebelum ada bendungan ini, kehidupan ekonomi mereka terjamin karena tiga wilayah ini dulunya penghasil gula aren terbesar karena sumber daya alam banyak di situ,” ungkapnya.

 

Namun, setelah sekitar 54 hektare lahan warga diambil untuk proyek bendungan, produksi gula aren menurun drastis.

“Karena diambil lahannya sekitar 54 hektare luas lahan yang diambil itu menyebabkan gula aren terbatas, dan 70 persen masyarakat Desa Bukit Tinggi menghasilkan sapu ijuk dari pohon lira,” jelas Ida.

 

Kini, sebagian besar perempuan di desa tersebut kehilangan mata pencaharian.

“Sekarang tinggal 7 persen. Banyak bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan bekerja sebagai buruh migran,” tambahnya.

 

Ida juga menyoroti minimnya pelibatan perempuan dalam proses pembangunan.

“Perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan Bendungan Meninting yang hampir 85 persen jadi,” tegasnya.

 

Selain persoalan bendungan, SP juga menyerukan penghentian sementara (moratorium) aktivitas pertambangan di Lombok karena dianggap memperburuk kondisi ekologis dan mempersempit ruang hidup perempuan.

“SP mendorong moratorium tambang karena ekspansi tambang di Lombok memperburuk ekologis dan mempersempit ruang hidup perempuan,” ujarnya.

 

Ia menegaskan, pembangunan seharusnya tidak mengorbankan masyarakat dan lingkungan.

“Pembangunan sejati harus berpihak pada kehidupan, bukan pada investasi yang meminggirkan perempuan dan rakyat kecil,” tutupnya.

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *