Mataram, katada.id- Sorot Kamera Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram, kembali menyelenggarakan diskusi publik. Dialog hukum itu mengangkat tajuk Gonjang-Ganjing Ijazah Palsu” berlangsung di ruang kuliah eks Magister Kenotariatan FHISIP Unram, Kemarin.
Kegiatan itu merupakan bagian program sorot kamera, yang mengusung pendekatan interdisipliner dalam membedah isu-isu aktual. Narasumber yang dihadirkan berasal dari Lintas Disiplin yakni Hukum Tata Negara, Pidana dan Ilmu Komunikasi.
Dekan FHISIP UNRAM, Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, S.H., M.H., menekankan pentingnya diskusi interdisipliner, guna menjaga rasionalitas publik dan memperkuat literasi hukum. Terutama di tengah arus informasi media sosial.
Dia menyebut bahwa program ini dirancang sebagai ruang edukatif yang mendorong mahasiswa memahami dinamika masyarakat secara terbuka.
“Status quo yang dibiarkan tanpa perubahan justru dapat menjadi sumber kericuhan di tengah masyarakat. Mahasiswa tidak cukup hanya menjadi pengamat, tapi harus turut mengambil peran dalam mencari solusi,” tegasnya, dalam sambutannya.
Kegiatan ini dipandu Taufan SH.,MH. Ia mengawali diskusi dengan catatan kritis. Mempertanyakan validasi keaslian ijazah Jokowi dalam hukum administrasi negara. Dia menyoroti peran UGM sebagai institusi pemberi ijazah Jokowi. Baginya, penting ada validasi tambahan dari lembaga lembaga peradilan, terkait Ijazah Jokowi.
“Kalau lembaga tempat kita mencari keadilan justru sedang sakit, lalu di mana publik bisa percaya?” ujarnya.
Dalam sesi selanjutnya, ia juga menggugah refleksi yang lebih dalam dengan bertanya: “Apakah mungkin sebagian narasi tentang ijazah ini justru sengaja dijaga agar tetap hidup oleh lingkaran kekuasaan itu sendiri?”
Menurutnya, jika isu ini terus berlanjut tanpa arah penyelesaian yang tegas, maka ada kemungkinan bahwa masyarakat dimanfaatkan sebagai alat politik jangka panjang yang merugikan kualitas demokrasi dan merusak kepercayaan publik terhadap negara.
Perspektif Hukum Administrasi Negara
Prof. Galang Asmara, S.H., M.Hum menekankan bahwa dalam logika hukum administrasi, tidak dikenal istilah “ijazah palsu”. Sebaliknya, yang ada adalah asas praduga rechtmatig, yaitu setiap keputusan administrasi negara, termasuk penerbitan ijazah harus dianggap sah sampai ada putusan pengadilan yang membatalkannya.
Menurut pakar hukum Tata Negara ini, keabsahan suatu ijazah ditentukan oleh dua aspek, yakni formil dan materiil. Syarat formil meliputi kelengkapan prosedur akademik seperti kehadiran kuliah, praktik kerja lapangan, ujian, dan skripsi. Sedangkan syarat materiil berkaitan dengan kewenangan lembaga dan pejabat yang mengeluarkannya.
“Kalau prosedur akademik dijalani dan dokumen dikeluarkan oleh pejabat berwenang, maka secara hukum, itu sah. Bahkan, jika lewat 90 hari tidak digugat ke PTUN, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986, maka keputusan itu telah verjaring atau berkekuatan hukum tetap,” tegasnya.
Prof. Galang menyoroti aspek legal standing dalam gugatan ke PTUN. Menurutnya, publik yang merasa curiga belum tentu memiliki kedudukan hukum (rechtspositie) untuk mengajukan gugatan.
“Keraguan publik tidak serta-merta memberi hak untuk menggugat. Harus ada kerugian langsung dan nyata,” sebutnya.
Dia menegaskan bahwa sekalipun ijazah tersebut suatu hari dibatalkan secara hukum, maka pembatalan itu tidak berlaku surut.
“Semua tindakan administratif Presiden Jokowi selama menjabat tetap sah hingga hari pembatalan, sebagaimana prinsip non-retroaktif dalam hukum administrasi negara,” tutupnya.
Perspektif Hukum Pidana
Syamsul Hidayat, S.H., M.H., memaparkan secara mendalam keterbatasan penegakan hukum pidana dalam menangani dugaan pemalsuan ijazah Presiden Jokowi. Dia menegaskan bahwa proses penyidikan tidak dapat dilakukan tanpa pemenuhan unsur pokok dari Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, yaitu adanya tempus delicti (waktu kejadian) dan locus delicti (tempat kejadian).
“Kalau tempus dan locus-nya tidak jelas, bagaimana kita bisa menentukan pelakunya? Bagaimana menyusun kronologi penyidikan?” ujarnya.
Menurutnya, tahapan hukum acara pidana memiliki batasan prosedural yang ketat. Penyitaan, penggeledahan, hingga penetapan tersangka hanya dapat dilakukan setelah masuk tahap penyidikan. Namun dalam kasus ini, prosesnya bahkan belum melewati tahap penyelidikan secara tuntas.
“Penyitaan itu adalah upaya paksa. Ia hanya bisa dilakukan ketika penyidik telah menemukan dugaan tindak pidana dan meningkatkan statusnya ke penyidikan. Kalau masih penyelidikan dan belum ada bukti awal yang cukup, maka tidak mungkin dilakukan penyitaan terhadap dokumen seperti ijazah,” terang Syamsul.
Ahli hukum Pidana Unram ini juga menyentil keputusan untuk menghentikan penyelidikan secara cepat, tanpa membuka ruang pengujian ulang atas bukti atau menghadirkan saksi kunci yang disebut-sebut pernah bersama di masa kuliah Jokowi.
“Kalau benar ada saksi-saksi baru, seperti yang disebut dalam laporan masyarakat, misalnya nama Andi yang disebut sebagai teman satu kampus, maka itu bisa jadi dasar untuk membuka kembali penyelidikan. Karena penyelidikan bisa dilanjutkan jika ditemukan bukti baru atau keterangan tambahan,” jelasnya.
Syamsul juga menegaskan pentingnya pembuktian berdasarkan alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP, yakni: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Ia menilai bahwa hingga saat ini, belum ada alat bukti yang memenuhi unsur formil dan materiil dari peristiwa pidana yang dimaksud.
“Banyak yang menyebut ijazah itu palsu, tapi siapa yang melihat proses pemalsuannya? Siapa yang menyaksikan pembuatan dokumen tersebut? Kalau tidak ada saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami secara langsung, itu bukan saksi fakta,” tutupnya.
Perspektif Sosiologi-Kriminologi
Lalu Saipudin, SH., M. Hum menyoroti fenomena post-truth society, di mana kebohongan yang terus diulang bisa dianggap sebagai kebenaran.
“Kalau masyarakat tidak bisa menyaring informasi yang diterima dari media sosial, maka hoaks akan menjadi alat delegitimasi yang sangat berbahaya,” ungkapnya.
Dia menyarankan bahwa publik harus menggunakan akal sehat dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi-narasi liar, buzzer, dan algoritma media sosial.
“Kritik publik sah, tapi jangan sampai kehilangan objektivitas,” tegasnya.
Membahas lebih dalam, Saipudin menyentuh aspek konstitusionalitas. Ia menekankan bahwa jika benar ijazah Jokowi, terutama ijazah SMA sebagai syarat pencalonan presiden, ternyata palsu, maka akar legitimasi kekuasaan dua periode bisa dipertanyakan secara serius.
Namun, katanya, tidak semua konsekuensi hukum bisa serta-merta berlaku mutatis mutandis. Ia mencontohkan, pengangkatan menteri dan perjanjian internasional tetap sah selama belum ada pembatalan formal.
“Hukum tidak bisa bekerja berdasarkan asumsi atau opini media sosial. Harus ada mekanisme hukum yang jelas, mulai dari legal standing sampai alat bukti yang sah,” paparnya.
Dia mengajak peserta untuk membedakan ruang diskusi akademik dengan ruang aktivisme. “Advokasi dan gerakan jalanan boleh dilakukan, tapi di forum ilmiah seperti ini, kita harus mengedepankan pendekatan normatif dan analitis, berbasis hukum positif,” tutupnya.
Perspektif Komunikasi Publik
Aurelius Rofinus Lolong Teluma, S.S., M.A. menyoroti derasnya opini publik yang terbentuk tanpa arahan komunikasi yang jelas dari aktor-aktor resmi negara.
“Masalah utama dalam isu ini bukan hanya soal keaslian ijazah, tapi bagaimana persoalan ini dikomunikasikan. Seharusnya, yang tampil ke publik bukan hanya polisi, tapi juga kampus, institusi negara, dan bahkan Jokowi sendiri. Tapi yang terjadi adalah kekosongan narasi,” sebutnya.
Menurutnya, dalam teori komunikasi publik, hal pertama yang dibutuhkan dalam isu sebesar ini adalah pesan utama yang dikendalikan dan disampaikan oleh komunikator yang berwenang. Akan tetapi, ia melihat bahwa narasi publik justru digiring kepada hal-hal emosional, sensasional, dan menjauh dari substansi.
“Kita tidak lagi bicara soal proses akademik, tapi malah membahas kertas, tinta, skripsi, bahkan narasi tentang Pasar Pramuka. Sifat komunikasinya emosional, komunikatornya justru politisi dan buzzer, bukan lembaga resmi,” tegasnya.
Dia menjelaskan merujuk data yang dikumpulkan dari 1 Oktober 2024 hingga 17 Oktober 2025, terdapat lebih dari 50 ribu unggahan terkait isu ijazah Jokowi. Di media sosial, 82% konten bersentimen negatif, dan hanya 11% yang bernada positif, itupun sebagian besar berupa skeptisisme, bukan pembelaan.
Hal itu katanya, bahwa algoritma media sosial menciptakan echo chamber, di mana seseorang hanya akan melihat konten yang memperkuat keyakinannya.
“Maka meskipun kelak ijazah itu terbukti asli, distrust publik akan tetap ada. Ini konstruksi komunikasi yang berbahaya dan akan berdampak panjang,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa figur Jokowi kini telah menjadi simbol politik, bukan lagi sekadar pribadi. Maka serangan terhadap ijazahnya adalah bentuk delegitimasi terhadap kekuatan simbolik politik yang melekat padanya.
“Dan yang mendorong isu ini bukan hanya lawan politik lama, tetapi juga kekuatan baru yang ingin menguasai panggung pasca Jokowi,” tambahnya.
Ia juga menyayangkan tidak adanya kantor narasi yang secara sistematis dan konsisten menyusun klarifikasi resmi.
“Kita kehilangan orkestrasi. Polisi bicara di satu tempat, kampus diam, Jokowi diam, media mainstream pun tidak memproduksi berita orisinal. Ini membuat publik bergantung pada narasi liar,” tuturnya. (sm)