Mataram, Katada.id – Nusa Tenggara Barat (NTB) masih menghadapi persoalan serius terkait maraknya praktik perkawinan anak. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil, angka perkawinan di bawah umur tetap tinggi dan menjadi ancaman nyata terhadap masa depan anak-anak di provinsi ini.
Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, Sri Wahyuni, mengungkapkan bahwa hingga pertengahan tahun 2025, Kabupaten Bima mencatat angka kasus perkawinan anak tertinggi di wilayah NTB.
“Pada tahun 2024, angka perkawinan anak mencapai 14,96 persen, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 5,6 persen,” ujarnya dalam Diskusi Kamisan bertajuk “Pencegahan Tindakan Kekerasan Perempuan dan Lindungilah Anak Kita” di Command Center Kantor Gubernur NTB, Kamis (6/6).
Dari total 143 kasus yang tercatat di NTB, sebanyak 81 kasus terjadi di Kabupaten Bima. Sementara itu, Dompu mencatat 19 kasus, dan Lombok Tengah menyusul dengan 17 kasus hingga Mei 2025 — naik dari 16 kasus sepanjang tahun 2024.
Menurut Sri, beberapa faktor yang mendorong tingginya angka perkawinan anak antara lain minimnya pengawasan orang tua, kemiskinan, serta pola asuh yang tidak memadai.
“Di Bima, orang tua kerap pergi berladang selama berhari-hari dan meninggalkan anak tanpa pengawasan. Kurangnya pendidikan parenting juga berpengaruh besar,” jelasnya.
Sri juga menekankan bahwa praktik perkawinan anak yang dikenal dengan istilah merarik kodek tidak dapat dijustifikasi sebagai bagian dari budaya Sasak.
“Perkawinan anak, apapun alasannya, tidak boleh dikaitkan dengan budaya Sasak. Ini bukan tradisi, dan kami akan duduk bersama tokoh agama, tokoh adat, serta pejabat desa untuk mencari solusi pencegahan, khususnya di Lombok Tengah yang kasusnya meningkat tajam,” tegasnya.
Fenomena ini juga berdampak pada peningkatan angka stunting di NTB. Pada tahun 2024, angka stunting tercatat mencapai 29 persen, yang menurut Sri, turut dipicu oleh tingginya jumlah perkawinan anak.
“Perkawinan anak turut berkontribusi terhadap stunting. Oleh karena itu, kami terus berupaya menekan angka ini, meski data resmi tetap berasal dari Pengadilan Agama,” tutupnya. (red)