Mataram, katada.id – Ketua Komisi IV DPRD NTB, Hamdan Kasim, meminta Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat bertindak tegas terhadap rekanan proyek yang menyebabkan pembangunan molor.
Menurutnya, pemberian denda tidak cukup. Kontraktor yang gagal menyelesaikan proyek tepat waktu harus di-blacklist dan tidak diberi lagi proyek di NTB.
“Kami sudah rapat kerja dengan PUPR. Itukan masalah anggaran DAK. Itu untuk Islamic Center dan RS Mandalika,” kata Hamdan Kasim, Selasa (15/7).
Ia menyatakan proyek yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) tersebut sudah semestinya dikenakan sanksi karena terbukti tidak selesai sesuai kontrak.
“Kami sudah rapat kerja dengan PUPR memang sudah pasti di denda,” ujarnya.
Bahkan, Hamdan menyebut salah satu pekerjaan di proyek Islamic Center belum selesai sepenuhnya.
“Kabarnya liftnya pun masih belum selesai di proyek di Islamic Center walaupun sudah ada liftnya,” ungkapnya.
Untuk itu, ia menekankan agar pemerintah tidak lagi memberikan peluang kepada rekanan yang terbukti tidak bertanggung jawab.
“Maka rekomendasinya satu tidak boleh kontraktor yang bersangkutan diberikan pekerjaan di NTB,” kata Ketua Komisi IV DPRD NTB ini.
Lebih lanjut, ia menilai sanksi harus lebih tegas. “Punishman bukan hanya dikasih denda. Harus di blacklist dan tidak bisa diberikan pekerjaan lagi,” tegas Hamdan.
“Kalau menurut saya. Pemprov NTB melalui PUPR harus tegas. Apabila pekerjaan mangkrak lewat tahun seperti ini memang tidak kualitas,” sambungnya.
“Kalau di blacklist bisa kapok. Namanya di blacklist nanti tidak akan bisa mengerjakan proyek lagi,” tegasnya lagi.
Denda Keterlambatan Belum Disetor Rp3,13 Miliar
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi NTB, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya keterlambatan penyelesaian tiga paket pekerjaan fisik yang dikerjakan oleh mitra penyedia pemerintah provinsi.
Tiga proyek tersebut adalah:
- Pekerjaan Rehabilitasi Gedung Islamic Center pada Dinas PUPR
- Pekerjaan Pembangunan Gedung Rawat Inap RS Mandalika pada Dinas Kesehatan
- Pekerjaan Pembangunan Revitalisasi Rumah Produksi Balai Kemasan pada Dinas Perindustrian
Dalam laporan BPK disebutkan: “Dari hasil analisis BPK terhadap dokumen Surat Perjanjian/Kontrak, Adendum Kontrak, Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK), Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK), serta dokumen pembayaran atas tiga pekerjaan tersebut mengungkapkan adanya keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang belum dikenakan denda seluruhnya minimal senilai Rp3.625.323.000,” bunyi temuan BPK dalam LHP atas LKPD Pemprov NTB dikutip media ini.
BPK juga menyebut bahwa sebagian denda sudah disetor, namun masih ada sisa cukup besar yang belum diproses.
“Atas denda keterlambatan, sebagian telah ditindaklanjuti dengan melakukan penyetoran ke Kas Daerah senilai Rp491.692.000, sehingga terdapat sisa yang belum ditindaklanjuti minimal senilai Rp3.133.631.000.”
Rincian Denda Proyek IC, RS Mandalika, dan Balai Kemasan
Dalam laporan itu pula dijelaskan secara rinci nilai denda pada tiap proyek:
“Rincian denda keterlambatan, Rehabilitasi Gedung Islamic Center Rp1.693.333.000, Pembangunan Ruang Rawat Inap RS Mandalika Rp1.440.298.000, dan Revitalisasi Rumah Produksi Balai Kemasan Rp 491.692.000,” sebut BPK.
Permasalahan Proyek IC, Denda Salah Hitung dan Adendum tanpa Dasar
Pekerjaan Rehabilitasi Gedung Islamic Center yang dilaksanakan oleh CV OQKI PUTRA mengalami keterlambatan serius. Masa kontrak berakhir 12 Desember 2024, namun hingga Mei 2025 pekerjaan belum selesai. BPK menyoroti proses adendum kontrak dan perhitungan denda yang tidak sesuai regulasi.
“Pekerjaan Rehabilitasi Gedung Islamic Center telah dilakukan adendum kontrak sebanyak empat kali.”
“Selain itu, hasil klarifikasi menunjukkan bahwa sejak berakhirnya masa pemberian kesempatan dalam Adendum IV pada tanggal 30 Maret 2025, PPK belum menerbitkan Adendum V secara tertulis, sehingga terdapat periode yang tidak memiliki landasan kontraktual yang sah minimal sejak tanggal 30 Maret hingga 2 Mei 2025.”
“PPK juga tidak memperpanjang masa jaminan pelaksanaan sejak berakhirnya masa pemberian kesempatan pada Adendum III yaitu pada tanggal 20 Februari s.d. 2 Mei 2025.”
“Perubahan pada Pasal 70.4.(c) ini tidak disertai dengan penyesuaian pada pasal-pasal lain dalam SSKK yang terkait, sehingga menimbulkan pertentangan antar ketentuan di dalam SSKK.”
Proyek RS Mandalika: Terlambat dan Tak Ada Adendum V
Kondisi serupa juga terjadi pada proyek Pembangunan Gedung Rawat Inap RS Mandalika senilai Rp10,38 miliar yang dikerjakan oleh CV NK. Proyek ini seharusnya selesai Desember 2024, tetapi hingga Mei 2025 belum diserahterimakan.
“Berdasarkan klarifikasi bersama PPK, Penyedia, dan Konsultan Pengawas atas perhitungan pengenaan denda pada tanggal 2 Mei 2025, BPK memperoleh informasi bahwa hingga saat tersebut pekerjaan belum selesai atau belum dilakukan PHO.”
“PPK belum menerbitkan Adendum V secara tertulis, sehingga terdapat periode yang tidak memiliki landasan kontraktual yang sah minimal sejak tanggal 28 Maret hingga 2 Mei 2025.”
“Selain itu, PPK juga tidak memperpanjang masa jaminan pelaksanaan sejak berakhirnya masa pemberian kesempatan pada Adendum II tanggal 3 Februari – 2 Mei 2025.”
Rekomendasi BPK: Pemprov Harus Tegas
Melalui laporan tersebut, BPK memberikan rekomendasi kepada Gubernur NTB sebagai tindak lanjut atas permasalahan yang ditemukan:
“Agar menginstruksikan Kepala Dinas PUPR, Kepala Dinas Kesehatan, dan Kepala Dinas Perindustrian untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan pekerjaan fisik di lingkungan kerjanya;”
“Kepala Dinas PUPR dan Kepala Dinas Kesehatan untuk mendorong penyelesaian pekerjaan dan segera memproses potensi dan/atau kekurangan penerimaan atas denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan minimal senilai Rp 3.133.631.000,” beber temuan BPK. (tim)