Oleh: Adi Ardiansyah
BEBERAPA hari ini media massa dan media cetak lokal di NTB sedang ramai memuat berita sensasional perihal tentang rencana Kunjungan Kerja (Kunker) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat (DPRD NTB) ke Luar Negeri. Rencana yang menyerap anggaran Rp 3,5 Milyar menjadi sorotan sejumlah pihak seperti, tokoh agama, akademisi, LSM, aktivis dan sejumlah Organisasi Kepemudaan (OKP) lainnya.
Kunjungan Kerja yang ditargetkan selama 7 hari tersebut tentu memiliki alasan logis versi anggota dewan. Tetapi sejumlah pihak termasuk penulis juga merasa keberatan dengan adanya inisiatif ilogis dari perwakilan rakyat yang dimandatkan oleh masyarakat sebagai representasi kepentingan masyarakat NTB di masing-masing dapil malah mengabaikan hal-hal prioritas yang seharusnya segera diselesaikan oleh anggota DPRD.
Sejauh ini penulis mengamati pro dan kontra dari berbagai pihak atas rencana anggota dewan tersebut. Bagi penulis sendiri, rencana kunker anggota dewan tersebut telah melanggar etika publik, dimana kondisi Daerah yang sedang mengalami ketidakstabilan akibat musibah yang dialaminya satu Tahun lalu hingga hari ini belum pulih secara total.
Faktanya pun sangat jelas, ada ribuan Kepala Keluarga di KLU yang masih terisolir, belum sepenuhnya pulih secara fisik (rumah) maupun psikis (jiwa) akibat bencana Gempa Bumi Tahun lalu. Tidak hanya itu, kondisi berbagai Daerah di setiap sudut NTB juga masih banyak membutuhkan perhatian anggota dewan untuk merumuskan beragam instrumen peraturan demi kesejahteraan masyarakat secara umum. Katankanlah krisis air bersih disetiap wilayah, ilegal loging yang semakin merambah kawasan hutang lindung, angka buta huruf akibat tidak maksimalnya dunia pendidikan, tingkat kesehatan, bahkan kondisi perekonomian masyarakat kebawah yang tidak stabil.
Penulis merasa banyak hal yang mestinya menjadi prioritas penting untuk dilakukan oleh anggota Dewan dalam menutup akhir periode massa jabatannya sekarang, bukan malah menari di atas keterpurukan masyarakatnya sendiri pakai acara ke luar Negeri segala.
Secara sederhana sekalipun seandainya anggaran kunker Rp 3,5 Milyar tersebut dikelola untuk menghidupkan perekonomian masyarakat kebawah, atau didistribusikan dalam bentuk bantuan langsung tunai kepada yang berhak (keluarga tidak mampu) se-NTB ini, akan ada 5.000 Kepala Keluarga yang dapat menghidupkan sirkulasi perekonomian masyarakat di wilayahnya masing-masing. Atau barangkali distribusi anggaran tersebut dimanfaatkan untuk mengatasi krisis air bersih di berbagai tempat, maka tidak bisa kita bayangkan berapa banyak kepala yang dapat diselamatkan oleh pengelolaan anggaran kunker tersebut, dari pada di habiskan secara cuma-cuma diperjalanan kunker hanya untuk melihat langit eropa.
Dalam hal ini anggota Dewan sangat penting mempertimbangkan kembali perihal rencananya, jika hal tersebut secara moral dan etika publik dilanggarnya. Sebagai delegasi dari masyarakat NTB di berbagai Dapil, penulis menyesalkan adanya inisiatif tidak bermoral seperti demikian, karena ini secara kontras matinya nurani wakil rakyat.
Kita tidak menginginkan ada hal semacam itu menimpa wajah anggota dewan terhormat yang telah dimandatkann oleh rakyat untuk mewakili kepentingan publik. Seharusnya ditengah kondisi Daerah yang masih tidak stabil seperti ini, anggota dewan lebih fokus menyelesaikan problem dihadapannya.
Representasi masyarakat (dewan) yang diharapkan untuk menyuarakan dan mewakili kepentingan masyarakat tidak seharusnya di khianati oleh wajah lembaga yang begitu sakral di NTB, apalagi diakhir massa bakti periode 2014/2019 anggota Dewan seharusnya punya i’tikad baik meninggalkan kesan perwakilan di ingatan publik. Jika hal tersebut dipaksa untuk dilaksanakan, maka tidak menutup kemungkinan akan memicu ketidakpercayaan publick (Distrust) terhadap lembaga legislatif di massa yang akan datang.
Sebagaimana Muhamad I’nam Esa dalam bukunya Falsafah Qalam Sosial, pernah menguraikan perihal tentang faktor yang mempengaruhi kondisi sosial masyarakat bawah, yaitu by design lembaga struktural goverment untuk tetap merawat kaum lemah (Mustadha’fin), agar akumulasi biaya pemeliharaan terhadap kaum tersebut menjadi pembahasan secara berkelanjutan tanpa menampakan solusi dan alternatif yang ideal mereka.
Sungguh miris kemudian, jika paradigma perwakilan rakyat kontradiksi dengan fungsi sosiologisnya, apalagi ditengah kondisi masyarakat masih membutuhkan welas asih dan perhatian khusus dari keterwakilan mereka sendiri ditiap Dapil. ***