KONDISI kita masih soal penyebaran Covid-19. Di NTB kita masih waspada dan diharapkan Physical Ditancing diterapkan oleh kita semua untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 , dan kita harus mematuhi protokoler Posko Kebencanaan Non Alam yang telah di bentuk oleh Pemerintah Provinsi dan di beberapa Kota/kabupaten se – NTB.
Di sisi lain, kita juga sedang memasuki tahun politik. Siapapun sangat tertarik dan memiliki narasi politik sendiri, baik dikalangan akademisi, aktivis, mahasiswa dan masyarakat kita. Di ruang-ruang lain, selain bicara Covid-19, kita juga sedang asik bicara pilkada dan pesta demokrasi 2020. Semakin hari di Media Sosial, Facebook, dan lain semakin memanas. Sederet nama-nama calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Kabupaten Bima mengalami berbagai dinamika yang sangat menarik, membuat saya menuliskan opini ini.
Berkaca pada Pilkada Kabupaten Bima 2015 dan Pilgub 2018 yang lalu, setidaknya kita memiliki referensi masing-masing terkait psikologi Elit Politik, saya lebih tertarik mengamati keberpihakan kaum millenial dan oposisi yang selalu mendominasi wacana publik, dengan materi melemahnya keberpihakan pemimpin pada rakyatnya. Jadi kalau bisa saya narasikan seperti ini: Pilkada bukan soal kepentingan golongan atau kelompok tertentu, jadi siapapun berhak maju, selagi ada niat baik, meski wajah lama masih saja muncul dan siap berkomitmen membangun Kabupaten Bima lebih baik dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Kita harus sepakati beberapa hal sebelum saya melanjutkan penulisan ini, sepakat bahwa tanpa pemimpin yang kuat jangan berharap Kabupaten bima menjadi lebih baik. Kedua, seorang pemimpin harus mendahukukan kepentingan rakyat di luar kepentingan golongan dan kelompok. Ketiga sepakat bahwa kepemimpinan harus memiliki visi yang bukan sekadar coretan kertas dan spanduk, namun kontestasi ide harus di buktikan di forum-forum Debat yang berkualitas. Jika sepakat saya lanjutkan untuk menulis opini ini.
Saya ingin mengurai realitas kita, secara seksama kita menyaksikan ada hal yang sangat paradoks di Kabupaten Bima dalam reformasi birokrasi, ide pembangunan, pelayana publik terjadi kesenjangan antara antitesa lama yang terus bermunculan dengan pemikiran visoner yang sedang di gagas oleh akademisi dan kaum milenial. Dan semunya cenderung semu dan sok-sokan dan sulit di jembatani.
Berbagai laman Web dan Blog saya membaca satu tema pilkada diberbagai tempat, soal pemimpin alternatif yang justru melawan istilah dua periode dan lanjutkan dan seterusnya, atau ungkapannya yang nyalon jangan itu-itu saja, perlu tokoh baru yang bisa menjadi alternatif. Dan terakhir saya membaca berbagai Status facebook para aktivis Idealis, dan mahasiswa menyuarakan hal yang sama soal Kabupaten Bima dalam menjemput Pilkada 2020 ini, dengan narasi yang sama “Kita Butuh Pemimpin Alternatif” dengan segudang kritikan tajam yang menyoalkan makna teori kepemimpinan.
Kesimpulan sementara bahwa kepemimpinan haruslah mencerminkan representatif yang dibutuhkan masyarakat, menjadi tempat mengeluhnya soal ekonomi, budaya dan keamanan. Kita semua tidak ingin adanya polarisasi politik yang akan merusak kepercayaan di kalangan masyarakat kita, harus mengedepankan sikap saling percaya yang merupakan elemen dasar dari modal sosial bagi demokrasi kita.
Jangan sampai terjadi kooptasi yang berlebihan sebab akan mengundang bahaya, karena pihak yang terkooptasi akan cenderung mengutamakan kepentingan kelompok kecil daripada orang banyak yang seharusnya diwakilinya.
Kepemimpinan merupakan kunci keberhasilan daerah. Kepemimpinan ini syaratnya mampu mengendalikan partai, tidak transaksional, dan terbebas dari dinasti, kita butuh leadership bukan dealership, untuk menghindari wanprestasi, mangkrak, jual beli tidak sah akan banyak motor-motor digadai tanpa surat yang sah, dan lain-lain.
Menurut saya, sebagai catatan kritis, Kabupaten Bima hari ini bukannya tidak ada kemajuan, tetapi menyia-nyiakan kesempatan untuk membawa Kabupaten Bima lebih baik. Kondisi kita sebagai daerah penyangga Kota Bima, seharusnya bisa melebihi Kota Bima, Kabupaten Dompu, dan Sumbawa. Harusnya kabupaten lain merasa Iri dengan segala sumber daya yang kita miliki, seharusnya menjadi contoh bagi daerah lain, agar kita selalu optimis menata harapan kedepannya dengan gagasan pembangunan yang berkelanjutan.
Kita harapkan memunculkan pemimpin alternatif untuk menghadapi dominasi, sebagai jawaban dari semua forum diskusi di warung-warunh kopi. Saya sekadar menyampaikan gambaran itu agar terlihat jelas, bahwa banyak harapan yang bukan sekadar Kepentingan kelompok di dalamnya, atau golongan tertentu, namun lebih dari itu. Harapan kita bukan pada siapa yang calon, namun apa yang bisa rakyat kita harapkan dan dapat di Wujudkan melalui tangan-tangan kekuasaan.
Saking optimisnyan kita, untuk menaruh gagasan dalam kepemimpinan kedepannya, dan siapapun yang menjadi bupatinya, “masih ada waktu dalam menemukan pemimpin alternatif”. Karena pasangan calon belum ada putusan dari KPU Kabupaten Bima secara resmi.
Terakhir saya ingin mengutarakan berbagai kegelisahan dan harapan bahwa salah satu hal yang perlu dibenahi di Kabupaten Bima yakni soal makna khusus pembangunan, fasilitas publik harus di utamakan untuk menunjang Pelayan dan keterbukaan Informasi, serta membangun kepercayaan untuk yang akan datang sebagai pengetahuan publik, bukan sebaliknya.
Kepemimpinan yang baik perlu memiliki kemampuan, komitmen atau keberanian serta inovasi. Di tengah budaya politik masyarakat kita berpotensi untuk matre karena mentoleransi politik uang. Ini menyedihkan dan hal ini sepertinya harus di carikan gunting tajam berbahan Baja untuk memotongnya, dan kita butuh kepemimpinan revolusioner dan transformatif. (*)
Penulis adalah Direktur Real Freedom Institute NTB-Lembaga Studi Islam: Sosial dan Politik