Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
DaerahHukum dan KriminalPolitik

Menerka “Perubahan” Arah Pengelolaan Aset Rp266,5 Miliar Pemkab Bima

×

Menerka “Perubahan” Arah Pengelolaan Aset Rp266,5 Miliar Pemkab Bima

Sebarkan artikel ini
Kampanye Akbar Adi-Irfan di Pilkada Bima 2024 (Foto, Istimewa)

Catatan Redaksi Katada.id– Laksana telur yang ditaruh di tanduk kerbau, begitulah kondisi aset milik Pemerintah Kabupaten Bima saat ini. Rapuh, nyaris tak terurus, dan jauh dari kata baik. Sampai detik ini, belum tampak upaya serius untuk mereformasi tata kelola aset daerah.

Pemerintah pun terkesan ogah-ogahan memberikan penjelasan. Alih-alih bersikap terbuka dan bertanggung jawab. Mereka kini, justru memilih diam di tengah deretan persoalan yang menggerogoti potensi daerah.

Example 300x600

Padahal publik berhak tahu arah kebijakan pengelolaan aset tersebut. Terlebih, nilainya sangat besar, Rp266,5 miliar. Rinciannya Rp185,2 miliar dari nilai aset tetap tanah yang bermasalah dan Rp83,1 miliar tanah properti investasi yang juga bermasalah.

Nilai aset itu sangat besar. Jika dikelola secara baik dan profesional, Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa diraup signifikan.

Deretan Masalah  “Menyandera” Aset Tanah 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap empat masalah besar dalam tata kelola aset tanah Pemkab Bima. Pertama, 1.480 bidang tanah belum bersertifikat. Kedua, sebidang tanah RSUD Bima dengan potensi pendapatan Rp164 juta per tahun dikuasai pihak lain. Ketiga, 79 bidang tanah bersertifikat tidak tercatat dalam neraca pemerintah daerah maupun Kartu Inventaris Barang (KIB A).

Masalah ini bukan hal baru. Sebagai contoh, dari total 1.480 bidang tanah yang “tanpa tuan” itu, 926 bidang ditemukan dalam audit BPK 2024, 63 bidang dari temuan 2023, dan 491 bidang sisanya merupakan temuan lama sejak 2022.

Penelantaran aset telah terjadi selama tiga tahun berturut-turut. Kondisi ini menyebabkan aset tetap rawan dikuasai dan dimanfaatkan pihak lain serta berpotensi menimbulkan kehilangan pendapatan daerah,” tulis BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor 152.A/LHP/XIX.MTR/05/2025 atas Laporan Keuangan Pemkab Bima Tahun 2024.

Usut punya usut, ternyata buruknya manajamen aset karena pemerintah tidak pernah lagi melakukan Sensus Barang Milik Daerah (BMD) sejak 14 tahun yang lalu. Terakhir kali dilakukan survei itu 2010.

Fakta itu menegaskan bahwa lebih dari satu dekade, pemerintah enggan melakukan pemuktahiran data aset, secara menyeluruh. Padahal ketentuannya, sensus tersebut mesti dilakukan setiap lima tahun.

Properti Investasi Juga Bermasalah

Tak hanya aset tetap tanah, BPK juga menyoroti 1.884 bidang tanah properti investasi milik Pemkab Bima senilai Rp81,3 miliar.

Dari jumlah itu: 1.144 bidang belum bersertifikat, 381 bidang belum tercatat dalam neraca, dan 25 bidang telah dikuasai pihak lain.

Situasi ini membuat aset daerah rawan diselewengkan. BPK bahkan menilai, mekanisme sewa tanah kepada pihak ketiga dilakukan tanpa dasar profesional.

“Penetapan harga sewa tanpa penilaian profesional membuka peluang permainan harga jauh dari standar kewajaran,” ungkap BPK.

Selama ini, kata BPK penentuan tarif sewa hanya mengacu pada keputusan bupati dan kesepakatan informal bersama masyarakat. Tak ada penilaian resmi. Baik dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Imbasnya jelas, sewa-menyewa aset berpotensi diatur melalui transaksi gelap, dan PAD diduga bocor tanpa kendali. Kisruh tata kelola aset ini bukan sekadar soal administratif, melainkan cermin lemahnya komitmen politik dan manajerial Pemkab Bima.

PAD Puluhan Miliar Bocor? 

Nilai aset yang mencapai Rp266,5 itu jika dikelola secara baik, akan menjadi kantong-kantong PAD yang teramat besar. Sayangnya ribuan aset, ratusan hektare justru terlantar, dikuasai, dan rentan disalahgunakan pihak lain.

Penyalahgunaan aset itu bahkan telah terjadi. Sebidang tanah di RSUD Bima dikuasai dan dimanfaatkan secara ilegal. Imbasnya, daerah kehilangan PAD lebih dari Rp150 juta per tahun. Hal yang sama terjadi pada 25 bidang tanah properti investasi, dikuasai dan dimanfaatkan pihak lain.

Secara keseluruhan, semrawutnya tata kelola itu menjadi fenomena yang tidak normal. Tidak menutup kemungkinan, deretan  modus gelap, transaksi ilegal, dan “percakapan dibawah meja” mengatur bagaimana kewenangan itu dijalankan. Dimana keuntungannya justru terkonsolidasi ke kantong-kantong pribadi oknum Pejabat terkait.

Itulah mengapa, aset ratusan miliar tapi tak terasa kontribusinya bagi PAD. Bukankah jika dikelola secara baik dan profesional, daerah punya tambahan PAD antara Rp13-32 miliar per tahun.

Kenyataan ini juga membongkar dua wajah Pemerintah Daerah. Wajah pertama, pemerintah nampak bergairah untuk menambah target dan progres capaian PAD. Wajah kedua,  membiarkan potensi miliaran rupiah dari aset strategis menguap begitu saja.

Antara Gebrakan Baru atau Status Quo? 

Katada.id, telah berupaya berkali-kali menghubungi Sekda Daerah, Adel Linggi Ardi dan Plt Kepala BPKAD Aries Munandar. Deretan pertanyaan konfirmasi tidak terjawab. Alih-alih ada penjelasan memadai.

Kabid Aset BPKAD, Isnaini juga dikonfirmasi. Namun dia juga tak menjawab pertanyaan yang diajukan, hingga berita ini diturunkan.

Pertanyaan besar kini menggantung: ke mana arah kebijakan pengelolaan aset tanah Pemkab Bima akan dibawa?

Terutama ketika, musim berganti, arah angin berubah. Pertanyaan itu akan dijawab Bupati Bima Ady Mahyudi dan Wakil Bupati dr. Irfan Zubaidy (Adi-Irfan).

Pemimpin dengan tagline: Bima Bermartabat diharapkan memulai lompatan besar: mereformasi aset. Rakyat bima membutuhkan gebrakan. Diantaranya dengan kebijakan audit investigasi yang menyeluruh dan digitalisasi aset.

Setelah itu, “kurikulum” yang relevan dalam mengelola aset mesti dirumuskan. Masih banyak sumber daya yang punya kompetensi tinggi dan integritas kokoh ditugaskan mewujudkan itu.  Momentum itu harus didirikan, sesuai visi Bima Bermartabat.

Pertanyaan lanjutannya, apakah ada gairah Adi-Irfan “memartabatkan” aset daerah? Tahun pertama, mestinya sudah dalam tahap merencanakan “squad ideal” untuk mengelola kekayaan daerah itu.

Tanpa ada rencana yang relevan dan matang, status quo akan terbangun lebih kokoh lagi. Mengingat pondasi semrawut aset itu telah terjadi sejak 14 tahun lalu.

Bagaimanapun itu dukungan politik akan menentukan arah. Tak peduli itu dilakukan untuk kepentingan daerah secara legal atau untuk kepentingan pribadi, secara ilegal. Mari kita tunggu LHP BPK tahun 2026 bicara. (*)

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *