Mataram, katada.id- Insiden pembakaran gedung DPRD Provinsi NTB beberapa waktu lalu dinilai bukan sekadar tindakan kriminal biasa, melainkan ledakan akumulasi kekecewaan akut masyarakat terhadap lembaga legislatif.
Kesimpulan tajam ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Mimbar Keadilan” yang digagas oleh Lembaga Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Barat (LPW NTB) yang berkolaborasi dengan Relawan Advokasi untuk Demokrasi (RELASI) dan berlangsung di Mataram, (11/9)
Kegiatan itu bertajuk: Catatan Kritis Wacana Pembubaran DPR RI, Sistem Kepartaian & Pengusutan Korupsi Pasca Pembakaran Kantor DPRD Provinsi. Menghadirkan sejumlah akademisi dan pemerhati hukum.
Direktur LPW NTB, Taufan, S.H., M.H., dalam pengantarnya menegaskan bahwa insiden tersebut adalah cerminan dari kegagalan hukum yang kerap tunduk pada kekuasaan.
“Gelombang kemarahan publik adalah akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan yang ugal-ugalan, legislatif yang kehilangan simpati, dan aparat yang represif. Masalah utama ada pada partai politik sebagai produsen legislatif yang menghasilkan kebingungan dan transisi tanpa arah,” ujar Taufan
Tiga Fungsi Mandul dan Krisis Integritas
Antropolog dan pengamat politik, Dr. Alfisahrin, M.Si., menyatakan bahwa wacana pembubaran DPR adalah delusif dalam sistem demokrasi. Namun, tuntutan publik ini menjadi simbol nyata dari krisis integritas parlemen.
“DPR gagal menjalankan tiga fungsi utamanya: legislasi yang minim partisipasi, anggaran yang sarat kepentingan elit, dan pengawasan yang mandul karena terlalu dekat dengan eksekutif,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, data KPK yang menempatkan DPR sebagai lembaga dengan kasus korupsi terbanyak membuktikan krisis akut tersebut.
Sementara itu, advokat dan aktivis HAM, Yan Mangandar, S.H., M.H., menyoroti ketidakadilan sebagai pemicu utama kemarahan. Ia mengkritik lambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset dibandingkan kecepatan memutus perkara politik.
“Masyarakat bisa bertahan dalam kesulitan ekonomi, tapi tidak bisa menerima ketidakadilan. Itu yang memicu kemarahan publik,” tegas Yan Mangandar.
Dorong Reformasi Sistem dan Rekonstruksi
Dari perspektif akademis, Dr. Rachman Maulana Kafrawi, S.H., M.H., menyoroti perlunya reformasi sistem pemilu, pembentukan unit riset legislatif yang profesional, dan penegakan etika anti-korupsi.
Ia membandingkan praktik di negara Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, di mana partisipasi publik dan fungsi pengawasan berjalan kuat. Disana katanya, di mana partisipasi publik dan fungsi pengawasan berjalan kuat.
“Di Indonesia, DPR masih terikat ketat oleh partai. Perlu reformasi UU Pemilu,” papar dosen UNRAM tersebut.
Diskusi ini diperkuat dengan orasi penutup dari Koordinator RELASI, Owen Chandra, yang menegaskan bahwa rekonstruksi lembaga legislatif bukan sekadar pilihan, melainkan keniscayaan.
“Kita tidak menuntut pembubaran tanpa arah. Kita menuntut pembersihan, penataan ulang, dan pengembalian kehormatan lembaga rakyat,” pungkasnya penuh semangat.
Sesi tanya jawab juga mempertegas keresahan publik soal budaya korupsi dan dominasi partai politik, hingga memunculkan istilah “kemarau keteladanan”.
Para narasumber sepakat bahwa reformasi politik harus dimulai dari perbaikan sistem rekrutmen partai, transparansi anggaran, serta mekanisme partisipasi rakyat yang lebih kuat. (*)













