Opini, katada.id- Masyarakat NTB kini dihadapkan pada pertanyaan yang mengusik nurani. Mengapa Polda NTB begitu intens mendorong percepatan izin pertambangan rakyat? Bukankah tugas utama kepolisian adalah menjaga keamanan dan menegakkan hukum, bukan mempromosikan izin tambang?
Lebih ironis lagi, publik dikejutkan dengan fakta bahwa adik kandung gubernur duduk sebagai Ketua Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) NTB. Kombinasi keduanya menimbulkan kesan kuat bahwa lembaga negara dan kepala daerah justru berperan sebagai “bandar IPR” bukan lagi sebagai penegak aturan dan pelindung rakyat.
Sejarah panjang pertambangan di NTB memperlihatkan pola yang berulang. Tambang selalu datang dengan janji sejahtera, tapi yang tertinggal hanyalah tanah rusak, air tercemar, dan konflik horizontal antar warga.
Studi-studi lingkungan menunjukkan bahwa aktivitas tambang skala rakyat maupun korporasi sama-sama berisiko terhadap kerusakan ekologis. Penggunaan merkuri, sianida, dan praktik tambang tanpa reklamasi telah menurunkan kualitas tanah dan air di Bima, Sumbawa, hingga Dompu. Dengan fakta ini, wajar bila masyarakat menaruh curiga mengapa justru Polda dan gubernur seolah menjadi motor akselerasi izin, padahal risikonya begitu jelas?
Secara teori kebijakan publik, peran pemerintah adalah regulator dan mediator antara kepentingan ekonomi dan kepentingan sosial-ekologis. Pemerintah seharusnya menimbang trade-off antara keuntungan jangka pendek dari tambang dengan keberlanjutan jangka panjang yang ditopang sektor lain seperti pariwisata, pertanian, dan perikanan.
Namun ketika penguasa daerah justru menempatkan keluarganya dalam struktur organisasi tambang, maka terjadi apa yang disebut conflict of interest benturan kepentingan yang berbahaya. Kebijakan tak lagi berbasis kepentingan publik, melainkan kepentingan kelompok sempit.
Dari sisi hukum, IPR sejatinya memang diatur dalam UU No. 3/2020 tentang Minerba dan PP No. 96/2021. Namun aturan ini tidak pernah dimaksudkan untuk membuka ruang bagi oligarki lokal atau aparat negara untuk menjadi sponsor tambang. IPR seharusnya menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat lokal, bukan instrumen legitimasi untuk menjarah alam dengan dalih legalitas.
Jika aparat keamanan ikut mendorong percepatan izin, maka fungsi kontrol dan penegakan hukum bisa lumpuh karena polisi bukan lagi penjaga, melainkan pemain dalam arena tambang.
Maka, ketika masyarakat menegaskan penolakan terhadap tambang, itu bukanlah sikap emosional belaka. Penolakan lahir dari pengalaman panjang kerusakan, ketidakadilan distribusi manfaat, dan konflik sosial yang selalu mengiringi aktivitas tambang.
NTB punya potensi pariwisata, pertanian, dan kelautan yang lebih menjanjikan tanpa mengorbankan alam dan generasi mendatang. Jika Polda dan gubernur tetap tampil sebagai “bandar IPR”, maka rakyat akan memilih angkat bendera perlawanan. Karena dalam sejarah, suara rakyat yang menolak perampasan ruang hidup selalu lebih kuat daripada kepentingan modal yang mencoba menindasnya.
*Adi Supriadi, Aktivis Anti Tambang. (*)













