Oleh: Adhar Malaka*
Mataram, katada.id- Di tengah riuh rendah politik daerah yang seringkali lebih ramai dari substansi, kita perlu kembali pada nalar: apakah setiap kebijakan fiskal pemerintah harus selalu dicurigai? Ataukah kita perlu sedikit jujur, bahwa kadang keputusan yang tak populer justru menjadi langkah penyelamatan?
Kebijakan Gubernur NTB melakukan pergeseran anggaran, termasuk penggunaan sebagian dana BTT untuk membayar kewajiban daerah, bukanlah langkah serampangan. Ia adalah konsekuensi logis dari kondisi fiskal yang sedang tertekan. Dalam bahasa sederhana: kas daerah tidak boleh dibiarkan berdarah sementara roda pemerintahan harus tetap berputar.
Mari kita buka peta aturan. Pasal 160 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, juga Permendagri 77 Tahun 2020, dengan jelas memberi ruang bagi kepala daerah untuk melakukan pergeseran anggaran antar-unit dan antar-kegiatan selama tidak mengubah total APBD.
Artinya, ruang manuver itu sah dan diakui oleh hukum. Gubernur hanya menjalankan fungsi manajerial yang memang menjadi kewenangannya. Lalu muncul tudingan: “Mengapa BTT dipakai untuk membayar utang?”
Kita lupa bahwa utang daerah bukan sekadar angka di neraca, tetapi kewajiban publik. Kegagalan membayar utang akan mempengaruhi kredibilitas fiskal daerah, memutus rantai kepercayaan lembaga keuangan, dan pada akhirnya menghambat pelayanan publik.
Maka, ketika BTT sebagian digunakan untuk menutup kewajiban itu, langkah itu justru bisa dibaca sebagai bentuk tanggung jawab fiskal, bukan penyimpangan.
Dalam teori keuangan publik, dikenal istilah “fiscal distress” atau keadaan ketika arus kas daerah tertekan dan membutuhkan intervensi cepat agar sistem tidak lumpuh. Di titik itulah konsep “keadaan darurat fiskal” berlaku.
Jadi, kalau BTT digunakan untuk menyelamatkan struktur fiskal, maka itu juga bentuk “keadaan darurat” yang diakui secara rasional. Gubernur tidak sedang bermain-main dengan uang rakyat; ia sedang menjaga agar kapal besar bernama APBD tidak karam di tengah tahun anggaran.
Pergeseran dua tahap yang dilakukan juga bukan tindakan sepihak. Mekanismenya tetap berjalan dalam kerangka koordinasi antara TAPD dan DPRD, sesuai asas keterbukaan. Bila pun ada yang merasa belum sepenuhnya dilibatkan, itu bisa diselesaikan dengan komunikasi politik yang sehat, bukan dengan ancaman interpelasi yang lebih bernuansa politis daripada administratif.
Sebagai aktivis pergerakan, saya belajar satu hal penting: tidak semua yang bising itu benar, dan tidak semua yang tenang itu salah. Interpelasi memang hak politik DPRD, tapi hak itu tidak boleh berubah menjadi alat tekanan yang mengaburkan akal sehat kebijakan. Di saat ekonomi daerah membutuhkan stabilitas, justru diperlukan sinergi, bukan saling curiga.
Gubernur NTB tidak sedang mengalihkan dana untuk kepentingan pribadi atau proyek politik; ia sedang menggeser beban agar APBD tetap seimbang dan rakyat tetap mendapat pelayanan. Bila itu dianggap kesalahan, maka yang salah bukan kebijakannya, tapi cara kita membaca realitas fiskal.
Kritik tetap perlu, tapi harus berdasar pada niat membangun, bukan menggiring opini. Sebab membangun daerah bukan hanya soal siapa yang berkuasa, melainkan siapa yang masih mau berpikir jernih di tengah hiruk pikuk kepentingan. Dan dalam konteks ini, saya berdiri di sisi akal sehat: membela kebijakan fiskal yang rasional, bukan kepentingan politik sesaat.
*Penulis adalah Aktivis Pergerakan.