Mataram, katada.id – Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) akhirnya menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat bantu belajar mengajar (ABBM) Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Mataram.
Dua orang tersangka yakni A dan Z. Keduanya adalah pejabat di Poltekkes Mataram. “Iya, dua orang yang sudah ditetapkan tersangka. Inisial A dan Z,” ungkap Ps Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Lalu Muhammad Iwan Mahardan kepada wartawan, Selasa (31/1/2023).
Ia belum menyebutkan secara detail jabatan tersangka A dan Z. Namun dipastikan keduanya memegang posisi penting saat pengadaan ABBM tahun 2017 itu. “Nanti saja ya,” katanya.
Penyidik menetapkan A dan Z sebagai tersangka setelah menerima hasil perhitungan kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB. Hanya saja, Mahardan belum mengetahui berapa jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus tersebut. “Nanti dicek dulu,” terangnya.
Setelah menetapkan dua tersangka, selanjutnya penyidik akan memanggil lagi saksi-saksi untuk kebutuhan pemberkasan. Termasuk memeriksa kembali tersangka. “Proses sidik sedang berjalan,” tandasnya.
Sebagai informasi, pengadaan ABBM ini bersumber dari saku APBN tahun 2017. Proyek ini dikerjakan melalui Kementerian Kesehatan RI dengan anggaran Rp19 miliar.
Pembelian barang ABBM dilakukan melalui E-Katalog. Pengadaan proyek tersebut dimenangkan tujuh perusahaan penyedia dengan melibatkan 11 distributor. Salah satu item yang dibeli adalah boneka manekin. Alat tersebut digunakan untuk menunjang praktik di jurusan perawat, bidan, gizi, dan analis kesehatan.
Namun, barang yang bersumber dari pengadaan tersebut diduga sebagian tidak bisa dimanfaatkan sehingga berstatus mangkrak. Alasan pihak kampus tidak bisa menggunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan kurikulum belajar.
Pengadaan ABBM ini menjadi temuan dari Inspektorat Jenderal Kemenkes RI senilai Rp4 miliar. Angka tersebut masih bersifat umum karena tidak hanya muncul dari Poltekkes Mataram saja. Melainkan ada dari Poltekkes Banda Aceh dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Penyidik pun pernah meminta salinan dari temuan Itjen Kemenkes RI untuk kebutuhan audit kerugian negara. Namun, itjen menolak permintaan tersebut. Sehingga penyidik menelusuri kerugian dengan menggandeng BPKP.
Kasus ini pun mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai bentuk atensi, komisi anti rasuah secara rutin melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) terkait penanganan kasus tersebut.
Terakhir pada awal September 2022, pihak KPK menggelar korsup dengan mengajak penyidik dan lembaga auditor BPKP untuk mencari solusi dari permasalahan yang menghambat perkembangan kasus tersebut. (ain)