Mataram, katada.id – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi NTB tengah menghadapi badai keuangan serius. Temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan tahun anggaran 2024 mengungkap sederet kejanggalan dan kelemahan tata kelola yang berpotensi mengganggu pelayanan publik dan menjerumuskan rumah sakit rujukan utama di NTB ini ke jurang krisis likuiditas.
Lembaga auditor yang bermarkas di Udayana, Mataram mengungkap temuan mencengangkan, di antaranya utang yang menumpuk. Nilainya mencapai Rp 247 miliar.
Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal pun dibuat kaget. Orang nomor satu di Bumi Gora ini langsung memerintahkan Inspektorat untuk segera menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) usai mengetahui tumpukan utang di rumah sakit rujukan utama NTB ini.
Temuan ini sedikit menodai opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2024 NTB. Iqbal menegaskan bahwa masih banyak catatan penting dari BPK yang tidak boleh diabaikan.
“Saya minta kepada Inspektorat untuk tindak lanjut rekomendasi BPK supaya segera, kita WTP tapi ada banyak catatan yang harus kita selesaikan,” ujar Gubernur, Jumat (20/6).
Plt Inspektur NTB, Lalu Hamdi berjanji akan segera melakukan pendalaman terhadap temuan BPK, terutama di RSUP NTB. Salah satu temuan terbesar adalah kelebihan pembelian obat-obatan pada akhir 2024 senilai Rp193 miliar yang diduga menjadi bagian dari total Rp247,97 miliar.
“Kita akan terus pacu supaya bisa segera terselesaikan sesuai dengan rekomendasi yang ada di LHP BPK,” tegas Hamdi.
Berikut sederet temuan BPK terhadap pengelolaan keuangan di RSUP NTB:
Belum Susun Laporan Keuangan Unaudited Secara Lengkap
BLUD wajib menyusun laporan keuangan dengan kelengkapannya sesuai dengan sistem akuntansi yang diterapkan pemerintah daerah. Laporan keuangan itu terdiri Laporan Realisasi Anggaran (LRA); Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LPSAL); Neraca; Laporan Operasional; Laporan Arus Kas; Laporan Perubahan Ekuitas; dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
RSUP NTB belum mampu menyampaikan Laporan Keuangan Unaudited Tahun 2024 kepada Bidang Akuntansi dan Pelaporan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) sesuai dengan tenggat waktu. Yaitu paling lama dua bulan setelah periode pelaporan berakhir atau pada tanggal 28 Februari 2025.
Pada saat proses konsolidasi laporan keuangan Pemprov NTB, RSUP NTB hanya menyerahkan saldo-saldo rincian per akun. Mereka beralasan laporan keuangan RSUD belum selesai disusun.
Berdasarkan Laporan Auditor Independen (LAI) yang diterbitkan oleh KAP atas Laporan Keuangan RSUP NTB Tahun 2024, RSUP NTB belum menyusun LPSAL dan menyajikan CaLK secara lengkap. CaLK baru dapat disampaikan kepada KAP pada akhir bulan Maret 2025.
Hasil pemeriksaan atas Neraca (Unaudited) RSUD Provinsi NTB pada Aplikasi Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) menunjukkan saldo persediaan per 31 Desember 2024 senilai Rp11.628.384.686, yang terdiri dari saldo persediaan obat-obatan senilai Rp8.778.944.276, hanya berdasarkan hasil stock opname per 31 September 2024 dan sisanya senilai Rp2.849.440.410 merupakan Barang Habis Pakai.
Berdasarkan keterangan dari Ketua Tim Kerja Rumah Tangga dan Perlengkapan RSUP NTB, diketahui bahwa pada saat dilakukan rekonsiliasi dengan BPKAD NTB, Bagian Umum dan Sarana Prasarana belum memiliki data persediaan final per 31 Desember 2024. Hal ini karena staf Rumah Tangga dan Perlengkapan RSUD Provinsi NTB masih menunggu hasil reviu Inspektorat atas utang kontraktual; dan
Saldo utang belanja barang dan jasa per 31 Desember 2024 senilai Rp10.700.000. Atas saldo tersebut, RSUP NTB belum menyajikan nilai utang kontraktual senilai Rp193.508.898.876. Karena tidak memiliki data utang kontraktual yang handal sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
Pinjaman Rp100 Miliar Disetujui Gubernur tanpa Analisis Kemampuan Bayar
Pemprov NTB menyajikan realisasi Penerimaan Pinjaman Daerah pada LRA (Audited) Tahun 2024 senilai Rp100 miliar. Penerimaan tersebut merupakan utang/pinjaman RSUD Provinsi NTB dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) berupa program supplier financing atau dana talangan dengan skema anjak piutang senilai Rp100 miliar.
Pinjaman tersebut dicairkan dalam dua tahap, yaitu Tahap I pada tanggal 13 Februari 2024 senilai Rp50 miliar dan Tahap II pada tanggal 9 September 2024 senilai Rp50 miliar.
Jaminan yang diberikan RSUP NTB dalam pinjaman ini adalah Formulir Pengajuan Klaim yang telah disetujui oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dalam mengajukan pinjaman tersebut, RSUP NTB mengajukan permohonan persetujuan pengajuan pinjaman kepada BSI melalui surat Direktur RSUP NTB Nomor 900/7088/RSUPD/2023 tanggal 16 September 2023 senilai Rp50 miliar dan Surat Nomor 500.10.29.16/3502/RSUDP/2024 tanggal 14 Agustus 2024 senilai Rp50 miliar. Sehingga total pengajuan pembiayaan selama Tahun 2024 senilai Rp100 miliar.
Atas permohonan tersebut, Dewan Pengawas RSUP NTB yang seluruhnya merupakan pejabat Pemprov NTB menyetujui pengajuan pembiayaan tersebut. Selanjutnya, pengajuan pembiayaan tersebut juga disetujui oleh Gubernur NTB melalui Surat Nomor 800.2.2.6/7682/RSUDP/2023 tanggal 11 Desember 2023 dan Surat Nomor 900.1.13.5/666/GUB.49/2024 tanggal 19 Agustus 2024.
Hasil pemeriksaan atas dokumen pengajuan persetujuan pembiayaan dan mutasi rekening koran diketahui bahwa RSUP NTB belum melakukan analisis kemampuan membayar kembali pinjaman tersebut. RSUP NTB membayar kembali pinjaman BSI bukan dengan skema dana talangan, melainkan secara cicilan senilai Rp10 miliar setiap bulannya.
Pada tanggal 14 Mei 2024 dan 10 Desember 2024 terdapat perpanjangan jangka waktu atas pinjaman masing-masing senilai Rp30 miliar. RSUP NTB terlambat mengajukan klaim BPJS pada bulan Mei 2024, sehingga tidak mampu membayar angsuran. Sedangkan pada akhir tahun 2024, RSUP NTB tidak mampu melunasi seluruh sisa pinjaman.
Atas hal tersebut, BSI memperpanjang jangka waktu pinjaman yang berdampak pada perpanjangan jangka waktu pembiayaan, sehingga RSUD Provinsi NTB harus menanggung Ujrah (fee) dan administrasi tambahan total senilai Rp1.193.657.068.
RSUP Provinsi NTB hanya mampu membayar kembali pinjaman senilai Rp70 miliar, sehingga masih terdapat saldo pinjaman Bank BSI yang belum dilunasi sampai dengan tanggal 31 Desember 2024 senilai Rp30 miliar.
Berdasarkan keterangan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUP NTB bahwa RSUP NTB belum melakukan analisis kemampuan bayar pada saat pengajuan dan tidak melakukan pembayaran kembali pinjaman dengan skema talangan karena RSUD Provinsi NTB masih membutuhkan dana untuk membayar kebutuhan operasional.
Rekomendasi Inspektorat Diabaikan
RSUP NTB telah menerima pinjaman BSI tahap I senilai Rp50 miliar pada bulan Februari 2024. Pinjaman tersebut direalisasikan tanpa adanya anggaran pada RBA dan DPA.
Untuk itu, Inspektorat melakukan reviu atas Dana Pinjaman yang diterima oleh RSUP NTB. Sasaran reviu tersebut adalah memberikan keyakinan terbatas bahwa pinjaman RSUP NTB pada BSI Tahun 2024 sesuai ketentuan, sehingga dapat dimasukkan dalam komponen pembiayaan dalam APBD Perubahan NTB Tahun Anggaran 2024.
Hasil reviu Inspektorat tersebut dituangkan dalam Laporan Hasil Reviu Nomor 700/378-VII/LHR.Itp.III-INSP/2024 tanggal 26 Juli 2024. Salah satu rekomendasi Inspektorat adalah RSUP NTB menyusun dan menetapkan kebijakan terkait kebutuhan RSUD Provinsi NTB yang bersifat mendesak dan tidak terakomodir dalam perencanaan dan penganggaran. Selain itu, mengatur mekanisme yang harus ditempuh dengan melibatkan BPKAD selaku pembina keuangan BLUD.
Berdasarkan keterangan dari Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUP NTB, diketahui bahwa belum terdapat tindak lanjut atas rekomendasi tersebut. Namun, meskipun RSUP NTB belum menindaklanjuti rekomendasi Inspektorat, TAPD tetap mengakomodir pembiayaan tersebut pada APBD Perubahan Pemerintah Provinsi NTB Tahun Anggaran 2024.
Sesuai keterangan yang disampaikan oleh Kepala Bidang Anggaran selaku Sekretaris TAPD, diketahui bahwa penerimaan pembiayaan tetap diakomodir. Karena telah mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas RSUP NTB dan telah direviu oleh Inspektorat.
Belanja Tak Terkendali, Utang Melejit Hingga Rp247 Miliar
BLUD wajib menyusun Rencana Bisnis Anggaran (RBA) yang selanjutnya diintegrasikan ke dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) pemerintah daerah sebagai bahan dasar penyusunan APBD.
Dalam pelaksanaan belanja, BLUD diberikan fleksibilitas dengan mempertimbangkan volume kegiatan pelayanan, namun masih dalam ambang batas RBA dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Berdasarkan Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran tahun 2024, RSUP NTB memiliki anggaran belanja senilai Rp845.311.832.388, yang bersumber dari RBA RSUP NTB senilai Rp656.304.560.410 dan APBD NTB senilai Rp189.007.271.978.
Hasil reviu atas LAI Nomor 00072/2.1274/AU.5/11/0463-2/1/V/2025 tanggal 6 Mei 2025 yang diterbitkan oleh KAP atas Laporan Keuangan RSUP NTB Tahun 2024 menunjukkan bahwa RSUP NTB melakukan perikatan berupa pelaksanaan belanja yang melampaui ambang batas RBA. Sehingga menimbulkan Utang Belanja dan Utang Pinjaman Jangka Pendek seluruhnya senilai Rp247.968.141.537 dan pelampauan anggaran senilai Rp143.727.507.881.
Pelampauan anggaran terjadi pada Belanja Pegawai senilai Rp14.086.177.732 serta Belanja Barang dan Jasa senilai Rp150.477.489.229. Total pelampauan kedua belanja tersebut senilai Rp164.563.666.961 dari total anggaran Belanja Tahun 2024 senilai Rp656.304.560.410.
RSUP NTB telah menghitung ambang batas yang merupakan besaran persentase realisasi belanja yang diperkenankan melampaui anggaran dalam RBA dan DPA. Besaran ambang batas yang dihitung oleh RSUP NTB untuk Tahun 2024 adalah sebesar 24,05 persen dengan memperhitungkan realisasi pendapatan tiga tahun terakhir
Ambang batas tersebut dapat digunakan apabila pendapatan BLUD diprediksi melebihi target pendapatan yang telah ditetapkan dalam RBA dan DPA tahun berkenaan. Berdasarkan LAI yang diterbitkan oleh KAP atas Laporan Keuangan RSUP NTB Tahun 2024 diketahui bahwa Pendapatan RSUP NTB Tahun 2024 terealisasi senilai Rp560.902.933.614 atau sebesar 85,95 persen dari anggaran senilai Rp652.609.554.099, sehingga ambang batas belanja tidak dapat digunakan.
Selain itu, terdapat perbedaan perhitungan ambang batas yang dilakukan oleh RSUP NTB dengan perhitungan ambang batas oleh KAP, dimana sesuai perhitungan KAP ambang batas belanja RSUD Provinsi NTB Tahun 2024 adalah sebesar 17,44 persen.
Pelaksanaan belanja RSUP NTB yang tidak terkendali menyebabkan pelampauan anggaran dan menimbulkan kewajiban jangka pendek berupa Utang Belanja dan Utang Pinjaman Jangka Pendek.
Utang Belanja dan Utang Pinjaman Jangka Pendek RSUP NTB per 31 Desember 2024 senilai Rp247.968.141.537,14 mengalami peningkatan senilai Rp57.294.196.255 atau sebesar 30,05 persen dibandingkan tahun 2023 senilai Rp190.673.945.282.
Berdasarkan keterangan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUP NTB diketahui bahwa belum terdapat monitoring pelaksanaan belanja secara real time di Bidang Keuangan, sehingga sampai dengan Semester I Tahun 2024 masing-masing unit pada RSUP NTB melaksanakan belanja tanpa memperhatikan pagu anggaran dan menginformasikan terlebih dahulu ke Bagian Keuangan.
Sederet temuan tersebut mengakibatkan RSUP NTB berpotensi tidak dapat menyampaikan Laporan Keuangan untuk dikonsolidasikan secara lengkap dan tepat waktu di masa mendatang; RBA dan DPA RSUP NTB Tahun 2024 tidak efektif untuk digunakan sebagai acuan/dasar dalam pelaksanaan anggaran;
Kemudian, ujrah (fee) dan biaya administrasi tambahan atas Penerimaan Pembiayaan pada RSUP NTB senilai Rp1.193.657.068 membebani keuangan daerah;
Utang RSUD Provinsi NTB Tahun 2024 senilai Rp247.968.141.537,14 dapat menimbulkan defisit operasional dan RSUD Provinsi NTB berpotensi mengalami kesulitan likuiditas di masa mendatang yang dapat mengganggu pelayanan pada masyarakat.
Pengawasan Belum Optimal
Permasalahan tersebut disebabkan oleh Gubernur NTB belum optimal dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap kepatuhan pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh RSUP NTB;
Dewan Pengawas RSUD Provinsi NTB belum mengevaluasi: RBA yang diusulkan oleh Direktur RSUP NTB; Permasalahan yang menjadi kendala dalam pengelolaan RSUD Provinsi NTB; dan kinerja BLUD.
Direktur RSUP NTB belum menyusun kebijakan terkait kebutuhan RSUP NTB yang bersifat mendesak dan mekanisme yang harus ditempuh; merasionalisasi belanja yang akan dilakukan untuk meminimalisir pelampauan anggaran; mengendalikan belanja sesuai dengan anggaran pada RBA dan DPA dan kondisi keuangan RSUP NTB; berkomitmen menyusun dan menyampaikan laporan keuangan RSUP NTB secara lengkap dan tepat waktu; dan Ketua TAPD melakukan evaluasi pengajuan anggaran pembiayaan RSUP NTB tanpa memperhatikan hasil reviu Inspektorat.
Atas permasalahan tersebut, Gubernur NTB menyatakan sependapat dan akan menindaklanjuti sesuai rekomendasi BPK.
Rekomendasi BPK
Atas temuan tersebut BPK merekomendasikan Gubernur NTB agar lebih optimal dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap kepatuhan pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh RSUP NTB. Kemudian, menginstruksikan Dewan Pengawas RSUP NTB untuk mengevaluasi: RBA yang diusulkan oleh Direktur RSUP NTB permasalahan yang menjadi kendala dalam pengelolaan RSUD Provinsi NTB; kinerja BLUD;
Kepada Direktur RSUP NTB untuk bersama dengan Kepala BPKAD menyusun kebijakan terkait kebutuhan RSUP NTB yang bersifat mendesak dan mekanisme yang harus ditempuh; merasionalisasi belanja yang melampaui anggaran yaitu Belanja Pegawai serta Belanja Barang dan Jasa; mengendalikan belanja sesuai RBA dan DPA dengan memperhatikan kondisi keuangan RSUD Provinsi NTB; Menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan RSUP NTB secara lengkap dan tepat waktu.
Rekomendasi terakhir, Ketua TAPD untuk memperhatikan hasil reviu Inspektorat dalam mengevaluasi anggaran yang diajukan oleh RSUD Provinsi NTB. (tim)